[FICTION] ROMEO & JULIET
Belum genap sepuluh menit sejak bel pulang berbunyi, kelas 2 IPS 1 ini sudah terlihat lengang. Hanya ada beberapa gelintir siswa yang masih sibuk memebereskan buku dan alat tulisnya.
Raras terlihat bersemangat sekali siang ini, tak
seperti biasanya. Sesekali ia meleparkan pandangnnya ke arah Robi, Si Ketua
Kelas. Menyadari ada sepasang mata yang berkali-kali memperhatikannya, Robi pun
menoleh berusaha manengkap mata itu.
"Hei, Ras. Udah selesai? Jadi kan kita hari
ini?" tanya Robi akhirnya. Ia berjalan mengampiri Raras sambil
menyampirkan tas ransel di pundaknya.
Senyum Raras merekah dan kepalanya mengangguk
cepat.
"Ayo, Bi, buruan," ujarnya. Tangan Raras
menggamit lengan Robi dan keduanya melenggang meninggalkan kelas yang sudah
benar-benar kosong ini.
Aku menyunggingkan senyum melihat adegan itu.
Rasanya senang sekali melihat gadis manis itu bersama dengan pujaan hatinya.
Romeo dan Juliet.
"Hei, Tuan Tembok, kenapa kau senyum-senyum
sendiri, hah? Jangan seperti orang bodoh!" Suara Nyonya Jam mengagetkanku.
Terdengar pula cekikikan dari anak-anak kapur dan Nona Vas Bunga.
"Oh. Aku hanya meraasa senang melihat Raras
dengan Robi, Nyonya. Bukankah mereka terlihat sangat serasi?" jelasku.
"Biasa saja," ujar Nyonya jam tersenyum seadanya.
Anak-anak kapur berloncatan girang di
dalam kotaknya, hanya sukacita saja yang mereka tahu.
***
"Kita mau makan siang dulu atau langsung cari
buku, nih?" tanya Robi lembut.
"Terserah kamu aja, Bi. Kamu udah lapar?"
jawab Raras.
"Sebenernya sih udah lumayan lapar. Tapi
mending cari buku aja dulu deh, Ra. Soalnya pasti nanti jadi lapar lagi,"
ujar Robi sambil tertawa.
Raras mengiyakan dan ikut tertawa bersamanya.
Metromini yang penuh sesak itu tudak membuat keduanya merasa gerah dan kesal.
Mereka begitu menikmati saat-saat kebersamaan mereka dimanapun dan dalam
situasi seperti apapun.
"Ras, gimana pendapatmu kalau aku ikut dalam
pemilihan ketua osis periode ini?" tanya Robi hati-hati. Dia tahu bahwa
kekasihnya ini kurang suka dengan aktivitasnya yang bejibun.
"Hm, terserah." Dugaan Robi benar. Raras
langsung memalingkan wajahnya.
"Jutek banget jawabnya. Nggak suka, ya?"
"Ya gitu."
"Kenapa?"
Raras menghela nafas berat, "Bukannya aku
nggak suka, tapi aku khawatir. Kamu udah ikut banyak kegiatan di sekolah, jadi
pengurus OSIS aja udah sibuk banget, gimana nanti kalau jadi ketua? Aku takut
kamu nggak ada waktu lagi buat aku."
"Kenapa kamu jadi sedikit egois gini, Ras? Ini
seperti bukan Raras yang aku kenal," tegur Robi halus. Raras membisu.
Seperti memikirkan sesuatu tapi sebenarnya tidak ada yang dipikirkan.
"Ras? Kok diam?"
Raras tetap membisu. Percakapan mereka dipaksa
berhenti oleh keheningan yang menyelimuti dua insan itu.
Perjalanan menuju mall menjadi sepi, tak seceria
ketika pulang sekolah tadi. Ada rasa bersalah dalam benak Robi. Ia menyadari
bahwa ia membahas hal ini di waktu yang salah.
Metromini berhenti beberapa meter dari gerbang
mall. Robi menggandeng Raras dan mengajaknya turun.
Tanpa sepatah katapun keluar dari mulut
masing-masing, hanya genggaman tangan yang masih menjadi media untuk menyaurkan
kasih mereka.
Sejuknya pendingin ruangan menerpa wajah mereka
ketika menapaki sebuah tempat yang luas dan banyak prang wara-wiri dengan tas
belanjaan mereka.
"Yuk, Ras, langsung ke Gramedia aja ya
kita," kata Robi membuka pembicaraan.
Raras tersenyum dan menggenggam tangan Robi lebih
erat.
Obrolan hangat mulai ditawarkan, laksana ingin
mengungguli dinginnya AC mall. Tak jarang candaan-candaan renyah turut
dilontarkan. Kebekuan yang sempat mebisukan mereka kini telah mencair seperti
menyambut kedatangan musim semi.
***
Pagi ini kulihat Robi datang sangat awal. Bahkan
kurasa hanya selisih beberapa menit dari kedatangan Pak Bon, tukang kebersihan
sekolah.
Terlihat gugup dan wajahnya muram. Matanya tak
lepas dari layar handphone. Seperti menunggu pesan dari seseorang.
Aku melempar pandangan ke sekeliling. Nyonya Jam
yang biasanya banyak berbicara, kini terlihat diam. Anak-anak kapur asik
bermain sendiri. Tuan Papan Tulis juga terlihat tak acuh. Hanya Nona Vas Bunga
yang sama sepertiku, memeperhatikan kekasih Si Gadis manis idolaku.
Jarum-jarum di tubuh Nyonya Jam terus bergerak
tanpa henti. Siswa-siswi lain sudah berdatangan, beberapa menyapa Robi. Robi
menjawab sekenanya dan raut mukanya tak berubah sejak ia datang. Pesan yang ia
tunggu tak kunjung datang karena sedari tadi aku tak mendengar handphone
mutakhirnya berteriak menandakan adanya pesan atau telepon masuk.
Aku menduga, pasti Robi sedang menunggu sesuatu
dari Raras.
Nah, benar kan. Tak berapa lama Raras datang. Sama
seperti Robi, wajahnya terlihat kuyu seperti senter yang kekurangan daya
baterai.
Bukannya gembira dengan kedatangan Raras, ia malah
kesal.
"Lama banget datangnya, Ras. Kamu nggak tahu
ya kalau udah aku tungguin dari tadi? Kesiangan bangunnya? SMSku nggak dibalas
juga," cerocos Robi.
Raras tak kalah sewotnya, “Nggak bisa bicara
pelan-pelan lo? Baru sebentar tinggal di Jakarta, ya? Nggak pernah ngerasain
macet? Lo pikir gue santai gitu dateng ke sini?”
Mendengar nada bicara Raras yang meninggi, aku
terhenyak. Bahkan ‘aku’ dan ‘kamu’ yang biasa aku nikmati dalam obrolan mereka
sudah berubah menjadi ‘lo’ dan ‘gue’. Semua mata yang ada di situ menatap ke sumber
suara. Robi mengernyitkan kening dan lewat pandangan matanya, memaksa Raras
untuk segera duduk. Raras menangkap isyarat yang diberikan Robi namun tak peduli
lagi dengan tatapan bingung teman-temannya. Jika dikartunkan, kurasa sudah keluar
uap panas dari ubun-ubun Raras.
“Tuan Tembok, lihat, gadis idolamu bertingkah
seperti monster ubur-ubur!” teriak anak-anak kapur. “Tutup mulut kalian,
Anak-anak. Aku tidak suka apabila ada yang mencemooh gadis idolaku. Kalian
tidak tahu apa masalahnya, bukan?” tangkisku.
“Oh, lalu apakah kau tahu permasalahan mereka,
Tuan?” ejek Tuan Papan Tulis tak senang.
“Ssssssh,” dengusku, “hentikan, hentikan!”
Kudengar semua teman-temanku menertawakan aku, tapi
aku acuhkan. Kupandangi sedih sosok mereka berdua. Romeo dan Juliet yang aku
puja. Panggung sandiwara di hadapanku kini tengah memperlihatkan sisi lain dari
keromantisan kisah mereka. Sepanjang hari tak ada kata-kata mesra yang
terdengar, kontak fisik pun tidak. Ada sekat tak terlihat di antara mereka.
Jam pelajaran terkahir yang mengasyikan, yaitu
kesenian, usai. Kulihat anak-anak kapur terus menari dan bernyanyi bersama Nona
Vas Bunga.
“Nona, pelajaran sudah selesai. Anak-anak, kalian
bahagia sekali ya rupanya,” ujarku terkekeh melihat tingkah mereka.
Nona Vas Bunga tertawa saja mendengar ucapanku
barusan lalu berkata, “Tentu saja, Tuan Tembok. Ini adalah pelajaran yang
paling aku suka. Kenapa? Karena menghilangkan jenuh dan melepas beban. Apa kau
lihat tadi, pasangan pujaanmu itu juga sudah bergembira menikmati alunan musik
yang diajarkan tadi. Semua permasalahan menguap bersama nyanyian dan tarian.”
Aku mengangguk setuju. Kalian tahu? Robi dan Raras tampaknya sudah melupakan masalah tadi pagi. Kini kulihat mereka kembali tertawa lepas seperti biasanya. Jam menunjukan pukul 2 siang dan saat yang paling ditunggu oleh siswa datang juga akhirnya. Bel pulang. Dasar bandel, guru musik belum keluar ruangan pun mereka sudah mendahuluinya. Tidak sopan!
Robi dan Raras tak beranjak dari tempat duduk
mereka. Menunggu apa lagi ya, pikirku. Ah, entahlah, mungkin masih malas
pulang. Hah? Malas pulang? Tidak mungkin. Ini aneh.
Setelah kelas benar-benar kosong, Robi menggeser
bangkunya, mendekatkan diri ke arah Raras. Tubuhnya diserongkan dan jemarinya
menggenggam jemari Raras dengan kencang.
“Gimana, Ras? Hasilnya. Apakah ....” Belum selesai
Robi berbicara, Raras sudah menukasnya, “Positif, Bi. Positif. Jadi gimana? Omongan
kamu dahulu ternyata bohong. Kamu bilang, ini tidak apa-apa. Tapi nyatanya ...”
Suara Raras tersendat. Isak tangis yang berusaha ditahan, namun gagal.
Kuharap aku salah dengar. Kuharap ini hanya sebuah
sandiwara. Sandiwara tanpa skenario, tanpa sutradara, tanpa pononton.
Nona Vas Bunga menahan napas mendengarkan
pembicaraan mereka. Anak-anak kapur yang biasanya ribut, kali ini terdiam
seribu bahasa. Hanya terdengar tik-tok jarum Nyonya Jam yang memang tak akan berhenti
kecuali jika baterai habis.
“Jangan menangis, Sayang. Semua ada jalan
keluarnya,” bisik Robi. Ia mengecup kening SI Juliet untuk menenangkannya.
“Tapi, nggak seharusnya calon pemimpin berbuat
seperti ini, kan? Bagaimana nanti jika .... “
“Sudah, sudah. Aku membatalkan rencanaku itu.
Sempat kupikirkan memang, aku terlalu banyak kegiatan di sini. Untuk sekedar
mengantarmu pulang pun aku sering banget nggak sempat. Kamu sadar nggak, kalau
aku nggak pernah main sama kamu lagi saat malam minggu? Kamu benar, aku nggak
punya banyak waktu buat kamu. Aku yang terlalu egois.”
“Bagaimana sekolah kita nanti?” tanya Raras, tak
menggubris kata-kata Robi. Pikirannya kalut, tak tahu harus bagaimana nanti.
Bagaimana jika orang tuanya tahu? Bagaimana jika teman-temannya tahu?
“Kita akan tetap sekolah kok. Jangan khawatir,” ujar Robi, “aku tahu tempat yang harus kita datangi sekarang. Nggak jauh dari bantaran Ciliwung. Kita ke sana sekarang, ya. Jangan takut.”
Aku terkesiap. Berusaha memahami kata demi kata yang terlontar dari bibir Robi.
“Kita akan tetap sekolah kok. Jangan khawatir,” ujar Robi, “aku tahu tempat yang harus kita datangi sekarang. Nggak jauh dari bantaran Ciliwung. Kita ke sana sekarang, ya. Jangan takut.”
Aku terkesiap. Berusaha memahami kata demi kata yang terlontar dari bibir Robi.
“Anak muda jaman sekarang! Tidak tahu malu! Tidak
beretika,” cibir Nyonya Jam geram.
“Itukah Romeo dan Juliet-mu yang kaubanggakan itu,
Tuan Tembok?” sindir Tuan Papan Tulis tak mau kalah.
Aku mengabaikan segala caci maki dan cibiran
teman-temanku. Mataku terus memandangi makhluk Tuhan yang mulai meninggalkan ruang tak
bisu ini, melepas kepergian mereka menuju tempat apa itu namanya, aku pun
enggan mencari tahu. Seperti inikah Romeo dan Juliet pujaanku?
*
0 comments:
Post a Comment