[FICTION] KUE BRONIS
Oca mengayuh sepedanya menyusuri jalanan menuju ke sekolah. Tas gendongnya ia taruh di keranjang sepeda. Di boncengan belakang, Oci, saudara kembarnya, duduk sambil memegangi kotak berisi kue bronis.Masih jam enam lewat sepuluh menit, jadi jalan masih sepi.
"Oca, udah capek belum?
Mau gantian?" kata Oci.
"Ah, belum kok. Baru
aja beberapa meter dari rumah," jawab OCa santai.
Oci mengernyitkan dahi.
"Beberapa meter? Padahal ini kan sudah setengah perjalanan. Oca
mengada-ada saja," gumamnya dalam hati. Biasanya kalau sudah begitu, Oci
mendapat giliran memboncengkan kembarannya itu saat pulang sekolah.
Oca dan Oci. Kembar tapi
beda. Oca tingkahnya lebih mirip anak laki-laki, fisiknya lebih kuat. Sedangkan
Oci, lebih kalem dan lembut. Makanya Oca lebih suka membocengkan Oci dan tidak
memaksanya untuk bergantian.
Sesampainya di sekolah, Oca
memarkirkan sepedanya di tempat biasa, di bawah pohon besar di pinggir arena parkir sekolah. Agar tidak
kepanasan, alasannya. Hanya ada tiga sepeda, termasuk sepeda mereka, yang
terparkir di sana.
"Kita kepagian, ya Ci?
Sepi banget nih," ujar Oca sambil mengunci sepeda tuanya itu.
"Kita emang selalu
datang kepagian tau, Ca. Ah kamu itu pura-pura aja," jawab Oci disambut
gelak tawa mereka berdua. Oca dan Oci bergegas menuju ke kantin sekolah. Di
sana ibu kantin sudah menunggu kedatangan mereka.
"Halo, kembar. Hari ini
kalian membawa kue bronis apa lagi, nih?" sapa ibu kantin.
"Banyak, Bu. Ada bronis
tabur keju, meises, kacang. Dan yang baru, ada bronis selai stroberi nih,
Bu," jawab Oca. Oci meletakan kotak plastik berisi aneka kue bronis itu di
atas meja.
"Ya sudah, Bu. Kami ke
kelas dulu, ya," ujar oci kemudian.
"Baik, anak-anak.
Sepulang sekolah jangan lupa diambil ya kotaknya," kata ibu kantin
mengingatkan.
"Sip, Bu!" Oca
mengangkat ibu jarinya, tanda OK. Oca dan Oci meninggalkan kantin dan berlari
berkerjaran menuju kelasnya sambil tertawa-tawa.
Bel pulang sekolah
berdering. Si kembar sedang memasukan buku-buku mereka ke dalam tas ketika
Rakhel dan beberapa orang temannya lewat di samping meja mereka.
“Hei, anak tukang bronis,
laku nggak nih bronisnya?” ejek Rakhel. Dia tertawa dan teman-teman yang
mengikutinya ikut cekikikan. Oca menatap sinis ke arah Rakhel, namun kemudian
mengabaikannya dan melanjutkan kegiatan beres-beresnya. Rakhel jadi gemas. “Kok
diam aja? Oh, aku tau. Pasti nggak laku, kan? “ katanya lagi dengan nada tinggi
sehingga satu kelas mendengarnya.
“Maklum lah, bronis nggak
enak ya nggak mungkin laku kalau dijual,” timpal seorang teman yang berdiri di
belakang Rakhel. Oca mulai terpancing emosinya. Untunglah Oci dan beberapa
teman yang lain membujuk Oca agar bersabar dan tidak menghiraukan celoteh
Rakhel dan gengnya. Semua tahu, Rakhel adalah anak orang kaya. Ayahnya adalah
penyumbang dana terbesar untuk sekolahnya. Makanya, Rakhel merasa berkuasa di
kelas. Rakhel dan gengnya tidak disukai oleh semua teman sekelasnya, termasuk
Oca dan Oci.
Selesai membereskan bukunya,
Oca menarik tangan Oci agar cepat keluar dari kelas. Oca merasa gusar sekali.
Bukan pertama kalinya Rakhel mengejek mereka seperti itu dan Oca merasa bahwa
ini sudah keterlaluan, padahal ia selalu cuek dan berpura-pura tidak mendengar
ocehan Rakhel. Ibu mereka pernah berpesan agar bersabar ketika menghadapi hal
semacam itu.
Keesokan harinya, Oca dan
Oci berangkat sekolah seperti biasa. Namun kali ini mereka agak kesiangan. DI
perjalanan, mereka melihat sebuah mobil berhenti di pinggir jalan. Itu mobil
Rakhel. Oca dan Oci terus bersepeda melewati mobil itu. Oca seolah-olah tidak
melihat. Dia masih kesal kepada Rakhel. Tetapi kemudian Oci meminta Rakhel agar
berhenti. “Stop dulu, Ca. Kayaknya mobil Rakhel mogok. Dan ini sudah lewat dari
jam setengah tujuh.” Oca menurut walaupun ia enggan. Oci turun dari sepedanya
dan menghamipri Rakhel.
“Kenapa, Ra? Mobilnya mogok
ya?” tanya Oci basa-basi.
“Menurutmu?” jawab Rakhel
ketus. Oca ingin sekali mengajak Oci pergi dari tempat itu. Tidak disangka, Oci
menjawab dengan halus, “Iya. Kalau begitu, ayo ikut berangkat bersama kami.
Kamu boleh naik sepeda dan kami jalan kaki saja.”
Oca kaget mendengar
perkataan Oci, tapi akhirnya ia salut juga dengan Oci. Rakhel melirik sepeda butut
yang masih dinaiki Oca. Oca tersenyum lalu turun dari sepedanya, menawarkan
kepada Rakhel. “Maaf ya, sepeda ini memang nggak bagus, tapi setidaknya kamu
nggak terlambat ke sekolah.” Rakhel terperangah melihat sikap si kembar. Mereka
tetap baik kepadanya meskipun terus diejek olehnya. Rakhel merasa bersalah atas
sikapnya selama ini.
“Nggak usah, kita jalan
bareng aja, ya. Masa’ aku naik sepeda, sedangkan kalian jalan kaki. Nggak adil,
kan?” katanya tersenyum. Oca dan Oci saling melirik namun akhirnya mengangguk
setuju. Mereka berjalan bersama-sama menuju sekolah dan Rakhel meminta maaf
kepada si kembar.
“Ini, kuberi kamu kue
bronis. Enak lho. Sebagai persahabatan kita, Ra,” ujar Oci. Rakhel berterima
kasih dan menerimanya dengan malu-malu. Sejak saat itu sikap Rakhel berubah,
menjadi ramah, baik hati, dan manis seperti kue bronis si kembar.
* *
0 comments:
Post a Comment