Showing posts with label fiksi. Show all posts
Showing posts with label fiksi. Show all posts

Feb 25, 2013

[FICTION] ULANG TAHUN KYLA



Kyla bolak-balik melihat jam tangan merah jambunya. Sudah hampir pukul dua belas. Pagi tadi ia sudah mengingatkan Mama agar dijemput lebih awal. Sepulang sekolah, Kyla akan langsung mengikuti pagelaran dari klub teater yang ia ikuti. Namun sampai saat ini mobil Mama belum muncul juga di halaman sekolah.
"Aduh, sabar Kyla. Mungkin macet," ujar Kyla menenangkan diri sendiri.

"Hei, Kyl. Kok masih di sini? Satu jam lagi lho," kata Hera, teman sekelas Kyla yang kebetulan ikut klub teater juga.
"Iya, Ra. Mama lama banget nih," jawab Kyla sedih.
"Oke deh, Kyl. Aku duluan ya, sampai ketemu di sana," pamit Hera melambaikan tangan. Kyla balas melambaikan tangan dan mencoba tersenyum.
Sekolah Kyla mulai lengang, seiring matahari yang mulai meninggi. Satu per satu teman Kyla meninggalkan sekolah dan sebagian besar menuju gedung pertunjukan untuk bersiap pentas maupun sekedar menonton teater.
Tak sabar Kyla berjalan keluar gerbang sekolah dan menunggu jemputannya di sana.
Tin! Tin! Suara klakson mobil membuyarkan lamunan Kyla. Itu dia jemputannya! Wajah muram Kyla berubah menjadi sumringah, namun hatinya tetap merasa kesal dan dongkol. Ia takut terlambat ke gedung pertunjukan, apalagi ini kali pertama Kyla tampil sebagai pemeran utama.
Brak! Kyla menutup pintu mobil dengan kasar. Mamanya heran melihat putri bungsunya itu bertingkah tak seperti biasanya.
"Kenapa, Kyl?" tanya Mama lembut.
"Mama kenapa sih, jemput Kyla lama banget? Teater kan dimulai satu jam lagi, Ma. Kyla belum dandan lho. Kyla takut terlambat!" dengus Kyla kesal. Mama hanya tersenyum, "Maaf ya Kyla sayang, Mama yakin ini belum terlambat kok."
Kyla diam saja mendengar ucapan Mama. Sepanjang perlanan, Kyla hanya menjawab singkat tiap kali Mama mengajaknya berbicara.
Hm, Kyla nakal.

Sesampainya di sana, Kyla langsung menuju ruang ganti. Ia berlari meninggalkan Mama yang masih bersiap-siap turun dari mobil. Mama hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan Kyla.
Di ruang ganti, teman-teman Kyla menunggu. Sebagian besar sudah siap dengan kostum dan berdandan sesuai peran masing-masing.
"Ayo, Kyla. Baju kamu ada di lemari biru. Ibu tunggu di sini ya, setelah ganti baju langsung dirias," ujar Bu Rini, pelatih teater Kyla.
"Baik, Bu," jawab Kyla patuh menuruti perintah Bu Rini.
Hampir 30 menit Kyla duduk di depan cermin dan riasan sudah selesai. Cantik, mirip sekali dengan Cinderella. Ya, Kyla memang berperan sebagai putri sepatu kaca itu. Sambil menunggu acara pembukaan, Kyla mematut dirinya di sebuah cermin besar. Ia tersenyum bangga dan merasa percaya diri dengan penampilannya ini.
“Ah, aku Putri Cinderella. Tentu saja, panggil aku Cinderella,” gumam Kyla senang. Kyla memang anak yang hebat, ia berani dan jago akting. Pantas saja Bu Rini memilihnya untuk tampil di pagelaran sekolah sebagai pemeran utama. Tentu saja hal itu tidak membuat Kyla sombong. Ia malah menganggapnya sebagai tantangan seru yang harus ia hadapi. 

Acara pembukaan telah selesai dan seharusnya sekarang musik teater sudah dimainkan. Tetapi, tunggu dulu!
“Baiklah hadirin, sebelum pentas dimulai, mari kita sambut Kyla Astriani yang pada hari ini berulangtahun ke-12 ... !!” Suara tepuk tangan menggema di dalam gedung pertunjukan. Tak lama kemudian terdengar lagu “Selamat Ulang Tahun”. Dari balik panggung, Kyla terheran-heran. Ia tidak percaya dengan apa yang didengarnya, sampai-sampai teman-temannya mendorong-dorong Kyla untuk memasuki panggung. Kyla menyibak tirai panggung dan perlahan ia menuju ke tengah. Oh, mengapa ada Mama di panggung? Kyla semakin heran.
Mama membawa kue tart yang cukup besar, warnyanya biru dan ada hiasan patung Cinderella serta lilin angka 12 di atasnya.
“Selamat ulang tahun, Kyla sayang. Cinderella kepunyaan Mama,” kata Mama sambil mengecup kening Kyla. Kyla senang sekali dengan kejutan dari Mama itu. Dia memeluk Mama dan berujar lirih, “Terima kasih, Ma. Maaf ya Kyla tadi sebel sama Mama. Ternyata Mama bikin kejutan ini buat Kyla. Kyla sayang Mama. Nanti Kyla pasti berpentas sebaik mungkin. Buat Mama.”
Mama tersenyum bahagia dan segera menyuruh Kyla meniup lilin karena lagu “Tiup Lilin” sudah dikumandangkan. Akhirnya Kyla mengerti juga mengapa tadi siang Mama terlambat menjemput Kyla. Dan sejak itu Kyla sudah tidak cepat marah apabila jemputannya datang terlambat.

Feb 20, 2013

[FICTION] ROMEO & JULIET




Belum genap sepuluh menit sejak bel pulang berbunyi, kelas 2 IPS 1 ini sudah terlihat lengang. Hanya ada beberapa gelintir siswa yang masih sibuk memebereskan buku dan alat tulisnya.
Raras terlihat bersemangat sekali siang ini, tak seperti biasanya. Sesekali ia meleparkan pandangnnya ke arah Robi, Si Ketua Kelas. Menyadari ada sepasang mata yang berkali-kali memperhatikannya, Robi pun menoleh berusaha manengkap mata itu.

"Hei, Ras. Udah selesai? Jadi kan kita hari ini?" tanya Robi akhirnya. Ia berjalan mengampiri Raras sambil menyampirkan tas ransel di pundaknya.
Senyum Raras merekah dan kepalanya mengangguk cepat.

"Ayo, Bi, buruan," ujarnya. Tangan Raras menggamit lengan Robi dan keduanya melenggang meninggalkan kelas yang sudah benar-benar kosong ini.
Aku menyunggingkan senyum melihat adegan itu. Rasanya senang sekali melihat gadis manis itu bersama dengan pujaan hatinya. Romeo dan Juliet.

"Hei, Tuan Tembok, kenapa kau senyum-senyum sendiri, hah? Jangan seperti orang bodoh!" Suara Nyonya Jam mengagetkanku. Terdengar pula cekikikan dari anak-anak kapur dan Nona Vas Bunga.

"Oh. Aku hanya meraasa senang melihat Raras dengan Robi, Nyonya. Bukankah mereka terlihat sangat serasi?" jelasku.

"Biasa saja," ujar Nyonya jam tersenyum seadanya.  Anak-anak kapur berloncatan girang di dalam kotaknya, hanya sukacita saja yang mereka tahu.

***

"Kita mau makan siang dulu atau langsung cari buku, nih?" tanya Robi lembut.
"Terserah kamu aja, Bi. Kamu udah lapar?" jawab Raras.
"Sebenernya sih udah lumayan lapar. Tapi mending cari buku aja dulu deh, Ra. Soalnya pasti nanti jadi lapar lagi," ujar Robi sambil tertawa.

Raras mengiyakan dan ikut tertawa bersamanya. Metromini yang penuh sesak itu tudak membuat keduanya merasa gerah dan kesal. Mereka begitu menikmati saat-saat kebersamaan mereka dimanapun dan dalam situasi seperti apapun.

"Ras, gimana pendapatmu kalau aku ikut dalam pemilihan ketua osis periode ini?" tanya Robi hati-hati. Dia tahu bahwa kekasihnya ini kurang suka dengan aktivitasnya yang bejibun.
"Hm, terserah." Dugaan Robi benar. Raras langsung memalingkan wajahnya.
"Jutek banget jawabnya. Nggak suka, ya?"
"Ya gitu."
"Kenapa?"
Raras menghela nafas berat, "Bukannya aku nggak suka, tapi aku khawatir. Kamu udah ikut banyak kegiatan di sekolah, jadi pengurus OSIS aja udah sibuk banget, gimana nanti kalau jadi ketua? Aku takut kamu nggak ada waktu lagi buat aku."
"Kenapa kamu jadi sedikit egois gini, Ras? Ini seperti bukan Raras yang aku kenal," tegur Robi halus. Raras membisu. Seperti memikirkan sesuatu tapi sebenarnya tidak ada yang dipikirkan.
"Ras? Kok diam?"
Raras tetap membisu. Percakapan mereka dipaksa berhenti oleh keheningan yang menyelimuti dua insan itu.

Perjalanan menuju mall menjadi sepi, tak seceria ketika pulang sekolah tadi. Ada rasa bersalah dalam benak Robi. Ia menyadari bahwa ia membahas hal ini di waktu yang salah.
Metromini berhenti beberapa meter dari gerbang mall. Robi menggandeng Raras dan mengajaknya turun.

Tanpa sepatah katapun keluar dari mulut masing-masing, hanya genggaman tangan yang masih menjadi media untuk menyaurkan kasih mereka.
Sejuknya pendingin ruangan menerpa wajah mereka ketika menapaki sebuah tempat yang luas dan banyak prang wara-wiri dengan tas belanjaan mereka.

"Yuk, Ras, langsung ke Gramedia aja ya kita," kata Robi membuka pembicaraan.
Raras tersenyum dan menggenggam tangan Robi lebih erat.
Obrolan hangat mulai ditawarkan, laksana ingin mengungguli dinginnya AC mall. Tak jarang candaan-candaan renyah turut dilontarkan. Kebekuan yang sempat mebisukan mereka kini telah mencair seperti menyambut kedatangan musim semi.


***

Pagi ini kulihat Robi datang sangat awal. Bahkan kurasa hanya selisih beberapa menit dari kedatangan Pak Bon, tukang kebersihan sekolah.
Terlihat gugup dan wajahnya muram. Matanya tak lepas dari layar handphone. Seperti menunggu pesan dari seseorang.

Aku melempar pandangan ke sekeliling. Nyonya Jam yang biasanya banyak berbicara, kini terlihat diam. Anak-anak kapur asik bermain sendiri. Tuan Papan Tulis juga terlihat tak acuh. Hanya Nona Vas Bunga yang sama sepertiku, memeperhatikan kekasih Si Gadis manis idolaku.

Jarum-jarum di tubuh Nyonya Jam terus bergerak tanpa henti. Siswa-siswi lain sudah berdatangan, beberapa menyapa Robi. Robi menjawab sekenanya dan raut mukanya tak berubah sejak ia datang. Pesan yang ia tunggu tak kunjung datang karena sedari tadi aku tak mendengar handphone mutakhirnya berteriak menandakan adanya pesan atau telepon masuk.
Aku menduga, pasti Robi sedang menunggu sesuatu dari Raras.

Nah, benar kan. Tak berapa lama Raras datang. Sama seperti Robi, wajahnya terlihat kuyu seperti senter yang kekurangan daya baterai.
Bukannya gembira dengan kedatangan Raras, ia malah kesal.

"Lama banget datangnya, Ras. Kamu nggak tahu ya kalau udah aku tungguin dari tadi? Kesiangan bangunnya? SMSku nggak dibalas juga," cerocos Robi.
Raras tak kalah sewotnya, “Nggak bisa bicara pelan-pelan lo? Baru sebentar tinggal di Jakarta, ya? Nggak pernah ngerasain macet? Lo pikir gue santai gitu dateng ke sini?”
Mendengar nada bicara Raras yang meninggi, aku terhenyak. Bahkan ‘aku’ dan ‘kamu’ yang biasa aku nikmati dalam obrolan mereka sudah berubah menjadi ‘lo’ dan ‘gue’.  Semua mata yang ada di situ menatap ke sumber suara. Robi mengernyitkan kening dan lewat pandangan matanya, memaksa Raras untuk segera duduk. Raras menangkap isyarat yang diberikan Robi namun tak peduli lagi dengan tatapan bingung teman-temannya. Jika dikartunkan, kurasa sudah keluar uap panas dari ubun-ubun Raras.

“Tuan Tembok, lihat, gadis idolamu bertingkah seperti monster ubur-ubur!” teriak anak-anak kapur. “Tutup mulut kalian, Anak-anak. Aku tidak suka apabila ada yang mencemooh gadis idolaku. Kalian tidak tahu apa masalahnya, bukan?” tangkisku.
“Oh, lalu apakah kau tahu permasalahan mereka, Tuan?” ejek Tuan Papan Tulis tak senang.
“Ssssssh,” dengusku, “hentikan, hentikan!”

Kudengar semua teman-temanku menertawakan aku, tapi aku acuhkan. Kupandangi sedih sosok mereka berdua. Romeo dan Juliet yang aku puja. Panggung sandiwara di hadapanku kini tengah memperlihatkan sisi lain dari keromantisan kisah mereka. Sepanjang hari tak ada kata-kata mesra yang terdengar, kontak fisik pun tidak. Ada sekat tak terlihat di antara mereka.

Jam pelajaran terkahir yang mengasyikan, yaitu kesenian, usai. Kulihat anak-anak kapur terus menari dan bernyanyi bersama Nona Vas Bunga.
“Nona, pelajaran sudah selesai. Anak-anak, kalian bahagia sekali ya rupanya,” ujarku terkekeh melihat tingkah mereka.
Nona Vas Bunga tertawa saja mendengar ucapanku barusan lalu berkata, “Tentu saja, Tuan Tembok. Ini adalah pelajaran yang paling aku suka. Kenapa? Karena menghilangkan jenuh dan melepas beban. Apa kau lihat tadi, pasangan pujaanmu itu juga sudah bergembira menikmati alunan musik yang diajarkan tadi. Semua permasalahan menguap bersama nyanyian dan tarian.”

Aku mengangguk setuju. Kalian tahu? Robi dan Raras tampaknya sudah melupakan masalah tadi pagi. Kini kulihat mereka kembali tertawa lepas seperti biasanya. Jam menunjukan pukul 2 siang dan saat yang paling ditunggu oleh siswa datang juga akhirnya. Bel pulang. Dasar bandel, guru musik belum keluar ruangan pun mereka sudah mendahuluinya. Tidak sopan!
Robi dan Raras tak beranjak dari tempat duduk mereka. Menunggu apa lagi ya, pikirku. Ah, entahlah, mungkin masih malas pulang. Hah? Malas pulang? Tidak mungkin. Ini aneh. 

Setelah kelas benar-benar kosong, Robi menggeser bangkunya, mendekatkan diri ke arah Raras. Tubuhnya diserongkan dan jemarinya menggenggam jemari Raras dengan kencang.
“Gimana, Ras? Hasilnya. Apakah ....” Belum selesai Robi berbicara, Raras sudah menukasnya, “Positif, Bi. Positif. Jadi gimana? Omongan kamu dahulu ternyata bohong. Kamu bilang, ini tidak apa-apa. Tapi nyatanya ...” Suara Raras tersendat. Isak tangis yang berusaha ditahan, namun gagal.

Kuharap aku salah dengar. Kuharap ini hanya sebuah sandiwara. Sandiwara tanpa skenario, tanpa sutradara, tanpa pononton.
Nona Vas Bunga menahan napas mendengarkan pembicaraan mereka. Anak-anak kapur yang biasanya ribut, kali ini terdiam seribu bahasa. Hanya terdengar tik-tok jarum Nyonya Jam yang memang tak akan berhenti kecuali jika baterai habis.

“Jangan menangis, Sayang. Semua ada jalan keluarnya,” bisik Robi. Ia mengecup kening SI Juliet untuk menenangkannya.
“Tapi, nggak seharusnya calon pemimpin berbuat seperti ini, kan? Bagaimana nanti jika .... “
“Sudah, sudah. Aku membatalkan rencanaku itu. Sempat kupikirkan memang, aku terlalu banyak kegiatan di sini. Untuk sekedar mengantarmu pulang pun aku sering banget nggak sempat. Kamu sadar nggak, kalau aku nggak pernah main sama kamu lagi saat malam minggu? Kamu benar, aku nggak punya banyak waktu buat kamu. Aku yang terlalu egois.”
“Bagaimana sekolah kita nanti?” tanya Raras, tak menggubris kata-kata Robi. Pikirannya kalut, tak tahu harus bagaimana nanti. Bagaimana jika orang tuanya tahu? Bagaimana jika teman-temannya tahu?
“Kita akan tetap sekolah kok. Jangan khawatir,” ujar Robi, “aku tahu tempat yang harus kita datangi sekarang. Nggak jauh dari bantaran Ciliwung. Kita ke sana sekarang, ya. Jangan takut.”

Aku terkesiap. Berusaha memahami kata demi kata yang terlontar dari bibir Robi.
“Anak muda jaman sekarang! Tidak tahu malu! Tidak beretika,” cibir Nyonya Jam geram.
“Itukah Romeo dan Juliet-mu yang kaubanggakan itu, Tuan Tembok?” sindir Tuan Papan Tulis tak mau kalah.

Aku mengabaikan segala caci maki dan cibiran teman-temanku. Mataku terus memandangi  makhluk Tuhan yang mulai meninggalkan ruang tak bisu ini, melepas kepergian mereka menuju tempat apa itu namanya, aku pun enggan mencari tahu. Seperti inikah Romeo dan Juliet pujaanku?


*

Feb 19, 2013

JADI HANTU !




Dua sosok hantu itu berdiri di bawah rimbunnya pohon penghias jalan protokol. Angin malam berhembus perlahan menemani rintik-rintik hujan. Tengah malam begini, masih saja ada orang yang lalu lalang melintasi jalan. Tak peduli dengan cerita konyol masyarakat tentang angkernya tempat yang dilalui, mereka tetap saja berkeliaran mencari apa yang ingin dicarinya.
Keempat mata hantu itu memandang sekeliling. "Aku bosan berada di sini," ujar hantu pertama.
"Mengapa bosan? Bukankah rumah kita memang disini?" kata hantu kedua.
"Entah, aku juga tidak tahu. Aku merasa bosan!"
"Lalu apa maumu? Kemana kita?"
"Ikuti aku."
Mereka meninggalkan kediaman semu mereka, berjan menyusuri trotoar yang becek karena air hujan. Melihat hal itu, aku segera berdiri. Seperti dirasuki roh kijang, aku berlari menerobos hujan. Tak cepat namun entah mengapa tiba-tiba aku sudah berhadapan dengan kedua hantu itu.
"Hei, mau kemana kalian?" tanyaku terengah-engah.
"Siapa kau, hai manusia?" tegur hantu pertama.
"Ya." jawabku singkat. Mereka saling memandang. Warna hitam di kelopak dan cekungan matanya sekilas bertambah hitam. Aku bergidik ngeri.
"Tunggu. Mengapa kali ini kalian menggunakan kaki kalian? Bukankah selama ini kalian hanya melayang-layang manja? Oh, maksudku, melayang tanpa beban." kataku gugup.
Tanpa ampun mata mereka menyorot tajam ke arahku. Bulu kudukku meremang seketika.
"Oh, hentikan menatapku seperti itu," gumamku.
"Kau mengusik kami!" desis hantu kedua.
"Tu-tu-tunggu. Bukan seperti itu maksudku. A-a-aku sebenarnya ingin ikut bersama kalian. Oh em, bukan. Maksudku ...." Ah! Mengapa aku menjadi seperti orang bodoh? Untuk berbicara saja sulit. Saraf-saraf otakku membeku.
Aku semakin lemas ketika tiba-tiba mereka menyambar tanganku. Dingin sekali. Seperti es.
Aku tak bisa berbuat apa-apa. Pandanganku kabur. Kakiku .. Oh, ada apa dengan kakiku? Kemana kakiku?
Aku hanya menyadari bahwa aku sedang terbang, melayang-layang di langit yang gelap. Bersama mereka. Bersama kuntilanak-kuntilanak itu.

***

Nah ini sebenarnya fiksi, merupakan penggalan dari mimpiku semalam. Sebenarnya masih ada kelanjutannya, yaitu bertemu Power Ranger dan melihat hantu itu bertarung dengan pahlawan super legendaris. Huh, akhir-akhir ini mimpiku memang aneh. Ga mutu banget. But it's scaring me ><


*

Feb 6, 2013

HANSEL & GRETEL (Story)



Once upon a time a very poor woodcutter lived in a tiny cottage in the forest with his two children, Hansel and Gretel. His second wife often ill-treated the children and was forever nagging the woodcutter.

   "There is not enough food in the house for us all. There are too many mouths to feed! We must get rid of the two brats," she declared. And she kept on trying to persuade her husband to abandon his children in the forest.

   "Take them miles from home, so far that they can never find their way back! Maybe someone will find them and give them a home." The downcast woodcutter didn't know what to do. Hansel who, one evening, had overheard his parents' conversation, comforted Gretel.

   "Don't worry! If they do leave us in the forest, we'll find the way home," he said. And slipping out of the house he filled his pockets with little white pebbles, then went back to bed.

   All night long, the woodcutter's wife harped on and on at her husband till, at dawn, he led Hansel and Gretel away into the forest. But as they went into the depths of the trees, Hansel dropped a little white pebble here and there on the mossy green ground. At a certain point, the two children found they really were alone: the woodcutter had plucked up enough courage to desert
them, had mumbled an excuse and was gone.

   Night fell but the woodcutter did not return. Gretel began to sob bitterly. Hansel too felt scared but he tried to hide his feelings and comfort his sister.

   "Don't cry, trust me! I swear I'll take you home even if Father doesn't come back for us!" Luckily the moon was full that night and Hansel waited till its cold light filtered through the trees.

   "Now give me your hand!" he said. "We'll get home safely, you'll see!" The tiny white pebbles gleamed in the moonlight, and the children found their way home. They crept through a half open window, without wakening their parents. Cold, tired but thankful to be home again, they slipped into bed.

   Next day, when their stepmother discovered that Hansel and Gretel had returned, she went into a rage. Stifling her anger in front of the children, she locked her bedroom door, reproaching her husband for failing to carry out her orders. The weak woodcutter protested, torn as he was between shame and fear of disobeying his cruel wife. The wicked stepmother kept Hansel and Gretel under lock and key all day with nothing for supper but a sip of water and some hard bread. All night, husband and wife quarreled, and when dawn came, the woodcutter led the children out into the forest.

   Hansel, however, had not eaten his bread, and as he walked through the trees, he left a trail of crumbs behind him to mark the way. But the little boy had forgotten about the hungry birds that lived in the forest. When they saw him, they flew along behind and in no time at all, had eaten all the crumbs. Again, with a lame excuse, the woodcutter left his two children by
themselves.

   "I've left a trail, like last time!" Hansel whispered to Gretel, consolingly. But when night fell, they saw to their horror, that all the crumbs had gone.

   "I'm frightened!" wept Gretel bitterly. "I'm cold and hungry and I want to go home!"

   "Don't be afraid. I'm here to look after you!" Hansel tried to encourage his sister, but he too shivered when he glimpsed frightening shadows and evil eyes around them in the darkness. All night the two children huddled together for warmth at the foot of a large tree.

   When dawn broke, they started to wander about the forest, seeking a path, but all hope soon faded. They were well and truly lost. On they walked and walked, till suddenly they came upon a strange cottage in the middle of a glade.

   "This is chocolate!" gasped Hansel as he broke a lump of plaster from the wall.

   "And this is icing!" exclaimed Gretel, putting another piece of wall in her mouth. Starving but delighted, the children began to eat pieces of candy broken off the cottage.

   "Isn't this delicious?" said Gretel, with her mouth full. She had never tasted anything so nice.

   "We'll stay here," Hansel declared, munching a bit of nougat. They were just about to try a piece of the biscuit door when it quietly swung open.

   "Well, well!" said an old woman, peering out with a crafty look. "And haven't you children a sweet tooth?"

   "Come in! Come in, you've nothing to fear!" went on the old woman. Unluckily for Hansel and Gretel, however, the sugar candy cottage belonged to an old witch, her trap for catching unwary victims. The two children had come to a really nasty place.

   "You're nothing but skin and bones!" said the witch, locking Hansel into a cage. I shall fatten you up and eat you!"

   "You can do the housework," she told Gretel grimly, "then I'll make a meal of you too!" As luck would have it, the witch had very bad eyesight, an when Gretel smeared butter on her glasses, she could see even less.

   "Let me feel your finger!" said the witch to Hansel every day to check if he was getting any fatter. Now, Gretel had brought her brother a chicken bone, and when the witch went to touch his finger, Hansel held out the bone.

   "You're still much too thin!" she complained. When will you become plump?" One day the witch grew tired of waiting.

   "Light the oven," she told Gretel. "We're going to have a tasty roasted boy today!" A little later, hungry and impatient, she went on: "Run and see if the oven is hot enough." Gretel returned, whimpering: "I can't tell if it is hot enough or not." Angrily, the witch screamed at the little girl: "Useless child! All right, I'll see for myself." But when the witch bent down to peer inside the oven and check the heat, Gretel gave her a tremendous push and slammed the oven door shut. The witch had come to a fit and proper end. Gretel ran to set her brother free and they made quite sure that the oven door was tightly shut behind the witch. Indeed, just to be on the safe side, they fastened it firmly with a large padlock. Then they stayed for several days to
eat some more of the house, till they discovered amongst the witch's belongings, a huge chocolate egg. Inside lay a casket of gold coins.

   "The witch is now burnt to a cinder," said Hansel, "so we'll take this treasure with us." They filled a large basket with food and set off into the forest to search for the way home. This time, luck was with them, and on the second day, they saw their father come out of the house towards them, weeping.

   "Your stepmother is dead. Come home with me now, my dear children!" The two children hugged the woodcutter.

   "Promise you'll never ever desert us again," said Gretel, throwing her arms round her father's neck. Hansel opened the casket.

   "Look, Father! We're rich now . . . You'll never have to chop wood again."

   And they all lived happily together ever after.
 
The End
Source : http://ivyjoy.com/
***********************************************************************************
Di sebuah desa pada zaman dahulu hiduplah sebuah keluarga bahagia. Mereka mempunyai dua orang anak yang manis, namanya Hans dan Gretel. Suatu ketika Ibu tercinta meninggal karena sakit. Sejak kematian sang Ibu, mereka selalu bersedih sepanjang hari.

Agar mereka tidak bersedih, kemudian Ayah mengambil Ibu baru untuk menghIbur mereka. Ternyata Ibu baru ini sangat jahat dan memperlakukan mereka dengan buruk. Dari pagi hingga petang mereka disuruh terus bekerja dan hanya diberi makan satu kali.

Musim kemarau pun tiba, dan mereka tidak mempunyai makanan apa-apa. Sang Ibu menyuruh anak-anak untuk dibawa ke hutan dan meninggalkannya di sana.

Ayah sangat terkejut mendengarnya ” Bicara apa kau, apa kau ingin anak-anak mati ?! “
” Kau ini memang bodoh, kalau kita tidak melakukannya, kita semua akan mati !”

Sementara itu dari balik kamar , Hans dan Gretel mendengarkan pembicaraan mereka. Mereka ketakutan dan Gretel pun menangis.
Akhirnya Ayah tidak bisa berbuat apa-apa karena istrinya terus mendesaknya.
“Ah… apa kita akan mati di hutan ?! “
” Ssst.., aku punya ide bagus, ” ucap Hans. Lalu ia keluar rumah dan mengumpulkan batu-batu kecil putih yang bila terkena cahaya bulan, akan bersinar.

Pada esok paginya dengan berteriak keras, Ibunya membangunkan Hans dan Gretel. Sebelum berangkat ia memberikan sepotong roti kepada mereka. Setelah itu semua berangkat menuju hutan.

Sambil berjalan Hans membuang batu kecil putih satu per satu yang ada dalam kantongnya.
Karena berjalan sambil menoleh ke belakang, Ayah menjadi curiga.
” Sedang apa, Hans ? “
” Aku sedang memandang kucing yang ada di atas rumah,” jawab Hans berbohong. Lalu tibalah mereka di tengah hutan.

Ayah dan Ibunya pergi ke hutan yang lebih jauh lagi untuk menebang kayu dan meninggalkan mereka.
Rasa sedihpun berganti gembira setelah di tengah hutan Hans menemukan seekor kupu-kupu dan Gretel membuat kalung dari bunga. Mereka sangat gembira karena bisa bermain-main bersama teman baru mereka seperti kelinci, bajing dan burung-burung kecil.

Tanpa terasa waktu berlalu, mataharipun mulai tenggelam dan hari mulai gelap. Suara burung-burung yang indah kini berganti dengan suara angin yang berdesir.

Gretel menangis tersedu-sedu karena takut. Hans berkata menenangkan, “Jangan menangis, jika cahaya bulan muncul, kita pasti akan pulang dengan selamat “.

Tak lama kemudian, dari sela-sela pohon muncullah cahaya bulan yang bersinar dengan terang. Hans segera mengajak Gretel untuk pulang ke rumah.

Hans memegang tangan Gretel dan menyusuri jalan di hutan tanpa ragu-ragu.

” Kak, kok bisa berjalan tanpa bingung di hutan yang gelap begini?”
“Oh… batu kecil putih yang kujatuhkan ketika kita datang, bersinar karena kena sinar bulan dan itu akan menolong kita pulang ke rumah.”

Tibalah mereka di rumah, sang Ibu heran melihatnya dan mencari tahu bagaimana mereka bisa sampai di rumah dengan mudah. Ketika ia membuka pintu, ia melihat batu kecil putih yang bersinar. Agar mereka tidak bisa mengumpulkan batu putih itu lagi, Ibu mengunci pintu kamar mereka. Hans dan Gretel menjadi panik karenanya.
Sebelum tidur mereka berdoa pada Tuhan, meminta perlindungan.

Keesokan harinya seperti kemarin, Ibu membangunkan mereka dan membawa mereka ke hutan. Hans tidak kehabisan akal. Dengan terpaksa ia mencuil-cuil potongan roti dan menjatuhkannya di jalan sambil berjalan.

Tapi malang, jejak yang sudah dIbuatnya susah payah dimakan oleh burung-burung kecil. Sampailah mereka di dalam hutan. Kembali Ayah dan Ibunya meninggalkan mereka dan masuk ke hutan yang lebih jauh.
Merekapun bermain-main dengan binatang-binatang di dalam hutan.

Akhirnya malampun tiba. Ketika cahaya bulan mulai bersinar mereka beranjak pulang. Dengan susah payah dicarinya potongan-potongan roti sebagai petunjuk jalan untuk pulang ke rumah.
” Kak, apa yang telah terjadi dengan potongan-potongan roti itu ?” teriak Gretel cemas.
” Mungkin dimakan oleh burung -burung kecil “
” Uhh.., kalau begitu kita tidak bisa pulang ke rumah.”

Di dalam hutan bergema suara lolongan keras. Mereka berdua amat ketakutan. “Kak, aku takut, kita akan mati !” Gretel mulai menangis.
” Jangan khawatir dik, Ibu yang ada di surga pasti menolong kita.”

Karena lelah, mereka akhirnya tertidur dengan pulas di bawah pohon. Cahaya matahari pun mulai bersinar dan mengenai wajah mereka. Hans dan Gretel terbangun dan disambut suara kicauan burung.

Tiba-tiba mereka mencium bau masakan yang lezat. Segera mereka berlari ke arah datangnya bau lezat itu. Seperti mimpi mereka melihat rumah kue, atapnya terbuat dari tart, pintunya dari coklat, dan dindingnya dari biskuit.

Cepat-cepat mereka mendekati rumah itu dan memakannya.
Tiba-tiba terdengar suara keras yang bergetar.

“Siapa itu, berani memakan rumah kue kesayanganku ?”, muncullah seorang nenek sihir tua dengan wajah menyeramkan serta mata merah yang bersinar, lalu menangkap mereka berdua.
” Hi… Hi…. Hi…. anak-anak yang lezat, sebagai hukuman karena telah memakan rumput kue kesukaanku, aku akan memakan kalian .”
Dengan kasar nenek sihir itu menyeret Hans masuk ke dalam penjara. Setelah itu ia berkata kepada Gretel,
“Mula-mula aku akan menggemukkan anak laki-laki itu, lalu aku akan memakannya. “
“Sekarang kau buat makanan yang enak biar makannya banyak ! “

Nenek sihir itu sudah tua sekali dan matanya mulai rabun. Pada saat itu Hans dan Gretel saling berpegangan tangan memberi semangat supaya mereka tabah.
” Tabahlah Gretel, Ibu yang ada di surga pasti melindungi kita “.

Suatu hari nenek mendekati penjara Hans untuk melihat apakah tubuh Hans sudah menjadi gemuk atau belum.
“Aku lapar, sudah seberapa gemuk tubuhmu, ayo ulurkan tanganmu ! “
Hans yang pintar tidak kehilangan akal, ia mengetahui kalau mata nenek sudah rabun segera dikeluarkannya tulang sisa makanan kepada nenek yang rabun lalu nenek memegangnya.

Betapa kecewanya nenek karena sedikitpun Hans tidak bertambah gemuk. Karena kecewa lalu ia bermaksud untuk memakan Gretel. Kemudian Gretel disuruh membakar roti.
Selagi Gretel menyalakan api di tungku, si nenek mencoba mendorongnya ke nyala api.

Untunglah Gretel mengetahui maksud nenek, cepat-cepat ia berbalik pergi ke depan tungku.
“Nek, aku tidak bisa membuka tutup tungku ini .”
Nenek sihir tidak sadar kalau ia sedang diperdaya Gretel dan ia membuka tutup tungku.

Tanpa membuang kesempatan, Gretel mendorong nenek ke tungku.
“Ahh… tolong…. panas ! ” teriak nenek kesakitan. Gretel tidak memperdulikan teriakan nenek malah dengan cepat ia menutup pintu tungku, lalu berlari ke arah penjara untuk menolong Hans.
“Gretel, kau berhasil. Ibu yang di surga telah melindungi kita.” Karena bahagia mereka berpelukan.

Ketika akan pergi dari rumah kue tanpa sengaja mereka menemukan banyak harta karun. Setelah itu mereka keluar rumah, tetapi malang jalan itu terpotong oleh sungai besar.

Mereka menjadi bingung. Saat itu entah dari mana datangnya tiba-tiba muncul seekor angsa cantik.
” Ayo, naiklah ke punggungku, ” ucap angsa itu ramah. Satu per satu angsa itu mengantarkan mereka menyeberang sungai.

Setelah sampai, angsa itu menunjuk-kan jalan bagi mereka berdua dari atas langit. Sampailah mereka di batas hutan.
Tanpa mereka ketahui sebenarnya angsa itu adalah Ibu mereka yang ada di surga. Angsa itu kemudian menghilang. Setelah itu muncullah Ayah mereka yang sangat cemas.
“Anak-anakku tersayang, maafkanlah Ayah. Ayah tidak akan meninggalkan kalian lagi “.

Lalu Ayah menceritakan kepada mereka bahwa Ibu tiri yang jahat sudah meninggal karena sakit. Akhirnya mereka pun hidup bahagia selamanya.
Copyright © 2014 WELCOME TO MY WORLD !