Showing posts with label fiksi. Show all posts
Showing posts with label fiksi. Show all posts

Mar 5, 2013

[FICTION] SAYANG KITA BEDA !



Delima sedang asyik dengan aktivitas chattingnya ketika teriakan "Goooool!" membahana dari lapangan futsal. Fandi, laki-laki penyebab munculnya teriakan itu, mengepalkan tangan dan meninju ke atas. Ekspresi khas yang keluar ketika ia berhasil mencetak skor. Ia melihat sebentar ke arah Delima, berharap gadis manis itu merasa bangga kepadanya. 
Sayang, harapan itu tampaknya harus berganti posisi dengan rasa kecewa. Delima masih lebih tertarik dengan aplikasi yang ada di smartphone barunya.
"Hm, dasar oon." batin Fandi kesal.
Dia melanjutkan permainan futsalnya, tetap dengan semangat layaknya pemain timnas.

Bel Rumah Futsal berbunyi, menandakan berakhirnya waktu bermain untuk Fandi dan kawan-kawannya. Sebelum keluar lapangan mereka berhigh-five satu sama lain. Delima menghentikan kegiatan autisnya dan mengambil handuk kecil dari tas olahraga Fandi. Tak lupa air mineral yang sudah disiapkannya.
"Nih, Bang. Kayak habis mandi! Hahahahaha," ujar Delima menyodorkan handuk dan air minum.
"Dih, ketawanya jelek tau!" sindir Fandi cuek.
"Ih, kok gitu sih? Bete!"
"Hahahaha ngambek yeeeee?"
"Enggak kok. Wek! Abang jelek."
"Biarin."
"Eh tadi Abang keren lho, bisa ngegolin," kata Delima sok tahu.
"Apaan. Tadi Abang lihat kamu asik chattingan, Dek," jawab Fandi pura-pura jutek.
"Enggak kok, Bang," elak Delima tak mau kalah.
"Ah, Adek oon," balas Fandi mengacak-acak rambut Delima.
"Ih apaan sih Abang ini! Huh!"
Tidak terima rambutnya berantakan, punggung Fandi menjadi sasaran empuk serangan beruntun Delima. Fandi hanya terkekeh karena pukulan Delima hanya dirasakannya seperti belaian saja.

* * *

Fandi menggandeng Rowena erat seolah tidak ingin Rowena kabur dari kehidupannya. Mereka berjalan santai sambil melihat-lihat etalase toko-toko yang berjejer.
Terkadang Rowena memekik, "Aaaa itu lucu, Fan. Pengen beliiiiii."
"Aaaaa bagus, tuh, kerudung yang bunga-bunga itu!"
"Aaaaa cantik ya bajunya."
Fandi mengangguk mengiyakan setiap kata yang terlontar dari bibir kekasihnya yang gemar berhijab ini.
Dari kejauhan, Delima menatap kemesraan mereka berdua dengan getir. Perasaannya pahit. Sepahit kopi hitam yang diseduh tanpa gula sedikitpun. Melihat kenyataan yang ada di depannya, tak seharusnya Fandi menempati bilik kosong yang istimewa di hati Delima.
"Aku senang kok kalo Abang sama Wena. Tapi aku akan bahagia kalo aku bisa sama Abang. Sayangnya kita beda. Hm, kenapa harus ada perbedaan? Dan aku nggak bisa menyatukan perbedaan itu."

*

TERLAMBAT !





**On phone --

....
....
....

"Yaudah, Nduk. Belajar yang rajin makanya, biar nilainya ga jeblok lagi."

"Iya siiiiiiiiiip, tapi aku malas."

"Lho, piye tho? Cah iki kok malesan."

"Kayak kamu kan, Mas! Hahahahahaha"

"Eh, ga to ya. Enak aja. Aku we iki mau ngerjain laporan lho, Nduk."

"Oh percaya deh, Mas. Eh aku makan dulu ya. Nanti telfon lagi deh. Mas ngerjain tugas aja dulu sonooooooo."

"Oke, nanti lagi ya, Nduk."

"Iya dadaaaaaaaaaaah !!"

Tut..tut..tut..
End call.

**Unread inbox --

"Ndraaaaaaah."
"Lg sibuk y? Kok g bls?"

**On message --

"Iyaaaaa? Sbb ya, tadi abs ada telp hihi. Ada apaaaa?"

"oooooo :)"

"cuma O doang hah? zzzz"

"hehehehe. Eh aku mo tnya lah. Tp jgn ketawin y."

"aku ketawain lah pasti hahahahaha. Ga ding. Ayo cepetan mau tny apa?"

"hmmmmmm. pacaran itu enak gk sih menurutmu?"

"enak lah apalagi kl pacarnya baik. hahahah. knp? pengin y? cieeee lg suka sm org y kamu? cerita laaaaaaa"
"haha..pengin sih tp aku ga mau pcran dulu. emg km ud dibolehin pcran sm ortumu????"

"lhoooo? kok ga pengin? kenapa emangnya?  klo sm ortuku sih ga terlalu dibatasi, X. jadi boleh aja tp jgn smpe ngeganggu sekolah katanya. emg ga ada cwe yg lagi km sukain ha?"

"ooooo :) ada ."

"siapa? siapa? kok aku ga tau. km ga pernah cerita -_-"

"ada. kamu."

"heleh malah bercanda hahahahaha. lucu kok lucu :D seriusan lah wey."

"ngapain aku bercanda ndrah."

"astaga, iya hah? tapi heh gobel..aku uda punya :""" "

"hhe. gitu ya? ya aku tau kok. eh tapi kita ttep berteman lho y. km jgn ngejauhin aku lho y."

"astagaaaaa. iya lah tenang aja my best. eh aku selesein makan dulu ya. km dah makan? jangan lupa makan lho yaaaaa."

"oooo :) yaudah sip. oke aku makan juga nanti. kita berteman kyk biasa y. lupain yg tadi y."

"siiip. hahaha. ga bakal kulupain :p"


**Dalam hati:
Astaga, X. Kamu kalah start nih kayaknya. Seandainya kamu ngomong itu dari dulu :'(
Im sorry Mr. Monkey


**KETERANGAN:
Ini pake past tense kalo di bahasa inggrisin. maksudnya, aku cuma flashback, dan bukan kejadian yang sedang berlangsung sekarang.

Mar 1, 2013

[FICTION] KUE BRONIS




Oca mengayuh sepedanya menyusuri jalanan menuju ke sekolah. Tas gendongnya ia taruh di keranjang sepeda. Di boncengan belakang, Oci,  saudara kembarnya, duduk sambil memegangi  kotak berisi kue bronis.Masih jam enam lewat sepuluh menit, jadi jalan masih sepi.
"Oca, udah capek belum? Mau gantian?" kata Oci.
"Ah, belum kok. Baru aja beberapa meter dari rumah," jawab OCa santai.
Oci mengernyitkan dahi. "Beberapa meter? Padahal ini kan sudah setengah perjalanan. Oca mengada-ada saja," gumamnya dalam hati. Biasanya kalau sudah begitu, Oci mendapat giliran memboncengkan kembarannya itu saat pulang sekolah.
Oca dan Oci. Kembar tapi beda. Oca tingkahnya lebih mirip anak laki-laki, fisiknya lebih kuat. Sedangkan Oci, lebih kalem dan lembut. Makanya Oca lebih suka membocengkan Oci dan tidak memaksanya untuk bergantian.
Sesampainya di sekolah, Oca memarkirkan sepedanya di tempat biasa, di bawah pohon besar  di pinggir arena parkir sekolah. Agar tidak kepanasan, alasannya. Hanya ada tiga sepeda, termasuk sepeda mereka, yang terparkir di sana.
"Kita kepagian, ya Ci? Sepi banget nih," ujar Oca sambil mengunci sepeda tuanya itu.
"Kita emang selalu datang kepagian tau, Ca. Ah kamu itu pura-pura aja," jawab Oci disambut gelak tawa mereka berdua. Oca dan Oci bergegas menuju ke kantin sekolah. Di sana ibu kantin sudah menunggu kedatangan mereka.
"Halo, kembar. Hari ini kalian membawa kue bronis apa lagi, nih?" sapa ibu kantin.
"Banyak, Bu. Ada bronis tabur keju, meises, kacang. Dan yang baru, ada bronis selai stroberi nih, Bu," jawab Oca. Oci meletakan kotak plastik berisi aneka kue bronis itu di atas meja.
"Ya sudah, Bu. Kami ke kelas dulu, ya," ujar oci kemudian.
"Baik, anak-anak. Sepulang sekolah jangan lupa diambil ya kotaknya," kata ibu kantin mengingatkan.
"Sip, Bu!" Oca mengangkat ibu jarinya, tanda OK. Oca dan Oci meninggalkan kantin dan berlari berkerjaran menuju kelasnya sambil tertawa-tawa.
Bel pulang sekolah berdering. Si kembar sedang memasukan buku-buku mereka ke dalam tas ketika Rakhel dan beberapa orang temannya lewat di samping meja mereka.
“Hei, anak tukang bronis, laku nggak nih bronisnya?” ejek Rakhel. Dia tertawa dan teman-teman yang mengikutinya ikut cekikikan. Oca menatap sinis ke arah Rakhel, namun kemudian mengabaikannya dan melanjutkan kegiatan beres-beresnya. Rakhel jadi gemas. “Kok diam aja? Oh, aku tau. Pasti nggak laku, kan? “ katanya lagi dengan nada tinggi sehingga satu kelas mendengarnya.
“Maklum lah, bronis nggak enak ya nggak mungkin laku kalau dijual,” timpal seorang teman yang berdiri di belakang Rakhel. Oca mulai terpancing emosinya. Untunglah Oci dan beberapa teman yang lain membujuk Oca agar bersabar dan tidak menghiraukan celoteh Rakhel dan gengnya. Semua tahu, Rakhel adalah anak orang kaya. Ayahnya adalah penyumbang dana terbesar untuk sekolahnya. Makanya, Rakhel merasa berkuasa di kelas. Rakhel dan gengnya tidak disukai oleh semua teman sekelasnya, termasuk Oca dan Oci.
Selesai membereskan bukunya, Oca menarik tangan Oci agar cepat keluar dari kelas. Oca merasa gusar sekali. Bukan pertama kalinya Rakhel mengejek mereka seperti itu dan Oca merasa bahwa ini sudah keterlaluan, padahal ia selalu cuek dan berpura-pura tidak mendengar ocehan Rakhel. Ibu mereka pernah berpesan agar bersabar ketika menghadapi hal semacam itu.

Keesokan harinya, Oca dan Oci berangkat sekolah seperti biasa. Namun kali ini mereka agak kesiangan. DI perjalanan, mereka melihat sebuah mobil berhenti di pinggir jalan. Itu mobil Rakhel. Oca dan Oci terus bersepeda melewati mobil itu. Oca seolah-olah tidak melihat. Dia masih kesal kepada Rakhel. Tetapi kemudian Oci meminta Rakhel agar berhenti. “Stop dulu, Ca. Kayaknya mobil Rakhel mogok. Dan ini sudah lewat dari jam setengah tujuh.” Oca menurut walaupun ia enggan. Oci turun dari sepedanya dan menghamipri Rakhel.
“Kenapa, Ra? Mobilnya mogok ya?” tanya Oci basa-basi.
“Menurutmu?” jawab Rakhel ketus. Oca ingin sekali mengajak Oci pergi dari tempat itu. Tidak disangka, Oci menjawab dengan halus, “Iya. Kalau begitu, ayo ikut berangkat bersama kami. Kamu boleh naik sepeda dan kami jalan kaki saja.”
Oca kaget mendengar perkataan Oci, tapi akhirnya ia salut juga dengan Oci. Rakhel melirik sepeda butut yang masih dinaiki Oca. Oca tersenyum lalu turun dari sepedanya, menawarkan kepada Rakhel. “Maaf ya, sepeda ini memang nggak bagus, tapi setidaknya kamu nggak terlambat ke sekolah.” Rakhel terperangah melihat sikap si kembar. Mereka tetap baik kepadanya meskipun terus diejek olehnya. Rakhel merasa bersalah atas sikapnya selama ini.
“Nggak usah, kita jalan bareng aja, ya. Masa’ aku naik sepeda, sedangkan kalian jalan kaki. Nggak adil, kan?” katanya tersenyum. Oca dan Oci saling melirik namun akhirnya mengangguk setuju. Mereka berjalan bersama-sama menuju sekolah dan Rakhel meminta maaf kepada si kembar.
“Ini, kuberi kamu kue bronis. Enak lho. Sebagai persahabatan kita, Ra,” ujar Oci. Rakhel berterima kasih dan menerimanya dengan malu-malu. Sejak saat itu sikap Rakhel berubah, menjadi ramah, baik hati, dan manis seperti kue bronis si kembar.

* *

Feb 26, 2013

[FICTION] HAI, NAMAKU KING!



Aku sedang menyalin tugas matematika dari papan tulis ke buku tugasku ketika Bu Ratna, wali kelasku, masuk bersama dengan seorang anak laki-laki. Sepertinya murid baru, pikirku.

"Anak-anak, tolong perhatikan sebentar ya. Mencatatnya dilanjutkan nanti," kata Bu Ratna. Semua siswa di kelas termasuk aku, meletakan pensil di meja dan diam memperhatikan.

"Hari ini kalian akan mempunyai teman baru," ujar Bu Ratna, "Ayo, King, perkenalkan dirimu."

"Hai, Guys. Perkenalkan, namaku King. Kata Dad, dalam Bahasa Indonesia king berarti raja. Aku dari Malaysia." King berbicara dengan lantang dan logat luar negeri-nya masih agak kentara. Aku mengamati King dari ujung kaki sampai ujung kepala. King berbadan tegap, kulitnya seperti madu, mata sipit dan rambut cepak rapi. Namun entah kenapa aku kurang suka dengan gayanya itu.

"Baiklah, King. Sekarang kamu duduk di sana, ya. Di sebelah Kevin," ujar Bu Ratna menunjuk bangku kosong di sebelahku.

Aku terperanjat, "Tapi, Bu, besok kalau Edwin sudah masuk gimana? Ini kan bangku Edwin."
"Besok Edwin duduk di samping Reno, jangan khawatir."

Huh, aku semakin kesal dibuatnya. Edwin kan sahabatku dan dari awal kami memang sudah sepakat untuk satu meja di semester ini. Masa aku harus satu meja dengan orang asing seperti King?
King meletakan ranselnya di atas meja. Ugh, tasnya keren. Pasti mahal. Aku memandingkannya dengan tas ranselku. Beda sedikit saja, gumamku sedikit menghibur diri.

"Hai, siapa namamu. Aku King. Kata Dad , king itu berarti ...."

"Raja," tukasku, "Aku Kevin."

King tetap tersenyum meskipun aku bersikap acuh tak acuh kepadanya. Aku terpaksa balas tersenyum seadanya.
Hari ini dan seterusnya pasti tidak akan menyenangkan lagi, gerutuku dalam hati.

Sepulang sekolah, aku menceritakan hal itu kepada Mama.
“Oh, jadi King sekarang menjadi teman satu meja kamu, Vin? Wah, asyik dong. Dia kan baik,” ujar Mama.

“Lho, Mama tahu dari mana kalau King itu baik? Memangnya Mama kenal sama King? Kevin nggak suka sama dia, Ma. Dia kelihatan sombong.”
Mama meletakan piring terkahir yang sudah selesai dicucinya, lalu menatapku sambil tertawa kecil.

“Iya, dong. King itu kan tetangga baru kita juga, Vin. Masa kamu nggak tahu? Kemarin sore dia berkunjung ke sini, tapi kamu lagi main bola sama Mas Galih.”
Bibirku membentuk huruf O mendengar penjelasan Mama. “Melihat orang jangan dari luarnya saja, Vin. Coba saja kamu berteman dengan King. Jangan bersikap seperti tadi di sekolah. Itu nggak baik, lho,” lanjut Mama. Aku hanya mengangguk saja. Hm, benar juga, tidak ada salahnya berteman dengan King.


Sore harinya, aku bersiap untuk bermain bola bersama teman-teman kompleks perumahan. Masih pukul setengah lima, jadi aku tidak usah terburu-buru ke sana. Aku memakai baju bola kesayanganku. Ada lambang Garuda di bagian dada. Di punggung tercetak tulisan KEVIN dengan angka 11 di bawahnya. Angka  11 itu angka kesukaanku. Kata Mama, angka 1 itu berarti pertama dan nomor satu. Jadi, menurutku kalau 11 itu berarti semakin menjadi nomor satu. Memang sih, terdengar aneh, tapi setidaknya aku mencoba untuk menjadikannya berbeda.

Aku keluar rumah dengan menenteng sepatu bolaku yang berwarna merah. Merah itu tandanya berani. Dan aku suka sekali warna merah. Aku berjalan santai melewati beberapa rumah. Tiba di rumah bercat biru muda, ada seseorang yang memanggilku.

“Kevin! Halo! Mau kemana nih sore-sore begini?” Suara itu seperti pernah kudengar, tapi aku lupa. Aku menoleh ke sumber suara, dan ternyata itu King!
Astaga, anak itu lagi. Aku mendengus kesal namun seketika teringat ucapan Mama tadi siang.
“Oh, hai King. Aku mau ke lapangan, nih. Main bola. Ikut?” sapaku mencoba ramah. King berlari kecil keluar dari gerbang rumahnya. Senyumnya yang khas menghiasi wajahnya.
“Ayo, aku mau ikut. Aku senang sekali bermain football. Tunggu ya, aku ganti pakaian dulu,” ujarnya.
Tak lama kemudian, King muncul dengan baju bolanya. Seperti punyaku, ada lambang Garuda di dadanya. Dia sumringah menyadari bahwa baju kami sama. Kami pun berjalan menuju lapangan.

“Aku menyukai baju bola ini. Aku minta Dad membelikannya untukku ketika kami tiba di Jakarta kemarin,” jelas King. Sepanjang perjalanan, King banyak bercerita tentang kekagumannya pada Indonesia. Lalu tentang keluarga dan sekolahnya yang dulu. Terkadang aku tertawa mendengar cerita King. Ternyata dia sangat lucu dan sama sekali tidak suka menyombongkan diri. 

Sesampainya di lapangan, sudah banyak teman yang menunggu di sana. Aku mengajak King untuk berkenalan dengan teman-temanku.
“Hai, namaku King. Kata Dad, king itu berarti .... “
“Raja!” potongku cepat, lalu tertawa. King ikut tertawa. Aku sudah tidak sebal lagi dengan King. Aku ingat dengan ucapan Mama, “Jangan melihat orang dari luarnya saja.”

* * *
Copyright © 2014 WELCOME TO MY WORLD !