[FICTION] TAJAM
Panas matahari pagi yang cukup menyengat tubuh sudah lama kuabaikan. Warna gelap yang mendominasi tubuhku ini menjadi penanda bahwa aku bersahabat karib dengan Sang Surya. Satu jam lamanya aku berdiri di tempat biasa aku mulai bekerja, di dekat tangga salah satu jembatan penyeberangan yang melintang di kota metropolitan ini, menunggu bus datang. Memang banyak bus kota yang sepi, lalu lalang di hadapanku dengan kondektur yang tak lelah berteriak mencari penumpang. Namun bukan itu yang aku cari. Ya, aku menunggu bus kota yang penuh sesak dengan manusia berkemeja licin dan wangi.
"Komdak, Blok M, Blok M
!!" Parau sekali suara kondektur itu, pikirku. Aku menyipitkan mataku dan
memandang bus itu dari tempat aku berdiri. Dari kejauhan tampak sekali bus itu
seperti kaleng yang sudah tidak muat lagi menampung ikan sarden di dalamnya.
"Kesempatan bagus,"
gumamku dalam hati.
Aku berlagak
merapikan polo usangku yang sudah basah oleh keringat dan melambaikan tangan ke
arah jalan. Bus berhenti, tapi tidak tepat di depanku. Aku terpaksa
berlari-lari kecil menyambut pintu belakang.
"Sopir bus sialan,"
gerutuku.
Seperti yang sudah aku duga, bus
yang aku tumpangi ini benar-benar sesak. Tidak ada ruang lagi untuk sekedar
menggerakan lutut jika pegal. Orang-orang seakan tidak peduli satu sama lain
dan semua diam entah apa yang dipikirkan.
Mataku mulai berkeliaran, bak
anak rusa yang kelaparan di tengah padang rumput. Mencari sesuatu yang dapat
memenuhi hasrat tangan lincahku ini.
Aku terpaku pada seorang pria
berperawakan kecil dengan kemeja putih berdasi, dan tas ransel yang ada di
punggungnya. Dia berdiri membelakangiku, tak menyadari bahwa ada barang
berharga menyembul dari balik saku belakang celananya.
Dengan ekor mata dan tangan yang
sudah terlatih, aku pun mulai bekerja.
Hup. Dompet hitam tebal yang
sedari tadi menggejolakan jiwaku, kini sudah berpindah tangan. Tangan siapa
lagi kalau bukan tanganku.
Segera aku menggedor atap bus.
Bus mulai menepi dan dengan indahnya aku melompat keluar dan berlari ringan
menuju halte di sebelah warung kopi. Aku tersenyum simpul membayangkan rejeki
yang baru saja aku dapat. Rejeki? Ya, tentu saja. Aku tidak peduli apakah itu
haram atau tidak. Persetan dengan hal itu, yang penting aku dan anakku bisa
makan hari ini.
Tak ingin aku menghabiskan cukup
banyak waktu hanya untuk duduk di halte. Rasanya ingin kembali mengais rejeki,
tetapi aku kasihan kepada anak semata wayangku yang pasti sedang menunggu
kehadiranku dengan makanan sekadarnya. Tak sampai hati aku meninggalkannya
terlalu lama.
***
Lelaki beruban dan berjambang
tipis itu mencengkeram erat besi di atasnya. Matanya sayu, memandang kosong ke
jendela bus yang ditumpanginya. Namun seketika berubah menjadi seperti mata
pisau ketika ia melihat seorang wanita naik dan berdiri di sebelahnya. Dari
pakaiannya, wanita muda itu nampak sebagai karyawati di salah satu bank ternama
di kota ini.
Aku mengawasi gerak-gerik lelaki
itu, yang tak lain adalah ayahku sendiri, dari bangku paling belakang.
Tangan ayahku mulai berkeliaran
dan dengan lihainya dia mengalihkan perhatian wanita itu dengan berpura-pura
bertanya apakah rute bus ini sesuai dengan tujuannya.
Entah kenapa aku merasa was-was
dan tegang. Bagaimana kalau tidak berhasil? Bagaimana kalau Ayah tertangkap?
Bagaimana, bagaimana, bagaimana ...
Dan pertanyaanku terjawab! Tanpa
terduga, seseorang yang duduk di dekat sana menampik tangan ayahku. "Hei,
kau! Pencopet!"
Penumpang yang lain seolah-olah
bertranformasi menjadi patung yang hidup. Wanita incaran ayahku kaget, aku
terhenyak, apalagi ayahku. Dia terlihat pucat pasi, tak berbeda dengan orang
yang mengidap albino.
"Ah ti-tidak, Pak.
Sa-saya..." belum selesai ayahku berbicara, pria yang berhasil memergoki
ayahku berdiri dan memiting tangan ayahku ke belakang. Dia mengeluarkan borgol
dari tas pinggangnya. Oh, ternyata seorang polisi!
Bus perlahan menepi, ayahku
digiring keluar bus. Kasar sekali polisi itu kepada ayahku. Aku terdiam, kacau,
bingung harus bersikap apa.
"Polisi jahat, mau kau apakan ayahku, hah?
Jangan kasar! Awas kau, dipukulnya baru tau rasa!"
Ah, tapi aku hanya bisa
memaki dalam hati. Aku, aku, aku harus bagaimana? Di bawa kemana Ayah? Aku
sekarang sendiri!
***
"Bagaimana Ayah sekarang ya?
Apakah dia masih hidup? Malang benar ya, padahal aku masih membutuhkan Ayah
pada saat itu."
Aku menghembuskan nafas. Bukan
nafas lega tentunya. Entah mengapa tiba-tiba pikiranku melayang, kembali ke
masa-masa yang sangat menyakitkan. Masa di mana aku harus berpisah secara paksa
dengan ayahku. Ya, aku masih berusia 12 tahun ketika aku sudah harus belajar bagaimana
cara bertahan hidup di dunia yang keras ini. Ketika aku hanya hidup berdua
dengan ayahku.
Kata orang, ayahku jahat. Kriminal. Memang, pekerjaannya seperti
itu, tapi aku tetap menganggapnya sebagai pahlawan superku.
Bagaimana mungkin
seorang piatu berusia 12 tahun mengkhianati orang yang setia mengasuhnya?
Bahkan ketika ia yang membuatku
hidup seperti ini juga?
Aku yakin, ayahku tidak ingin aku
menjadi sepertinya. Mengikuti langkahnya sebagai seorang penjahat. Tapi ada
daya, kehidupanlah yang memaksaku untuk tetap berjalan di atas kerikil tajam.
Aku butuh pekerjaan, tapi tak ada yang mau menerimaku. Menjadi kuli sekalipun.
Apakah aku ini hina?
Jika negara mau bertanggung jawab
atas kesejahteraan seluruh rakyatnya, tentu aku akan menajdi warga negara yang
baik. Tidak seperti ini. Sudahlah, malas
sekali aku memikirkan hal itu. Seperti orang bodoh yang berlagak pintar.
Matahari bertambah terik ketika
aku tersadar dari lamunan panjangku. Aku bangkit dari kursi besi yang kurasa
telah panas karena kududuki hampir 1 jam ini. Kulambaikan tanganku ke angkutan
umum yang melintas. "Ayah pulang sekarang. Tunggu Ayah, Nak," ucapku
dalam hati.
*
0 comments:
Post a Comment