Kelas 1
Gadis kecil berambut keriting itu datang terlalu
pagi, di saat ruang kelasnya masih kosong. Dia berjalan mendekati bangku yang
sejak hari pertama ia masuk sudah dipilihnya, yaitu bangku nomor dua dari
depan. Awalnya ia duduk manis, terdiam membisu, kemudian keluar kelas, lalu
masuk lagi. Bosan. Di puncak kebosanannya, matanya menumbuk ke sebuah rak buku
yang dipunggungi oleh kursi guru.
Gadis keriting berjalan dan perlahan ia menggeser
kursi guru yang menghalangi rak buku itu. Tangannya mulai bergerak menyusuri
jajaran buku-buku cerita tipis. Matanya terus membaca judul demi judul. Ia
girang sekali seolah-olah telah menemukan harta karun yang tak pernah ditemukan
oleh bajak laut. Ia mengambil sebuah buku berjudul Gadis Penjual Korek Api.
Dibawanya buku itu ke tempat duduknya dan tak lama ia hanyut ke dalam dunia
fantasinya bersama si gadis penjual korek api. Begitulah setiap pagi, rak
bersama buku-buku cerita itu menjadi kawannya menunggu teman yang lain datang.
Ia nyaman dengn daya imajinasinya yang tumbuh karena dongeng-dongeng itu.
Pernah suatu ketika, ia diminta untuk membacakan
sebuah cerita, berjudul "Dino yang Malas". Karena terbiasa membaca
cepat di dalam hatinya, ia pun bertindak demikian di depan kelas. Suaranya
tidak terlalu keras dan cepat sekali ia membacanya hingga Ibu Guru berkata,
"Sudah pintar membaca, ya. Sampai-sampai seperti kereta api."
Ia malu mendengarnya, apalagi teman-teman satu
kelas menertawakannya. Sejak itu rasa percaya dirinya mulai berkabut.
Kelas 2
Di kelas baru gadis keriting tidak ada rak dan buku
seperti di kelas 1. Namun ia tetap menyempatkan dirinya untuk singgah di kelas
lamanya hanya untuk sekedar membaca atau mencari buku baru ketika ia menunggu
jemputan yang biasanya selisih 1 jam lebih lama dari bel pulang. Ya, mamanya
bekerja di kantor yang cukup jauh dari sekolahnya. Sedangkan bapaknya bekerja
di luar kota.
Semenjak ia naik kelas 2, jarang sekali ia datang
pagi. Malah pernah satu kali ia terlambat hampir 30 menit. Ketika ia memasuki
lingkungan sekolahnya, sudah sangat sepi, pintu-pintu kelas tertutup dan
samar-samar terdengar riuh rendah interaksi guru dengan murid. Ia berlari-lari
kecil menuju ruang kelas 2. Oh tidak, itu suara Bu Ngarpiah, guru yang paling
galak di sekolah itu. Dengan jantung yang berdegup sangat kencang, ia mengetuk
pintu dan membukanya perlahan. Kelas yang tadinya cukup ramai, kini hening dan
semua mata menatap kepadanya. Wajah si gadis keriting pucat pasi namun terlihat
tegar. Ia berkata, "Maaf Bu, saya terlambat. Tadi ban motornya
bocor."
Bu Ngarpiah menjawab santai namun menggelegar,
"Ya sudah tidak apa-apa, tapi sekarang kamu belajar dulu ya di luar sampai
nanti jam istirahat."
Oh Tuhan, gadis keriting itu dihukum buang. Ia
tidak tahu harus berbuat apa dan langsung berjalan keluar lewat pintu belakang
kelas. Malu sekali ia, apalagi ketika ada beberapa orang yang melintas, pasti
bertanya, "Lho, kok di luar to?"
Dia hanya menjawab malu-malu, "Iya, saya
terlambat tadi."
Sejak kejadian itu, ia selalu minta pada mamanya
agar diantar lebih pagi dan lebih cepat daripada biasanya.
Kelas 3
Nah, tahun ajaran baru ini merupakan tahun awal
diberlakukannya sistem Semester, menggantikan sistem Caturwulan. Gadis keriting
tidak peduli dengan sistem itu. Yang ia tahu, mulai tahun ini pembagian rapor
hanya dua kali dan itu berarti ia tak perlu melewati banyak ulangan umum.
Di tahun ini pula ada pelajaran baru, yaitu IPS dan
IPA, yang sebelumnya belum pernah ia dapatkan di kelas 1 dan kelas 2. Tahun ini
juga pertama kalinya ia menggunakan bolpoin dan tipe-x, benda yang tadinya
hanya ia lihat di tempat pensil sang ibu.
Gadis keriting semakin giat belajar, apalagi saat
belajar IPS dan seni musik.
Kedua pelajaran favoritnya ini selalu menjadi bahan
pembicaraan ketika di rumah. Mungkin mama dan nenek, bahkan pembantunya sampai
bosan mendengarkan cerita yang itu-itu saja. Namun ia tak peduli.
Ia pun semakin kritis dan suka bicara. Bertanya apa
saja yang ingin ia tanyakan. Bapak gadis ini sampai menjulukinya anak cerewet.
Ia tak peduli, malah bangga dengan sebutan itu. Aneh.
Pertama kalinya ia diajak oleh kakak kelasnya untuk
join grup marching band di sekolahnya. Menurutnya keren, jadi ia mau, meskipun
hanya menjadi penari saja. Ia senang sekali karena sering ikut di beberapa
karnaval dan perlombaan.
Suatu ketika, ia duduk bersama dengan teman
laki-laki yang terkenal nakal dan jahil. Sebut saja Bombom. Ia terpaksa duduk
bersamanya di bangku paling belakang karena hanya disitu lah bangku yang masih
tersedia.
Tiba-tiba, Bruk!
"Aduh sakit tau!!"
Gadis keriting didorong oleh Bombom hingga terjatuh
dari kursinya. Bombom dan teman-teman lain yang berada di dekat situ
menertawakannya seolah-olah itu adalah tontonan sirkus. Sejak saat itu si gadis
keriting membencinya dan takut apabila berada di dekatnya.
Kelas 4
Setahun berlalu dan meninggalkan banyak kisah
konyol. Kini ia berada di tingkat 4, merasa hampir menadi senior karena sudah
mempunyai 3 adik angkatan. Di tahun ini juga, tingkahnya sudah seperti ABG
saja. Menyukai dan merasa disukai seseorang. Ya, ada siswa baru berasal dari
luar kota, sebut saja Gororo. Gororo berbadan cungkring, putih, dengan rambut
sasak. Seragamnya 1 ukuran lebih besar daripada ukuran badannya. Setiap hari
dia membawa sepedan dalmationnya ke sekolah. Memang sih, rumahnya cukup dekat.
Entah ada angin apa tiba-tiba terdengar gosip bahwa
Gororo menyukai Si Gadis Keriting. Wah, semenjak itu mereka berdua menjadi
bahan olok-olokan satu kelas. Rasanya malu sekali jika si gadis keriting
bertemu dengan Gororo. Apalagi jika kebetulan dimasukan ke dalam satu kelompok
belajar.
Banyak tangan-tangan jahil yang mencorat-coret
papan tulis dan buku mereka dengan tulisan "Gororo love keriting", dan sejenisnya.
Astaga, anak-anak.
Seperti sebelum-sebelumnya, Gadis kertiting tidak
mau kalah dengan saingannya. Sebut saja Dara. Baik dalam nilai akademik,
ranking kelas, les, bahkan barang-barang.
Ketika Gadis Keriting pulang dari berkunjung ke
rumah Dara dan melihat ada Electone (alat musik semacam organ), ia langsung
merengek-rengek minta dibelikan. Orang tuanya hanya menggeleng-geleng, menolak,
karena baru bulan lalu ia juga memaksa minta dibelikan komputer.
"Huh, Mama sama Bapak pelit! Masa Dara aja
punya, aku enggak? Dara juga les tuh, makanya pintar main musik. Nggak kayak
aku!" rengekan memaksa seperti itu
sering terlontar dan membuat pekak telinga Mamanya. Akhirnya, dibelikan pula
lah ia sekaligus dileskan di Yamaha Music Course.
Les ini itu dituruti, minta ini itu dituruti. Sudah
puaskah, hai Gadis Keriting yang manja?
Kelas 5
Beberapa langkah lagi menuju seniornya senior. Di
kelas 5 ini sekolah si gadis keriting sudah mengadakan pelajaran tambahan
sepulang sekolah. Hal ini berguna agar ketika murid-murid sudah memasuki kelas
6, ia sudah terbekali dan sudah terbiasa dengan adanya jam pelajaran tambahan.
Gadis keriting cukup senang karena waktunya di
sekolah mejadi lebih panjang. Itu berarti waktu bertemu dengan teman-temannya
menjadilebih lama.
Ada murid baru juga, sebut saja Alvino. Dia juga
berasal dari luar kota. Seorang keturunan Tionghoa, sipit, putih, dan terlihat
cool. Namun si gadis keriting tidak tertarik. Ia masih bertahan dengan
olok-olok "Gororo love keriting" karena Gororo memang sangat baik kepadanya,
bahkan memberi walau tidak diminta.
Si Gadis Keriting tak pilih-pilih teman, baik itu
laki-laki atau perempuan, ya sama saja. Bagaimana tidak, hanya ada 9 perempuan
termasuk dirinya di antara 30an murid kelas 5.
Sudah dari kelas 3 dia tidak mau dijemput oleh
orangtuanya, kecuali jika ia sedang malas. Ia terpengaruh oleh ajakan
teman-temannya untuk pulang sendiri naik angkutan umum. Meskipun awalnya
dilarang, namun setelah dipertimbangkan akhirnya disetujui juga.
Sebenarnya ada beberapa alasan ia tidak mau
dijemput lagi: 1. Jika Mamanya yang jemput, ia harus rela tinggal sendirian di
sekolah karena si Mama lama sekali datangnya, 2. Jika Bapak yang menjemputnya,
ia harus rela tidak bermain dulu di sekolah bersama kawan-kawannya karena Si Bapak
sudah standby di depan sekolah bersama motornya ketika bel sekolah belum
berbunyi sekalipun. Great, 3. Terkadang ia dicap sebagai anak mami karena
selalu diantar jemput.
Nah, itulah mengapa si gadis keriting lebih memilih
pulang naik angkutan umum.
Demikian juga ketika ada ekstrakurikuler marching
band. Ia lebih suka berangkat naik sepeda. Hampir semua anak yang mengikuti
ekskul itu membawa sepeda. Apalagi kakak kelasnya. Cool. Sehabis latihan juga
bisa bersepeda bareng-bareng di lapangan sekolah. Di grup marching band ini si gadis keriting sudah bukan seorang penari lagi, namun ia dipilih menjadi pemain balera sejak kelas 4.
Kelas 6
Ini dia tahun terakhir gadis keriting di sekolah
dasar. Mengingat hal ini ia sempat sedih karena harus berpisah dengan
teman-temannya. Apalagi ketika ia menanyai satu per satu teman-temannya, “Kamu
mau ngelanjutin ke SMP mana besok?” Hanya satu orang yang ingin masuk ke
sekolah lanjutan yang sama dengannya. Namanya Ron (bukan nama sebenarnya). Nah,
Ron adalah idola si gadis keriting. Menurutnya, Ron adalah laki-laki terganteng
di sekolah ini. Bahkan sempat ada konflik dengan adik kelas yang juga menyukai
Ron. Aduh, dasar anak-anak.
Lucunya, meskipun satu kelas, Ron dan si gadis
keriting saling berkirim surat. Surat itu tidal langsung diberikan kepada yang
bersangkutan melainkan lewat perantara. Orang yang menjadi perantara itu adalah
sahabat Ron, sebut saja Dandi. Setiap habis mengantarkan surat, Dandi selalu
dibelikan jajan. Astaga masih kecil sudah pintar bernego. Berkat bantuan Dandi,
akhirnya si gadis keriting mendapatkan pujaan hatinya. Mereka berpacaran. Ah,
lebih tepatnya berteman dekat, kan? Karena berstatus pacaran ketika masih SD
adalah hal yang tabu dan tak layak diperbincangkan.
Kegiatan di kelas 6 lumayan dinikmati oleh si gadis
keriting. Mulai dari penataran dokter
kecil, pramuka, lanjutan pelajaran tambahan, lomba mata pelajaran, lomba paduan
suara, lomba marching band, try out, hingga latihan ujian praktek.
Gadis keriting itu kerap ditunjuk oleh guru untuk
mewakili sekolah dalam mengikuti beberapa lomba. Baik yang berkelompok seperti
paduan suara, cerdas cermat dokter kecil, maupun individual seperti lomba berbahasa
Indonesia, lomba mengarang, dan sebagainya.
Kalah menang sudah biasa, namun beberapa piala
pernah ia sabet dan diberikan kepada sekolah dengan bangganya. Menurut wali
kelas dan beberapa guru yang pernah mengajarnya, si gadis keriting lebih
menonjol dalam bidang bahasa namun kurang ahli dalam keterampilan tangan dan seni suara.
Ujian akhir pertama dalam hidup si gadis keriting terlewati
sudah. Ia cukup puas dengan NEM yang ia dapat, sehingga ia dapat masuk ke SMP
keinginnannya. Ternyata hanya ia sendiri yang terdampar di sekolah lanjutan
itu. Kehidupan barunya akan segera dimulai dari nol lagi, dengan teman-teman baru
yang belum pernah ia temui sebelumnya.
**
Ya, itulah cerita tentang gadis keriting di masa SD-nya.
Gadis keriting itu adalah aku. Aku yang sudah lebih dari 6 tahun meninggalkan
seragam putih merahku. Aku yang kini sudah cukup bosan dengan sesuatu yang
disebut dengan pelajaran. Aku yang sudah tak semanja itu lagi sejak adikku bersikap lebih manja dari aku.
Hanya sepenggal yang bisa diceritakan, karena 6
tahun sekolah di sana itu bisa dijadikan sebuah buku apanbila ditulis mendalam,
termasuk menceritakan kehidupan masa kecilku.
Kau tau, aku merindukan masa-masa itu. Rindu sekali
ketika masih minta dibelikan buku tokoh dunia, komik, dan mainan-mainan yang
mudah rusak itu. Rindu ketika aku merasa senang saat pembantuku cuti (itu
membuat mamaku tinggal di rumah lebih lama). Rindu ketika aku dipaksa tidur
siang oleh nenekku yang siaga dengan sapu lidinya.
OH YES I REALLY MISS MY CHILHOOD ~~