Feb 26, 2013

[FICTION] HAI, NAMAKU KING!



Aku sedang menyalin tugas matematika dari papan tulis ke buku tugasku ketika Bu Ratna, wali kelasku, masuk bersama dengan seorang anak laki-laki. Sepertinya murid baru, pikirku.

"Anak-anak, tolong perhatikan sebentar ya. Mencatatnya dilanjutkan nanti," kata Bu Ratna. Semua siswa di kelas termasuk aku, meletakan pensil di meja dan diam memperhatikan.

"Hari ini kalian akan mempunyai teman baru," ujar Bu Ratna, "Ayo, King, perkenalkan dirimu."

"Hai, Guys. Perkenalkan, namaku King. Kata Dad, dalam Bahasa Indonesia king berarti raja. Aku dari Malaysia." King berbicara dengan lantang dan logat luar negeri-nya masih agak kentara. Aku mengamati King dari ujung kaki sampai ujung kepala. King berbadan tegap, kulitnya seperti madu, mata sipit dan rambut cepak rapi. Namun entah kenapa aku kurang suka dengan gayanya itu.

"Baiklah, King. Sekarang kamu duduk di sana, ya. Di sebelah Kevin," ujar Bu Ratna menunjuk bangku kosong di sebelahku.

Aku terperanjat, "Tapi, Bu, besok kalau Edwin sudah masuk gimana? Ini kan bangku Edwin."
"Besok Edwin duduk di samping Reno, jangan khawatir."

Huh, aku semakin kesal dibuatnya. Edwin kan sahabatku dan dari awal kami memang sudah sepakat untuk satu meja di semester ini. Masa aku harus satu meja dengan orang asing seperti King?
King meletakan ranselnya di atas meja. Ugh, tasnya keren. Pasti mahal. Aku memandingkannya dengan tas ranselku. Beda sedikit saja, gumamku sedikit menghibur diri.

"Hai, siapa namamu. Aku King. Kata Dad , king itu berarti ...."

"Raja," tukasku, "Aku Kevin."

King tetap tersenyum meskipun aku bersikap acuh tak acuh kepadanya. Aku terpaksa balas tersenyum seadanya.
Hari ini dan seterusnya pasti tidak akan menyenangkan lagi, gerutuku dalam hati.

Sepulang sekolah, aku menceritakan hal itu kepada Mama.
“Oh, jadi King sekarang menjadi teman satu meja kamu, Vin? Wah, asyik dong. Dia kan baik,” ujar Mama.

“Lho, Mama tahu dari mana kalau King itu baik? Memangnya Mama kenal sama King? Kevin nggak suka sama dia, Ma. Dia kelihatan sombong.”
Mama meletakan piring terkahir yang sudah selesai dicucinya, lalu menatapku sambil tertawa kecil.

“Iya, dong. King itu kan tetangga baru kita juga, Vin. Masa kamu nggak tahu? Kemarin sore dia berkunjung ke sini, tapi kamu lagi main bola sama Mas Galih.”
Bibirku membentuk huruf O mendengar penjelasan Mama. “Melihat orang jangan dari luarnya saja, Vin. Coba saja kamu berteman dengan King. Jangan bersikap seperti tadi di sekolah. Itu nggak baik, lho,” lanjut Mama. Aku hanya mengangguk saja. Hm, benar juga, tidak ada salahnya berteman dengan King.


Sore harinya, aku bersiap untuk bermain bola bersama teman-teman kompleks perumahan. Masih pukul setengah lima, jadi aku tidak usah terburu-buru ke sana. Aku memakai baju bola kesayanganku. Ada lambang Garuda di bagian dada. Di punggung tercetak tulisan KEVIN dengan angka 11 di bawahnya. Angka  11 itu angka kesukaanku. Kata Mama, angka 1 itu berarti pertama dan nomor satu. Jadi, menurutku kalau 11 itu berarti semakin menjadi nomor satu. Memang sih, terdengar aneh, tapi setidaknya aku mencoba untuk menjadikannya berbeda.

Aku keluar rumah dengan menenteng sepatu bolaku yang berwarna merah. Merah itu tandanya berani. Dan aku suka sekali warna merah. Aku berjalan santai melewati beberapa rumah. Tiba di rumah bercat biru muda, ada seseorang yang memanggilku.

“Kevin! Halo! Mau kemana nih sore-sore begini?” Suara itu seperti pernah kudengar, tapi aku lupa. Aku menoleh ke sumber suara, dan ternyata itu King!
Astaga, anak itu lagi. Aku mendengus kesal namun seketika teringat ucapan Mama tadi siang.
“Oh, hai King. Aku mau ke lapangan, nih. Main bola. Ikut?” sapaku mencoba ramah. King berlari kecil keluar dari gerbang rumahnya. Senyumnya yang khas menghiasi wajahnya.
“Ayo, aku mau ikut. Aku senang sekali bermain football. Tunggu ya, aku ganti pakaian dulu,” ujarnya.
Tak lama kemudian, King muncul dengan baju bolanya. Seperti punyaku, ada lambang Garuda di dadanya. Dia sumringah menyadari bahwa baju kami sama. Kami pun berjalan menuju lapangan.

“Aku menyukai baju bola ini. Aku minta Dad membelikannya untukku ketika kami tiba di Jakarta kemarin,” jelas King. Sepanjang perjalanan, King banyak bercerita tentang kekagumannya pada Indonesia. Lalu tentang keluarga dan sekolahnya yang dulu. Terkadang aku tertawa mendengar cerita King. Ternyata dia sangat lucu dan sama sekali tidak suka menyombongkan diri. 

Sesampainya di lapangan, sudah banyak teman yang menunggu di sana. Aku mengajak King untuk berkenalan dengan teman-temanku.
“Hai, namaku King. Kata Dad, king itu berarti .... “
“Raja!” potongku cepat, lalu tertawa. King ikut tertawa. Aku sudah tidak sebal lagi dengan King. Aku ingat dengan ucapan Mama, “Jangan melihat orang dari luarnya saja.”

* * *

Feb 25, 2013

[FICTION] ULANG TAHUN KYLA



Kyla bolak-balik melihat jam tangan merah jambunya. Sudah hampir pukul dua belas. Pagi tadi ia sudah mengingatkan Mama agar dijemput lebih awal. Sepulang sekolah, Kyla akan langsung mengikuti pagelaran dari klub teater yang ia ikuti. Namun sampai saat ini mobil Mama belum muncul juga di halaman sekolah.
"Aduh, sabar Kyla. Mungkin macet," ujar Kyla menenangkan diri sendiri.

"Hei, Kyl. Kok masih di sini? Satu jam lagi lho," kata Hera, teman sekelas Kyla yang kebetulan ikut klub teater juga.
"Iya, Ra. Mama lama banget nih," jawab Kyla sedih.
"Oke deh, Kyl. Aku duluan ya, sampai ketemu di sana," pamit Hera melambaikan tangan. Kyla balas melambaikan tangan dan mencoba tersenyum.
Sekolah Kyla mulai lengang, seiring matahari yang mulai meninggi. Satu per satu teman Kyla meninggalkan sekolah dan sebagian besar menuju gedung pertunjukan untuk bersiap pentas maupun sekedar menonton teater.
Tak sabar Kyla berjalan keluar gerbang sekolah dan menunggu jemputannya di sana.
Tin! Tin! Suara klakson mobil membuyarkan lamunan Kyla. Itu dia jemputannya! Wajah muram Kyla berubah menjadi sumringah, namun hatinya tetap merasa kesal dan dongkol. Ia takut terlambat ke gedung pertunjukan, apalagi ini kali pertama Kyla tampil sebagai pemeran utama.
Brak! Kyla menutup pintu mobil dengan kasar. Mamanya heran melihat putri bungsunya itu bertingkah tak seperti biasanya.
"Kenapa, Kyl?" tanya Mama lembut.
"Mama kenapa sih, jemput Kyla lama banget? Teater kan dimulai satu jam lagi, Ma. Kyla belum dandan lho. Kyla takut terlambat!" dengus Kyla kesal. Mama hanya tersenyum, "Maaf ya Kyla sayang, Mama yakin ini belum terlambat kok."
Kyla diam saja mendengar ucapan Mama. Sepanjang perlanan, Kyla hanya menjawab singkat tiap kali Mama mengajaknya berbicara.
Hm, Kyla nakal.

Sesampainya di sana, Kyla langsung menuju ruang ganti. Ia berlari meninggalkan Mama yang masih bersiap-siap turun dari mobil. Mama hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan Kyla.
Di ruang ganti, teman-teman Kyla menunggu. Sebagian besar sudah siap dengan kostum dan berdandan sesuai peran masing-masing.
"Ayo, Kyla. Baju kamu ada di lemari biru. Ibu tunggu di sini ya, setelah ganti baju langsung dirias," ujar Bu Rini, pelatih teater Kyla.
"Baik, Bu," jawab Kyla patuh menuruti perintah Bu Rini.
Hampir 30 menit Kyla duduk di depan cermin dan riasan sudah selesai. Cantik, mirip sekali dengan Cinderella. Ya, Kyla memang berperan sebagai putri sepatu kaca itu. Sambil menunggu acara pembukaan, Kyla mematut dirinya di sebuah cermin besar. Ia tersenyum bangga dan merasa percaya diri dengan penampilannya ini.
“Ah, aku Putri Cinderella. Tentu saja, panggil aku Cinderella,” gumam Kyla senang. Kyla memang anak yang hebat, ia berani dan jago akting. Pantas saja Bu Rini memilihnya untuk tampil di pagelaran sekolah sebagai pemeran utama. Tentu saja hal itu tidak membuat Kyla sombong. Ia malah menganggapnya sebagai tantangan seru yang harus ia hadapi. 

Acara pembukaan telah selesai dan seharusnya sekarang musik teater sudah dimainkan. Tetapi, tunggu dulu!
“Baiklah hadirin, sebelum pentas dimulai, mari kita sambut Kyla Astriani yang pada hari ini berulangtahun ke-12 ... !!” Suara tepuk tangan menggema di dalam gedung pertunjukan. Tak lama kemudian terdengar lagu “Selamat Ulang Tahun”. Dari balik panggung, Kyla terheran-heran. Ia tidak percaya dengan apa yang didengarnya, sampai-sampai teman-temannya mendorong-dorong Kyla untuk memasuki panggung. Kyla menyibak tirai panggung dan perlahan ia menuju ke tengah. Oh, mengapa ada Mama di panggung? Kyla semakin heran.
Mama membawa kue tart yang cukup besar, warnyanya biru dan ada hiasan patung Cinderella serta lilin angka 12 di atasnya.
“Selamat ulang tahun, Kyla sayang. Cinderella kepunyaan Mama,” kata Mama sambil mengecup kening Kyla. Kyla senang sekali dengan kejutan dari Mama itu. Dia memeluk Mama dan berujar lirih, “Terima kasih, Ma. Maaf ya Kyla tadi sebel sama Mama. Ternyata Mama bikin kejutan ini buat Kyla. Kyla sayang Mama. Nanti Kyla pasti berpentas sebaik mungkin. Buat Mama.”
Mama tersenyum bahagia dan segera menyuruh Kyla meniup lilin karena lagu “Tiup Lilin” sudah dikumandangkan. Akhirnya Kyla mengerti juga mengapa tadi siang Mama terlambat menjemput Kyla. Dan sejak itu Kyla sudah tidak cepat marah apabila jemputannya datang terlambat.

Feb 21, 2013

DIA = AKU ~



Kelas 1
Gadis kecil berambut keriting itu datang terlalu pagi, di saat ruang kelasnya masih kosong. Dia berjalan mendekati bangku yang sejak hari pertama ia masuk sudah dipilihnya, yaitu bangku nomor dua dari depan. Awalnya ia duduk manis, terdiam membisu, kemudian keluar kelas, lalu masuk lagi. Bosan. Di puncak kebosanannya, matanya menumbuk ke sebuah rak buku yang dipunggungi oleh kursi guru.
Gadis keriting berjalan dan perlahan ia menggeser kursi guru yang menghalangi rak buku itu. Tangannya mulai bergerak menyusuri jajaran buku-buku cerita tipis. Matanya terus membaca judul demi judul. Ia girang sekali seolah-olah telah menemukan harta karun yang tak pernah ditemukan oleh bajak laut. Ia mengambil sebuah buku berjudul Gadis Penjual Korek Api. Dibawanya buku itu ke tempat duduknya dan tak lama ia hanyut ke dalam dunia fantasinya bersama si gadis penjual korek api. Begitulah setiap pagi, rak bersama buku-buku cerita itu menjadi kawannya menunggu teman yang lain datang. Ia nyaman dengn daya imajinasinya yang tumbuh karena dongeng-dongeng itu.

Pernah suatu ketika, ia diminta untuk membacakan sebuah cerita, berjudul "Dino yang Malas". Karena terbiasa membaca cepat di dalam hatinya, ia pun bertindak demikian di depan kelas. Suaranya tidak terlalu keras dan cepat sekali ia membacanya hingga Ibu Guru berkata, "Sudah pintar membaca, ya. Sampai-sampai seperti kereta api."
Ia malu mendengarnya, apalagi teman-teman satu kelas menertawakannya. Sejak itu rasa percaya dirinya mulai berkabut.


Kelas 2
Di kelas baru gadis keriting tidak ada rak dan buku seperti di kelas 1. Namun ia tetap menyempatkan dirinya untuk singgah di kelas lamanya hanya untuk sekedar membaca atau mencari buku baru ketika ia menunggu jemputan yang biasanya selisih 1 jam lebih lama dari bel pulang. Ya, mamanya bekerja di kantor yang cukup jauh dari sekolahnya. Sedangkan bapaknya bekerja di luar kota.
Semenjak ia naik kelas 2, jarang sekali ia datang pagi. Malah pernah satu kali ia terlambat hampir 30 menit. Ketika ia memasuki lingkungan sekolahnya, sudah sangat sepi, pintu-pintu kelas tertutup dan samar-samar terdengar riuh rendah interaksi guru dengan murid. Ia berlari-lari kecil menuju ruang kelas 2. Oh tidak, itu suara Bu Ngarpiah, guru yang paling galak di sekolah itu. Dengan jantung yang berdegup sangat kencang, ia mengetuk pintu dan membukanya perlahan. Kelas yang tadinya cukup ramai, kini hening dan semua mata menatap kepadanya. Wajah si gadis keriting pucat pasi namun terlihat tegar. Ia berkata, "Maaf Bu, saya terlambat. Tadi ban motornya bocor."
Bu Ngarpiah menjawab santai namun menggelegar, "Ya sudah tidak apa-apa, tapi sekarang kamu belajar dulu ya di luar sampai nanti jam istirahat."
Oh Tuhan, gadis keriting itu dihukum buang. Ia tidak tahu harus berbuat apa dan langsung berjalan keluar lewat pintu belakang kelas. Malu sekali ia, apalagi ketika ada beberapa orang yang melintas, pasti bertanya, "Lho, kok di luar to?"
Dia hanya menjawab malu-malu, "Iya, saya terlambat tadi."
Sejak kejadian itu, ia selalu minta pada mamanya agar diantar lebih pagi dan lebih cepat daripada biasanya.

Kelas 3
Nah, tahun ajaran baru ini merupakan tahun awal diberlakukannya sistem Semester, menggantikan sistem Caturwulan. Gadis keriting tidak peduli dengan sistem itu. Yang ia tahu, mulai tahun ini pembagian rapor hanya dua kali dan itu berarti ia tak perlu melewati banyak ulangan umum.
Di tahun ini pula ada pelajaran baru, yaitu IPS dan IPA, yang sebelumnya belum pernah ia dapatkan di kelas 1 dan kelas 2. Tahun ini juga pertama kalinya ia menggunakan bolpoin dan tipe-x, benda yang tadinya hanya ia lihat di tempat pensil sang ibu.
Gadis keriting semakin giat belajar, apalagi saat belajar IPS dan seni musik.
Kedua pelajaran favoritnya ini selalu menjadi bahan pembicaraan ketika di rumah. Mungkin mama dan nenek, bahkan pembantunya sampai bosan mendengarkan cerita yang itu-itu saja. Namun ia tak peduli.
Ia pun semakin kritis dan suka bicara. Bertanya apa saja yang ingin ia tanyakan. Bapak gadis ini sampai menjulukinya anak cerewet. Ia tak peduli, malah bangga dengan sebutan itu. Aneh.
Pertama kalinya ia diajak oleh kakak kelasnya untuk join grup marching band di sekolahnya. Menurutnya keren, jadi ia mau, meskipun hanya menjadi penari saja. Ia senang sekali karena sering ikut di beberapa karnaval dan perlombaan.

Suatu ketika, ia duduk bersama dengan teman laki-laki yang terkenal nakal dan jahil. Sebut saja Bombom. Ia terpaksa duduk bersamanya di bangku paling belakang karena hanya disitu lah bangku yang masih tersedia.
Tiba-tiba, Bruk!
"Aduh sakit tau!!"
Gadis keriting didorong oleh Bombom hingga terjatuh dari kursinya. Bombom dan teman-teman lain yang berada di dekat situ menertawakannya seolah-olah itu adalah tontonan sirkus. Sejak saat itu si gadis keriting membencinya dan takut apabila berada di dekatnya.

Kelas 4
Setahun berlalu dan meninggalkan banyak kisah konyol. Kini ia berada di tingkat 4, merasa hampir menadi senior karena sudah mempunyai 3 adik angkatan. Di tahun ini juga, tingkahnya sudah seperti ABG saja. Menyukai dan merasa disukai seseorang. Ya, ada siswa baru berasal dari luar kota, sebut saja Gororo. Gororo berbadan cungkring, putih, dengan rambut sasak. Seragamnya 1 ukuran lebih besar daripada ukuran badannya. Setiap hari dia membawa sepedan dalmationnya ke sekolah. Memang sih, rumahnya cukup dekat.
Entah ada angin apa tiba-tiba terdengar gosip bahwa Gororo menyukai Si Gadis Keriting. Wah, semenjak itu mereka berdua menjadi bahan olok-olokan satu kelas. Rasanya malu sekali jika si gadis keriting bertemu dengan Gororo. Apalagi jika kebetulan dimasukan ke dalam satu kelompok belajar.
Banyak tangan-tangan jahil yang mencorat-coret papan tulis dan buku mereka dengan tulisan "Gororo love keriting", dan sejenisnya.
Astaga, anak-anak.

Seperti sebelum-sebelumnya, Gadis kertiting tidak mau kalah dengan saingannya. Sebut saja Dara. Baik dalam nilai akademik, ranking kelas, les, bahkan barang-barang.
Ketika Gadis Keriting pulang dari berkunjung ke rumah Dara dan melihat ada Electone (alat musik semacam organ), ia langsung merengek-rengek minta dibelikan. Orang tuanya hanya menggeleng-geleng, menolak, karena baru bulan lalu ia juga memaksa minta dibelikan komputer.
"Huh, Mama sama Bapak pelit! Masa Dara aja punya, aku enggak? Dara juga les tuh, makanya pintar main musik. Nggak kayak aku!"  rengekan memaksa seperti itu sering terlontar dan membuat pekak telinga Mamanya. Akhirnya, dibelikan pula lah ia sekaligus dileskan di Yamaha Music Course.
Les ini itu dituruti, minta ini itu dituruti. Sudah puaskah, hai Gadis Keriting yang manja?

Kelas 5
Beberapa langkah lagi menuju seniornya senior. Di kelas 5 ini sekolah si gadis keriting sudah mengadakan pelajaran tambahan sepulang sekolah. Hal ini berguna agar ketika murid-murid sudah memasuki kelas 6, ia sudah terbekali dan sudah terbiasa dengan adanya jam pelajaran tambahan.
Gadis keriting cukup senang karena waktunya di sekolah mejadi lebih panjang. Itu berarti waktu bertemu dengan teman-temannya menjadilebih lama.
Ada murid baru juga, sebut saja Alvino. Dia juga berasal dari luar kota. Seorang keturunan Tionghoa, sipit, putih, dan terlihat cool. Namun si gadis keriting tidak tertarik. Ia masih bertahan dengan olok-olok "Gororo love keriting" karena Gororo memang sangat baik kepadanya, bahkan memberi walau tidak diminta.
Si Gadis Keriting tak pilih-pilih teman, baik itu laki-laki atau perempuan, ya sama saja. Bagaimana tidak, hanya ada 9 perempuan termasuk dirinya di antara 30an murid kelas 5.
Sudah dari kelas 3 dia tidak mau dijemput oleh orangtuanya, kecuali jika ia sedang malas. Ia terpengaruh oleh ajakan teman-temannya untuk pulang sendiri naik angkutan umum. Meskipun awalnya dilarang, namun setelah dipertimbangkan akhirnya disetujui juga.
Sebenarnya ada beberapa alasan ia tidak mau dijemput lagi: 1. Jika Mamanya yang jemput, ia harus rela tinggal sendirian di sekolah karena si Mama lama sekali datangnya, 2. Jika Bapak yang menjemputnya, ia harus rela tidak bermain dulu di sekolah bersama kawan-kawannya karena Si Bapak sudah standby di depan sekolah bersama motornya ketika bel sekolah belum berbunyi sekalipun. Great, 3. Terkadang ia dicap sebagai anak mami karena selalu diantar jemput.
Nah, itulah mengapa si gadis keriting lebih memilih pulang naik angkutan umum.

Demikian juga ketika ada ekstrakurikuler marching band. Ia lebih suka berangkat naik sepeda. Hampir semua anak yang mengikuti ekskul itu membawa sepeda. Apalagi kakak kelasnya. Cool. Sehabis latihan juga bisa bersepeda bareng-bareng di lapangan sekolah. Di grup marching band ini si gadis keriting sudah bukan seorang penari lagi, namun ia dipilih menjadi pemain balera sejak kelas 4.

Kelas 6
Ini dia tahun terakhir gadis keriting di sekolah dasar. Mengingat hal ini ia sempat sedih karena harus berpisah dengan teman-temannya. Apalagi ketika ia menanyai satu per satu teman-temannya, “Kamu mau ngelanjutin ke SMP mana besok?” Hanya satu orang yang ingin masuk ke sekolah lanjutan yang sama dengannya. Namanya Ron (bukan nama sebenarnya). Nah, Ron adalah idola si gadis keriting. Menurutnya, Ron adalah laki-laki terganteng di sekolah ini. Bahkan sempat ada konflik dengan adik kelas yang juga menyukai Ron. Aduh, dasar anak-anak.
Lucunya, meskipun satu kelas, Ron dan si gadis keriting saling berkirim surat. Surat itu tidal langsung diberikan kepada yang bersangkutan melainkan lewat perantara. Orang yang menjadi perantara itu adalah sahabat Ron, sebut saja Dandi. Setiap habis mengantarkan surat, Dandi selalu dibelikan jajan. Astaga masih kecil sudah pintar bernego. Berkat bantuan Dandi, akhirnya si gadis keriting mendapatkan pujaan hatinya. Mereka berpacaran. Ah, lebih tepatnya berteman dekat, kan? Karena berstatus pacaran ketika masih SD adalah hal yang tabu dan tak layak diperbincangkan.
Kegiatan di kelas 6 lumayan dinikmati oleh si gadis keriting. Mulai  dari penataran dokter kecil, pramuka, lanjutan pelajaran tambahan, lomba mata pelajaran, lomba paduan suara, lomba marching band, try out, hingga latihan ujian praktek.
Gadis keriting itu kerap ditunjuk oleh guru untuk mewakili sekolah dalam mengikuti beberapa lomba. Baik yang berkelompok seperti paduan suara, cerdas cermat dokter kecil, maupun individual seperti lomba berbahasa Indonesia, lomba mengarang, dan sebagainya.
Kalah menang sudah biasa, namun beberapa piala pernah ia sabet dan diberikan kepada sekolah dengan bangganya. Menurut wali kelas dan beberapa guru yang pernah mengajarnya, si gadis keriting lebih menonjol dalam bidang bahasa namun kurang ahli dalam keterampilan tangan dan seni suara.

Ujian akhir pertama dalam hidup si gadis keriting terlewati sudah. Ia cukup puas dengan NEM yang ia dapat, sehingga ia dapat masuk ke SMP keinginnannya. Ternyata hanya ia sendiri yang terdampar di sekolah lanjutan itu. Kehidupan barunya akan segera dimulai dari nol lagi, dengan teman-teman baru yang belum pernah ia temui sebelumnya.

**

Ya, itulah cerita tentang gadis keriting di masa SD-nya. Gadis keriting itu adalah aku. Aku yang sudah lebih dari 6 tahun meninggalkan seragam putih merahku. Aku yang kini sudah cukup bosan dengan sesuatu yang disebut dengan pelajaran. Aku yang sudah tak semanja itu lagi sejak adikku bersikap lebih manja dari aku.
Hanya sepenggal yang bisa diceritakan, karena 6 tahun sekolah di sana itu bisa dijadikan sebuah buku apanbila ditulis mendalam, termasuk menceritakan kehidupan masa kecilku.
Kau tau, aku merindukan masa-masa itu. Rindu sekali ketika masih minta dibelikan buku tokoh dunia, komik, dan mainan-mainan yang mudah rusak itu. Rindu ketika aku merasa senang saat pembantuku cuti (itu membuat mamaku tinggal di rumah lebih lama). Rindu ketika aku dipaksa tidur siang oleh nenekku yang siaga dengan sapu lidinya. 

OH YES I REALLY MISS MY CHILHOOD ~~

Feb 20, 2013

[FICTION] ROMEO & JULIET




Belum genap sepuluh menit sejak bel pulang berbunyi, kelas 2 IPS 1 ini sudah terlihat lengang. Hanya ada beberapa gelintir siswa yang masih sibuk memebereskan buku dan alat tulisnya.
Raras terlihat bersemangat sekali siang ini, tak seperti biasanya. Sesekali ia meleparkan pandangnnya ke arah Robi, Si Ketua Kelas. Menyadari ada sepasang mata yang berkali-kali memperhatikannya, Robi pun menoleh berusaha manengkap mata itu.

"Hei, Ras. Udah selesai? Jadi kan kita hari ini?" tanya Robi akhirnya. Ia berjalan mengampiri Raras sambil menyampirkan tas ransel di pundaknya.
Senyum Raras merekah dan kepalanya mengangguk cepat.

"Ayo, Bi, buruan," ujarnya. Tangan Raras menggamit lengan Robi dan keduanya melenggang meninggalkan kelas yang sudah benar-benar kosong ini.
Aku menyunggingkan senyum melihat adegan itu. Rasanya senang sekali melihat gadis manis itu bersama dengan pujaan hatinya. Romeo dan Juliet.

"Hei, Tuan Tembok, kenapa kau senyum-senyum sendiri, hah? Jangan seperti orang bodoh!" Suara Nyonya Jam mengagetkanku. Terdengar pula cekikikan dari anak-anak kapur dan Nona Vas Bunga.

"Oh. Aku hanya meraasa senang melihat Raras dengan Robi, Nyonya. Bukankah mereka terlihat sangat serasi?" jelasku.

"Biasa saja," ujar Nyonya jam tersenyum seadanya.  Anak-anak kapur berloncatan girang di dalam kotaknya, hanya sukacita saja yang mereka tahu.

***

"Kita mau makan siang dulu atau langsung cari buku, nih?" tanya Robi lembut.
"Terserah kamu aja, Bi. Kamu udah lapar?" jawab Raras.
"Sebenernya sih udah lumayan lapar. Tapi mending cari buku aja dulu deh, Ra. Soalnya pasti nanti jadi lapar lagi," ujar Robi sambil tertawa.

Raras mengiyakan dan ikut tertawa bersamanya. Metromini yang penuh sesak itu tudak membuat keduanya merasa gerah dan kesal. Mereka begitu menikmati saat-saat kebersamaan mereka dimanapun dan dalam situasi seperti apapun.

"Ras, gimana pendapatmu kalau aku ikut dalam pemilihan ketua osis periode ini?" tanya Robi hati-hati. Dia tahu bahwa kekasihnya ini kurang suka dengan aktivitasnya yang bejibun.
"Hm, terserah." Dugaan Robi benar. Raras langsung memalingkan wajahnya.
"Jutek banget jawabnya. Nggak suka, ya?"
"Ya gitu."
"Kenapa?"
Raras menghela nafas berat, "Bukannya aku nggak suka, tapi aku khawatir. Kamu udah ikut banyak kegiatan di sekolah, jadi pengurus OSIS aja udah sibuk banget, gimana nanti kalau jadi ketua? Aku takut kamu nggak ada waktu lagi buat aku."
"Kenapa kamu jadi sedikit egois gini, Ras? Ini seperti bukan Raras yang aku kenal," tegur Robi halus. Raras membisu. Seperti memikirkan sesuatu tapi sebenarnya tidak ada yang dipikirkan.
"Ras? Kok diam?"
Raras tetap membisu. Percakapan mereka dipaksa berhenti oleh keheningan yang menyelimuti dua insan itu.

Perjalanan menuju mall menjadi sepi, tak seceria ketika pulang sekolah tadi. Ada rasa bersalah dalam benak Robi. Ia menyadari bahwa ia membahas hal ini di waktu yang salah.
Metromini berhenti beberapa meter dari gerbang mall. Robi menggandeng Raras dan mengajaknya turun.

Tanpa sepatah katapun keluar dari mulut masing-masing, hanya genggaman tangan yang masih menjadi media untuk menyaurkan kasih mereka.
Sejuknya pendingin ruangan menerpa wajah mereka ketika menapaki sebuah tempat yang luas dan banyak prang wara-wiri dengan tas belanjaan mereka.

"Yuk, Ras, langsung ke Gramedia aja ya kita," kata Robi membuka pembicaraan.
Raras tersenyum dan menggenggam tangan Robi lebih erat.
Obrolan hangat mulai ditawarkan, laksana ingin mengungguli dinginnya AC mall. Tak jarang candaan-candaan renyah turut dilontarkan. Kebekuan yang sempat mebisukan mereka kini telah mencair seperti menyambut kedatangan musim semi.


***

Pagi ini kulihat Robi datang sangat awal. Bahkan kurasa hanya selisih beberapa menit dari kedatangan Pak Bon, tukang kebersihan sekolah.
Terlihat gugup dan wajahnya muram. Matanya tak lepas dari layar handphone. Seperti menunggu pesan dari seseorang.

Aku melempar pandangan ke sekeliling. Nyonya Jam yang biasanya banyak berbicara, kini terlihat diam. Anak-anak kapur asik bermain sendiri. Tuan Papan Tulis juga terlihat tak acuh. Hanya Nona Vas Bunga yang sama sepertiku, memeperhatikan kekasih Si Gadis manis idolaku.

Jarum-jarum di tubuh Nyonya Jam terus bergerak tanpa henti. Siswa-siswi lain sudah berdatangan, beberapa menyapa Robi. Robi menjawab sekenanya dan raut mukanya tak berubah sejak ia datang. Pesan yang ia tunggu tak kunjung datang karena sedari tadi aku tak mendengar handphone mutakhirnya berteriak menandakan adanya pesan atau telepon masuk.
Aku menduga, pasti Robi sedang menunggu sesuatu dari Raras.

Nah, benar kan. Tak berapa lama Raras datang. Sama seperti Robi, wajahnya terlihat kuyu seperti senter yang kekurangan daya baterai.
Bukannya gembira dengan kedatangan Raras, ia malah kesal.

"Lama banget datangnya, Ras. Kamu nggak tahu ya kalau udah aku tungguin dari tadi? Kesiangan bangunnya? SMSku nggak dibalas juga," cerocos Robi.
Raras tak kalah sewotnya, “Nggak bisa bicara pelan-pelan lo? Baru sebentar tinggal di Jakarta, ya? Nggak pernah ngerasain macet? Lo pikir gue santai gitu dateng ke sini?”
Mendengar nada bicara Raras yang meninggi, aku terhenyak. Bahkan ‘aku’ dan ‘kamu’ yang biasa aku nikmati dalam obrolan mereka sudah berubah menjadi ‘lo’ dan ‘gue’.  Semua mata yang ada di situ menatap ke sumber suara. Robi mengernyitkan kening dan lewat pandangan matanya, memaksa Raras untuk segera duduk. Raras menangkap isyarat yang diberikan Robi namun tak peduli lagi dengan tatapan bingung teman-temannya. Jika dikartunkan, kurasa sudah keluar uap panas dari ubun-ubun Raras.

“Tuan Tembok, lihat, gadis idolamu bertingkah seperti monster ubur-ubur!” teriak anak-anak kapur. “Tutup mulut kalian, Anak-anak. Aku tidak suka apabila ada yang mencemooh gadis idolaku. Kalian tidak tahu apa masalahnya, bukan?” tangkisku.
“Oh, lalu apakah kau tahu permasalahan mereka, Tuan?” ejek Tuan Papan Tulis tak senang.
“Ssssssh,” dengusku, “hentikan, hentikan!”

Kudengar semua teman-temanku menertawakan aku, tapi aku acuhkan. Kupandangi sedih sosok mereka berdua. Romeo dan Juliet yang aku puja. Panggung sandiwara di hadapanku kini tengah memperlihatkan sisi lain dari keromantisan kisah mereka. Sepanjang hari tak ada kata-kata mesra yang terdengar, kontak fisik pun tidak. Ada sekat tak terlihat di antara mereka.

Jam pelajaran terkahir yang mengasyikan, yaitu kesenian, usai. Kulihat anak-anak kapur terus menari dan bernyanyi bersama Nona Vas Bunga.
“Nona, pelajaran sudah selesai. Anak-anak, kalian bahagia sekali ya rupanya,” ujarku terkekeh melihat tingkah mereka.
Nona Vas Bunga tertawa saja mendengar ucapanku barusan lalu berkata, “Tentu saja, Tuan Tembok. Ini adalah pelajaran yang paling aku suka. Kenapa? Karena menghilangkan jenuh dan melepas beban. Apa kau lihat tadi, pasangan pujaanmu itu juga sudah bergembira menikmati alunan musik yang diajarkan tadi. Semua permasalahan menguap bersama nyanyian dan tarian.”

Aku mengangguk setuju. Kalian tahu? Robi dan Raras tampaknya sudah melupakan masalah tadi pagi. Kini kulihat mereka kembali tertawa lepas seperti biasanya. Jam menunjukan pukul 2 siang dan saat yang paling ditunggu oleh siswa datang juga akhirnya. Bel pulang. Dasar bandel, guru musik belum keluar ruangan pun mereka sudah mendahuluinya. Tidak sopan!
Robi dan Raras tak beranjak dari tempat duduk mereka. Menunggu apa lagi ya, pikirku. Ah, entahlah, mungkin masih malas pulang. Hah? Malas pulang? Tidak mungkin. Ini aneh. 

Setelah kelas benar-benar kosong, Robi menggeser bangkunya, mendekatkan diri ke arah Raras. Tubuhnya diserongkan dan jemarinya menggenggam jemari Raras dengan kencang.
“Gimana, Ras? Hasilnya. Apakah ....” Belum selesai Robi berbicara, Raras sudah menukasnya, “Positif, Bi. Positif. Jadi gimana? Omongan kamu dahulu ternyata bohong. Kamu bilang, ini tidak apa-apa. Tapi nyatanya ...” Suara Raras tersendat. Isak tangis yang berusaha ditahan, namun gagal.

Kuharap aku salah dengar. Kuharap ini hanya sebuah sandiwara. Sandiwara tanpa skenario, tanpa sutradara, tanpa pononton.
Nona Vas Bunga menahan napas mendengarkan pembicaraan mereka. Anak-anak kapur yang biasanya ribut, kali ini terdiam seribu bahasa. Hanya terdengar tik-tok jarum Nyonya Jam yang memang tak akan berhenti kecuali jika baterai habis.

“Jangan menangis, Sayang. Semua ada jalan keluarnya,” bisik Robi. Ia mengecup kening SI Juliet untuk menenangkannya.
“Tapi, nggak seharusnya calon pemimpin berbuat seperti ini, kan? Bagaimana nanti jika .... “
“Sudah, sudah. Aku membatalkan rencanaku itu. Sempat kupikirkan memang, aku terlalu banyak kegiatan di sini. Untuk sekedar mengantarmu pulang pun aku sering banget nggak sempat. Kamu sadar nggak, kalau aku nggak pernah main sama kamu lagi saat malam minggu? Kamu benar, aku nggak punya banyak waktu buat kamu. Aku yang terlalu egois.”
“Bagaimana sekolah kita nanti?” tanya Raras, tak menggubris kata-kata Robi. Pikirannya kalut, tak tahu harus bagaimana nanti. Bagaimana jika orang tuanya tahu? Bagaimana jika teman-temannya tahu?
“Kita akan tetap sekolah kok. Jangan khawatir,” ujar Robi, “aku tahu tempat yang harus kita datangi sekarang. Nggak jauh dari bantaran Ciliwung. Kita ke sana sekarang, ya. Jangan takut.”

Aku terkesiap. Berusaha memahami kata demi kata yang terlontar dari bibir Robi.
“Anak muda jaman sekarang! Tidak tahu malu! Tidak beretika,” cibir Nyonya Jam geram.
“Itukah Romeo dan Juliet-mu yang kaubanggakan itu, Tuan Tembok?” sindir Tuan Papan Tulis tak mau kalah.

Aku mengabaikan segala caci maki dan cibiran teman-temanku. Mataku terus memandangi  makhluk Tuhan yang mulai meninggalkan ruang tak bisu ini, melepas kepergian mereka menuju tempat apa itu namanya, aku pun enggan mencari tahu. Seperti inikah Romeo dan Juliet pujaanku?


*
Copyright © 2014 WELCOME TO MY WORLD !