Feb 21, 2013

DIA = AKU ~



Kelas 1
Gadis kecil berambut keriting itu datang terlalu pagi, di saat ruang kelasnya masih kosong. Dia berjalan mendekati bangku yang sejak hari pertama ia masuk sudah dipilihnya, yaitu bangku nomor dua dari depan. Awalnya ia duduk manis, terdiam membisu, kemudian keluar kelas, lalu masuk lagi. Bosan. Di puncak kebosanannya, matanya menumbuk ke sebuah rak buku yang dipunggungi oleh kursi guru.
Gadis keriting berjalan dan perlahan ia menggeser kursi guru yang menghalangi rak buku itu. Tangannya mulai bergerak menyusuri jajaran buku-buku cerita tipis. Matanya terus membaca judul demi judul. Ia girang sekali seolah-olah telah menemukan harta karun yang tak pernah ditemukan oleh bajak laut. Ia mengambil sebuah buku berjudul Gadis Penjual Korek Api. Dibawanya buku itu ke tempat duduknya dan tak lama ia hanyut ke dalam dunia fantasinya bersama si gadis penjual korek api. Begitulah setiap pagi, rak bersama buku-buku cerita itu menjadi kawannya menunggu teman yang lain datang. Ia nyaman dengn daya imajinasinya yang tumbuh karena dongeng-dongeng itu.

Pernah suatu ketika, ia diminta untuk membacakan sebuah cerita, berjudul "Dino yang Malas". Karena terbiasa membaca cepat di dalam hatinya, ia pun bertindak demikian di depan kelas. Suaranya tidak terlalu keras dan cepat sekali ia membacanya hingga Ibu Guru berkata, "Sudah pintar membaca, ya. Sampai-sampai seperti kereta api."
Ia malu mendengarnya, apalagi teman-teman satu kelas menertawakannya. Sejak itu rasa percaya dirinya mulai berkabut.


Kelas 2
Di kelas baru gadis keriting tidak ada rak dan buku seperti di kelas 1. Namun ia tetap menyempatkan dirinya untuk singgah di kelas lamanya hanya untuk sekedar membaca atau mencari buku baru ketika ia menunggu jemputan yang biasanya selisih 1 jam lebih lama dari bel pulang. Ya, mamanya bekerja di kantor yang cukup jauh dari sekolahnya. Sedangkan bapaknya bekerja di luar kota.
Semenjak ia naik kelas 2, jarang sekali ia datang pagi. Malah pernah satu kali ia terlambat hampir 30 menit. Ketika ia memasuki lingkungan sekolahnya, sudah sangat sepi, pintu-pintu kelas tertutup dan samar-samar terdengar riuh rendah interaksi guru dengan murid. Ia berlari-lari kecil menuju ruang kelas 2. Oh tidak, itu suara Bu Ngarpiah, guru yang paling galak di sekolah itu. Dengan jantung yang berdegup sangat kencang, ia mengetuk pintu dan membukanya perlahan. Kelas yang tadinya cukup ramai, kini hening dan semua mata menatap kepadanya. Wajah si gadis keriting pucat pasi namun terlihat tegar. Ia berkata, "Maaf Bu, saya terlambat. Tadi ban motornya bocor."
Bu Ngarpiah menjawab santai namun menggelegar, "Ya sudah tidak apa-apa, tapi sekarang kamu belajar dulu ya di luar sampai nanti jam istirahat."
Oh Tuhan, gadis keriting itu dihukum buang. Ia tidak tahu harus berbuat apa dan langsung berjalan keluar lewat pintu belakang kelas. Malu sekali ia, apalagi ketika ada beberapa orang yang melintas, pasti bertanya, "Lho, kok di luar to?"
Dia hanya menjawab malu-malu, "Iya, saya terlambat tadi."
Sejak kejadian itu, ia selalu minta pada mamanya agar diantar lebih pagi dan lebih cepat daripada biasanya.

Kelas 3
Nah, tahun ajaran baru ini merupakan tahun awal diberlakukannya sistem Semester, menggantikan sistem Caturwulan. Gadis keriting tidak peduli dengan sistem itu. Yang ia tahu, mulai tahun ini pembagian rapor hanya dua kali dan itu berarti ia tak perlu melewati banyak ulangan umum.
Di tahun ini pula ada pelajaran baru, yaitu IPS dan IPA, yang sebelumnya belum pernah ia dapatkan di kelas 1 dan kelas 2. Tahun ini juga pertama kalinya ia menggunakan bolpoin dan tipe-x, benda yang tadinya hanya ia lihat di tempat pensil sang ibu.
Gadis keriting semakin giat belajar, apalagi saat belajar IPS dan seni musik.
Kedua pelajaran favoritnya ini selalu menjadi bahan pembicaraan ketika di rumah. Mungkin mama dan nenek, bahkan pembantunya sampai bosan mendengarkan cerita yang itu-itu saja. Namun ia tak peduli.
Ia pun semakin kritis dan suka bicara. Bertanya apa saja yang ingin ia tanyakan. Bapak gadis ini sampai menjulukinya anak cerewet. Ia tak peduli, malah bangga dengan sebutan itu. Aneh.
Pertama kalinya ia diajak oleh kakak kelasnya untuk join grup marching band di sekolahnya. Menurutnya keren, jadi ia mau, meskipun hanya menjadi penari saja. Ia senang sekali karena sering ikut di beberapa karnaval dan perlombaan.

Suatu ketika, ia duduk bersama dengan teman laki-laki yang terkenal nakal dan jahil. Sebut saja Bombom. Ia terpaksa duduk bersamanya di bangku paling belakang karena hanya disitu lah bangku yang masih tersedia.
Tiba-tiba, Bruk!
"Aduh sakit tau!!"
Gadis keriting didorong oleh Bombom hingga terjatuh dari kursinya. Bombom dan teman-teman lain yang berada di dekat situ menertawakannya seolah-olah itu adalah tontonan sirkus. Sejak saat itu si gadis keriting membencinya dan takut apabila berada di dekatnya.

Kelas 4
Setahun berlalu dan meninggalkan banyak kisah konyol. Kini ia berada di tingkat 4, merasa hampir menadi senior karena sudah mempunyai 3 adik angkatan. Di tahun ini juga, tingkahnya sudah seperti ABG saja. Menyukai dan merasa disukai seseorang. Ya, ada siswa baru berasal dari luar kota, sebut saja Gororo. Gororo berbadan cungkring, putih, dengan rambut sasak. Seragamnya 1 ukuran lebih besar daripada ukuran badannya. Setiap hari dia membawa sepedan dalmationnya ke sekolah. Memang sih, rumahnya cukup dekat.
Entah ada angin apa tiba-tiba terdengar gosip bahwa Gororo menyukai Si Gadis Keriting. Wah, semenjak itu mereka berdua menjadi bahan olok-olokan satu kelas. Rasanya malu sekali jika si gadis keriting bertemu dengan Gororo. Apalagi jika kebetulan dimasukan ke dalam satu kelompok belajar.
Banyak tangan-tangan jahil yang mencorat-coret papan tulis dan buku mereka dengan tulisan "Gororo love keriting", dan sejenisnya.
Astaga, anak-anak.

Seperti sebelum-sebelumnya, Gadis kertiting tidak mau kalah dengan saingannya. Sebut saja Dara. Baik dalam nilai akademik, ranking kelas, les, bahkan barang-barang.
Ketika Gadis Keriting pulang dari berkunjung ke rumah Dara dan melihat ada Electone (alat musik semacam organ), ia langsung merengek-rengek minta dibelikan. Orang tuanya hanya menggeleng-geleng, menolak, karena baru bulan lalu ia juga memaksa minta dibelikan komputer.
"Huh, Mama sama Bapak pelit! Masa Dara aja punya, aku enggak? Dara juga les tuh, makanya pintar main musik. Nggak kayak aku!"  rengekan memaksa seperti itu sering terlontar dan membuat pekak telinga Mamanya. Akhirnya, dibelikan pula lah ia sekaligus dileskan di Yamaha Music Course.
Les ini itu dituruti, minta ini itu dituruti. Sudah puaskah, hai Gadis Keriting yang manja?

Kelas 5
Beberapa langkah lagi menuju seniornya senior. Di kelas 5 ini sekolah si gadis keriting sudah mengadakan pelajaran tambahan sepulang sekolah. Hal ini berguna agar ketika murid-murid sudah memasuki kelas 6, ia sudah terbekali dan sudah terbiasa dengan adanya jam pelajaran tambahan.
Gadis keriting cukup senang karena waktunya di sekolah mejadi lebih panjang. Itu berarti waktu bertemu dengan teman-temannya menjadilebih lama.
Ada murid baru juga, sebut saja Alvino. Dia juga berasal dari luar kota. Seorang keturunan Tionghoa, sipit, putih, dan terlihat cool. Namun si gadis keriting tidak tertarik. Ia masih bertahan dengan olok-olok "Gororo love keriting" karena Gororo memang sangat baik kepadanya, bahkan memberi walau tidak diminta.
Si Gadis Keriting tak pilih-pilih teman, baik itu laki-laki atau perempuan, ya sama saja. Bagaimana tidak, hanya ada 9 perempuan termasuk dirinya di antara 30an murid kelas 5.
Sudah dari kelas 3 dia tidak mau dijemput oleh orangtuanya, kecuali jika ia sedang malas. Ia terpengaruh oleh ajakan teman-temannya untuk pulang sendiri naik angkutan umum. Meskipun awalnya dilarang, namun setelah dipertimbangkan akhirnya disetujui juga.
Sebenarnya ada beberapa alasan ia tidak mau dijemput lagi: 1. Jika Mamanya yang jemput, ia harus rela tinggal sendirian di sekolah karena si Mama lama sekali datangnya, 2. Jika Bapak yang menjemputnya, ia harus rela tidak bermain dulu di sekolah bersama kawan-kawannya karena Si Bapak sudah standby di depan sekolah bersama motornya ketika bel sekolah belum berbunyi sekalipun. Great, 3. Terkadang ia dicap sebagai anak mami karena selalu diantar jemput.
Nah, itulah mengapa si gadis keriting lebih memilih pulang naik angkutan umum.

Demikian juga ketika ada ekstrakurikuler marching band. Ia lebih suka berangkat naik sepeda. Hampir semua anak yang mengikuti ekskul itu membawa sepeda. Apalagi kakak kelasnya. Cool. Sehabis latihan juga bisa bersepeda bareng-bareng di lapangan sekolah. Di grup marching band ini si gadis keriting sudah bukan seorang penari lagi, namun ia dipilih menjadi pemain balera sejak kelas 4.

Kelas 6
Ini dia tahun terakhir gadis keriting di sekolah dasar. Mengingat hal ini ia sempat sedih karena harus berpisah dengan teman-temannya. Apalagi ketika ia menanyai satu per satu teman-temannya, “Kamu mau ngelanjutin ke SMP mana besok?” Hanya satu orang yang ingin masuk ke sekolah lanjutan yang sama dengannya. Namanya Ron (bukan nama sebenarnya). Nah, Ron adalah idola si gadis keriting. Menurutnya, Ron adalah laki-laki terganteng di sekolah ini. Bahkan sempat ada konflik dengan adik kelas yang juga menyukai Ron. Aduh, dasar anak-anak.
Lucunya, meskipun satu kelas, Ron dan si gadis keriting saling berkirim surat. Surat itu tidal langsung diberikan kepada yang bersangkutan melainkan lewat perantara. Orang yang menjadi perantara itu adalah sahabat Ron, sebut saja Dandi. Setiap habis mengantarkan surat, Dandi selalu dibelikan jajan. Astaga masih kecil sudah pintar bernego. Berkat bantuan Dandi, akhirnya si gadis keriting mendapatkan pujaan hatinya. Mereka berpacaran. Ah, lebih tepatnya berteman dekat, kan? Karena berstatus pacaran ketika masih SD adalah hal yang tabu dan tak layak diperbincangkan.
Kegiatan di kelas 6 lumayan dinikmati oleh si gadis keriting. Mulai  dari penataran dokter kecil, pramuka, lanjutan pelajaran tambahan, lomba mata pelajaran, lomba paduan suara, lomba marching band, try out, hingga latihan ujian praktek.
Gadis keriting itu kerap ditunjuk oleh guru untuk mewakili sekolah dalam mengikuti beberapa lomba. Baik yang berkelompok seperti paduan suara, cerdas cermat dokter kecil, maupun individual seperti lomba berbahasa Indonesia, lomba mengarang, dan sebagainya.
Kalah menang sudah biasa, namun beberapa piala pernah ia sabet dan diberikan kepada sekolah dengan bangganya. Menurut wali kelas dan beberapa guru yang pernah mengajarnya, si gadis keriting lebih menonjol dalam bidang bahasa namun kurang ahli dalam keterampilan tangan dan seni suara.

Ujian akhir pertama dalam hidup si gadis keriting terlewati sudah. Ia cukup puas dengan NEM yang ia dapat, sehingga ia dapat masuk ke SMP keinginnannya. Ternyata hanya ia sendiri yang terdampar di sekolah lanjutan itu. Kehidupan barunya akan segera dimulai dari nol lagi, dengan teman-teman baru yang belum pernah ia temui sebelumnya.

**

Ya, itulah cerita tentang gadis keriting di masa SD-nya. Gadis keriting itu adalah aku. Aku yang sudah lebih dari 6 tahun meninggalkan seragam putih merahku. Aku yang kini sudah cukup bosan dengan sesuatu yang disebut dengan pelajaran. Aku yang sudah tak semanja itu lagi sejak adikku bersikap lebih manja dari aku.
Hanya sepenggal yang bisa diceritakan, karena 6 tahun sekolah di sana itu bisa dijadikan sebuah buku apanbila ditulis mendalam, termasuk menceritakan kehidupan masa kecilku.
Kau tau, aku merindukan masa-masa itu. Rindu sekali ketika masih minta dibelikan buku tokoh dunia, komik, dan mainan-mainan yang mudah rusak itu. Rindu ketika aku merasa senang saat pembantuku cuti (itu membuat mamaku tinggal di rumah lebih lama). Rindu ketika aku dipaksa tidur siang oleh nenekku yang siaga dengan sapu lidinya. 

OH YES I REALLY MISS MY CHILHOOD ~~

0 comments:

Post a Comment

Copyright © 2014 WELCOME TO MY WORLD !