Sepucuk Surat ke Surga
Oi! Apa kabar? Udah lamaa banget aku gak
bertemu (dihitung sejak terkahir aku melihat dirimu masih lincah) . Ya, saat
itu, ketika aku pulang ke rumah, aku masih menjumpai sosokmu yang sama seperti
dulu. Tinggi, kurus, namun terlihat kuat dengan balutan kulit hitammu korban
sengatan matahari.
Kau masih menyebalkan, membuat aku tidak
betah berada di rumah, bahkan kau sempat menyuruhku agar tidak usah pulang
lagi. Sok kali, huh.
Namun ketika aku sudah berada di sini, aku
tau kau merindukan aku. Benar, kan?
Sampai-sampai pada pertengahan April, tanggal
16, kau memaksaku untuk segera pulang. Maaf, aku tidak bisa langsung pulang
saat itu juga karena hari sudah malam dan aku tidak mendapat tiket kereta untuk
malam itu. Jadi aku pulang esok paginya.
Tapi kau tetap menyebalkan. Bahkan ketika aku
pulang, kau malah terus tertidur. Tak ada niat untuk bangun untuk menyapaku.
Kau tetap berbaring dengan damai di peti mati itu dan membiarkan kami tenggelam
dalam kesedihan yang amat dalam.
Huf. Tak berubah ya.
Sekarang, aku merindukan dirimu. BBMku sepi,
tidak ada lagi yang mengirimiku voice note aneh yang biasanya rekaman entah apa
darimu. Kotak chat Facebook dan Skype seperti kehilangan satu piece bagiannya.
Huf. Menyebalkan.
Seharusnya hari ini Mama mengantarmu ke
sekolah untuk melihatmu wisuda. Ya, seharusnya kau memakai jas abu-abu itu
untuk wisuda hari ini. Tapi kenapa kau tak sabar? Kau terlalu cepat memakainya.
Apakah undangan Tuhan sampai lebih cepat daripada undangan wisuda? Kupikir
begitu.
Sedihnya.
Aku iri melihat teman-temanmu berfoto dengan
cerianya, dengan bangganya, dengan gembiranya. Memakai pakaian necis dengan
dandanan klimis. Aku ingin melihatmu seperti itu. Lalu aku ingin melihatmu
mengenakan seragam SMA-mu.
Sayang sekali, semua itu tersimpan rapi dalam
susunan rencana. Bahkan kau tak sempat mencontreng 'Ikut UN' pada To-do-list
mu.
Huf. Rencana Tuhan indah.
Aku, kelaurgamu, dan teman-temanmu
merindukanmu.
Salam,
<3 span="">3>
(03-06-13)