[FICTION] KELERENG YANG SIPIT
"Gimana penampilan Sera sekarang, Ma? Udah oke belum?" tanya Sera ragu. Mata sipitnya terus memandangi cermin di hadapannya sambil sesekali memutar-mutar tubuhnya. Mama Sera tertawa dan bangkit dari duduknya.
"Cantik sekali Sera. Sudah pantas anak Mama memakai seragam putih abu-abu, ya," jawabnya lembut. Sera tersenyum.
"Yuk, Ma, sarapan. Abis itu biar Sera
berangkat sendiri saja,ya."
Mama sera mengernyitkan dahi, "Beneran, Ser?
Tumben banget lho. Nggak apa-apa nih?"
"Iya, Ma. Sera kan udah gede, masa mau diantar-jemput
terus. Malu, Ma. Apalagi sekarang teman-teman Sera juga udah berangkat sendiri.
Keren tau, Ma," cerocos Sera. Seperti biasa, mamanya hanya tertawa melihat
tingkah putri tunggalnya itu.
Hari ini adalah hari pertama Sera mengenakan
seragam SMA. Dengan penuh rasa bangga, ia berjalan keluar kompleks
perumahannya. Bagaimana ia tidak bangga, di lengan kanannya tertempel badge SMA
unggulan di kota Yogyakarta.
Hup, hup, hup ! Kaki mungil Sera lincah menghindari
beberapa genangan air yang siap mengotori sepatu hitamnya.
"Uh, kenapa sih hujan mulu akhir-akhir
ini," gerutu Sera tak senang, "Aduh!!" Tiba-tiba ia menubruk
seseorang. Sera terhuyung seperti orang mabuk. Tak sampai ia terjatuh, ada
tangan kokoh yang menopang tubuhnya dan membuat Sera tegap berdiri kembali.
"Waaaaaa! Hampir saja. Maaf ya, aku ga sengaja,
sumpah aku ga lihat jalan tadi. Tuh, banyak kubangan air jadi aku ...."
Sera tak sanggup melanjutkan ucapannya. Ia hanya menunduk. Perasaan takut,
malu, pasrah, dan entah apa berbaur menjadi satu.
Detik pun berlalu namun tak ada suara lagi selain
deru kendaraan yang melintas.
"Eh, kok Kakak ini diam saja, ya? Aduh
jangan-jangan dia marah banget," gumam Sera dalam hati. Tak lama ia
paksakan kepalanya untuk mendongak. Mata sipitnya beradu dengan mata kelereng laki-laki
yang tak sengaja ia tabrak tadi. Kembali hening.
Sera merasa seperti dialiri listrik ketika
laki-laki itu tersenyum simpul dan menepuk-nepuk pundak Sera.
Laki-laki itu memasukan tangan ke kantong celana
seragamnya lalu melenggang pergi. Tanpa mengucapkan sepatah katapun untuk Sera.
Ganteng. Cool. Muka Sera memerah mengingat hal itu
namun segera ia menggelengkan kepalanya dan kembali menyusuri jalan menuju
sekolahnya.
***
Berserakan sekali meja belajar Sera. Buku tulis
terbuka, tak ditulisi. Buku paket terbuka, tak dibaca. Spidol warna-warni
terhampar, tak tersentuh sama sekali. Sera termangu dengan pulpen
diketuk-ketukan pada kepalanya. Seperti banyak pikiran saja. Tapi memang benar,
semenjak kejadian tadi pagi, hatinya seperti disetrum dan otaknya tak berhenti
memikirkan laki-laki bermata kelereng itu.
Tak ada habisnya ia berpikir, kenapa ia begitu
misterius. Kenapa tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Kenapa senyumnya
begitu menawan. Dan kenapa dia bisa membuat Sera merasakan sesuatu yang belum
pernah ia rasakan sebelumnya.
"Ah, anak mana ya? Sayang banget tadi
seragamnya tertutup jaket," ucap Sera perlahan, "ganteng banget. Eh,
ganteng aja deh. Hihi."
“Astaga, parah banget. Masa iya sih aku suka sama
orang yang baru aku temui. Ga oke banget lagi, pake acara nabrak segala.”
“Ga mungkin, ga mungkin, ga mungkin. Ga mungkin aku
suka sama Kakak itu, ya kan?”
Astaga, Sera benar-benar mabuk kepayang dibuatnya.
Sampai-sampai lampu berbentuk bunga matahari di hadapannya pun ia jadikan kawan
bicara.
Di waktu yang sama, laki-laki yang menghantui
pikiran Sera tengah berbaring di kasur empuk miliknya. Lukman, nama laki-laki
itu, menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan nanar. Ia tak menyangka
dapat secepat itu jatuh cinta kepada seorang gadis, bahkan namanya saja belum
ia ketahui. Rambut hitam yang dikuncir rapih, mata yang sipit, bibir yang
mungil, melekat erat dalam ingatannya.
“Kapan aku bisa bertemu lagi, ya? Benar-benar
pertemuan yang konyol,” batin Lukman, “sudahlah, saatnya tidur.”
***
Siang yang mendung. Sera berjalan ke shelter dekat
sekolahnya. Rapat guru membuat ia dapat pulang lebih awal. Namun kenapa dia
sendirian? Bukan karena ia tak punya teman, tetapi cuma Sera yang harus naik
Trans Jogja dari shelter itu. Teman yang lain kebanyakan pulang naik angkutan
umum yang lewat di depan sekolahnya.
Rupanya langit tak bersahabat dengannya kali ini. Seperti telah dikomando, hujan turun rintik-rintik. Sera mempercepat langkahnya. Dalam hitungan detik, hujan deras mengguyur bumi Jogja. Terpaksa Sera berlari-lari sambil meyumpahi hujan yang menjadi kambing hitam itu.
Rupanya langit tak bersahabat dengannya kali ini. Seperti telah dikomando, hujan turun rintik-rintik. Sera mempercepat langkahnya. Dalam hitungan detik, hujan deras mengguyur bumi Jogja. Terpaksa Sera berlari-lari sambil meyumpahi hujan yang menjadi kambing hitam itu.
“Parah nih! Ujannya ga bilang-bilang sih. Tau gitu
kan aku bawa payung tadi. Huh, jadi basah kan ini seragam, padahal baru aja
dipakai sehari. Besok gimana dong? Huh!”
Sambil melepas ikat rambutnya, dia memandang sekeliling. Sera tersentak ketika menyadari ada sepasang mata kelereng yang sedari tadi memperhatikan kelakuan Sera sambil menahan tawanya.
Sambil melepas ikat rambutnya, dia memandang sekeliling. Sera tersentak ketika menyadari ada sepasang mata kelereng yang sedari tadi memperhatikan kelakuan Sera sambil menahan tawanya.
Wajah Sera terasa panas dan secara refleks ia membuang muka ke arah jalanan.
“Aduuuuuh, ada Kakak ganteng,” ceplos Sera. Dalam
hati tentunya. Takut dianggap sombong, dia menoleh lagi. Matanya mencari-cari
di mana Lukman berada, namun sayang, orang yang dicari sudah berpindah tempat
entah kemana. Terbersit rasa kecewa dalam diri Sera.
Mungkin jika Lukman tidak menepuk pundak Sera, Sera
tidak akan pernah menyadari kehadirannya. Ya, Lukman memang berpindah tempat,
bukan entah kemana, namun ia sudah duduk manis di belakang Sera.
“Hei, Kakak!” seru Sera. Semua mata yang ada di shelter itu serentak menoleh ke sumber suara. Kontan ia memasang wajah polos tak berdosa, seolah-olah bukan dia penyebabnya. Lukman mengernyitkan dahi, bingung. Ia tak mengerti dengan apa yang sedang terjadi di tempat itu.
Ketika suasana kembali normal, Sera tak segan
mengawali pembicaraan.
“Eh, Kak. Maaf ya soal yang kemarin. Aku ga sengaja
lho, Kak. Beneran deh. Tapi makasih banget ya, Kak, aku ga jatuh karena ditahan
sama Kakak,” cerocos Sera. Lukman terdiam. Ia hanya memperhatikan mimik Sera
dan mencoba menangkap apa yang dikatakannya.
“Ah! Apa yang dikatakan gadis sipitku ini? Tuhan,
beri aku kesempatan kali ini saja untuk bisa mendengar dan berbicara! Tolong.
Bahkan hanya untuk sekedar berkenalan saja dengannya!” pekik Lukman dalam hatinya.
Perasaan kecewa, sedih, dan sesal berkecamuk dalam dada.
“Kenapa aku diberi keterbatasan seperti ini, Tuhan? Kenapa Engkau tak mengerti aku?”
“Kenapa aku diberi keterbatasan seperti ini, Tuhan? Kenapa Engkau tak mengerti aku?”
“Kak, kok diam aja? Kakak marah? Eh, nama Kakak
siapa?” tanya Sera. Lukman tetap diam, tak bergeming sedikitpun. Mata
kelerengnya seketika terlihat sayu.
Seorang wanita separuh baya tergopoh-gopoh
menghampiri Lukman. Dengan gerakan tangan sebagai bahasa isyarat, wanita yang
tak lain adalah ibunya itu menarik lembut tangan Lukman. Mereka berjalan dan
menaiki bus yang baru saja datang. Sera terpana melihat peristiwa itu, sadar
bahwa ada sesuatu yang tersirat pada diri Lukman. Mata sipit Sera dan mata
kelereng Lukman terpaut dalam. Tak terlepas sampai pintu bus ditutup. Sera dan
Lukman tahu bahwa ada keterbatasan pada perasaan mereka.
Tetapi yang mereka tidak tahu adalah jika mereka tetap akan bisa bersatu suatu saat nanti. Satu lagi, Sera tidak tahu bahwa bus yang akan membawanya pulang ini akan menjadi headline koran keesokan harinya dengan judul "Kecelakaan Maut Trans Jogja".
Tetapi yang mereka tidak tahu adalah jika mereka tetap akan bisa bersatu suatu saat nanti. Satu lagi, Sera tidak tahu bahwa bus yang akan membawanya pulang ini akan menjadi headline koran keesokan harinya dengan judul "Kecelakaan Maut Trans Jogja".
*
0 comments:
Post a Comment