CERBUNG TAK BERJUDUL PART 1
Hello again bloggies ;;)
Hari ini aku sama teman aku, Rizky Wahyuni Ritonga, berniat bikin cerita bareng. Jadi, masing-masing dari kami bergantian buat melanjutkan cerita tanpa tahu bagaimana jalan cerita dan ending yang diharapkan.
Hari ini aku sama teman aku, Rizky Wahyuni Ritonga, berniat bikin cerita bareng. Jadi, masing-masing dari kami bergantian buat melanjutkan cerita tanpa tahu bagaimana jalan cerita dan ending yang diharapkan.
Dua ide digabung jadi satu, ga tau mau kayak gimana, ga tau mau sampai part berapa. Selamat membaca ya!! Please enjoy our project guys :)
Terburu-buru
Astri menaiki anak-anak tangga besi jembatan penyeberangan. Peluhnya bercucuran
karena terik matahari yang begitu menyengat di kota metropolitan itu. Seperti
biasa, panas.
Di
kelok patahan anak tangga, terlihat seorang ibu pengemis yang tengah duduk,
membelai lembut seorang anak kecil. Mungkin anaknya. Baju mereka lusuh, bahkan
tercium bau menyengat ketika orang-orang angkuh melewati mereka. Astri langsung
menutup hidung, memalingkan muka, dan berjalan lebih cepat. Tak ingin
berlama-lama berada di tempat itu, sama seperti orang-orang angkuh lainnya.
"Ah,
kenapa ibu kota penuh dengan orang-orang seperti ini?" tanya astri dalam
hati. Sejenak dia memalingkan muka ke tempat ibu lusuh dan anaknya itu,
dilihatnya si ibu. Diam memandang mangkuk bekas mi instan yang sudah lusuh
juga. terlihat kosong.
Tanpa
sadar dia berhenti. "Mungkin saja,sebenarnya mangkuk itu sudah berisi
penuh, tetapi dikosongkan kembali. Demi mendapatkan belas kasihan orang
lain," gumam Astri dalam hati.
Pandangannya
lalu beralih dari sang ibu ke anak perempuan yang diletakkan diatas sisa-sisa
kardus. Anak itu tak kalah lusuh. Dimukanya banyak coretan coretan cokelat.
Entah sudah bekas apa saja.
Tiba-tiba
hatinya merasa iba. Tapi, "Astri! Sejak kapan kamu menjadi sok peduli
seperti ini? Apakah kamu ingin terlambat kuliah hanya karena waktu yang
terbuang sia-sia di sini?" Hatinya menyuarakan demikian.
"Apa
susahnya memberi sedikit saja uang yang kamu miliki untuk mereka? Sampai kapan
kamu terus menjadi perempuan egois yang tak pernah punya perasaan?" Sisi
lain hatinya ikut berbicara.
Astri
bimbang.
"Ah!
Entah apa!" teriaknya spontan, di luar kesadarannya. Orang lain yang
berlalu lalang di jembatan itu menoleh ke sumber suara. Astri menutup bibirnya
dan menunduk malu. Ia berlari-lari kecil menuju loket dan ikut mengantri di
sana.
"Huh,
masih banyak hal yang jauh lebih penting daripada ini."
Akhirnya,
suara yang berada tepat ditelinga kirinya lah yang menang.
"Mereka
hanya manusia malas yang tak berpendidikan. tak prlu dikasihani." Astri
bergumam di antara antrian panjang itu.
"Matahari
yang sudah menampakkan wujudnya di pagi hari ini sudah cukup membuatku jengah,
ditambah lagi harus memikirkan orang-orang seperti itu. benar-benar membuat
gila.
yang
kubutuhkan hanya sedikit udara segar untuk bernafas, lepas dari orang-orang
seperti ibu lush dan anaknya tadi."
Entah
sudah berapa lama Astri berdiri sambil bergumam seperti itu, kemudian
disadarkan dengan suara lantang yang berasal dari petugas loket.
"Mbak!
Mau beli tkarcis nggak, tho? Buruan," tegurnya dengan logat Jawa yang
kental.
"Oh
iya, iya, Mas. Maaf. Beli satu, Mas," jawab Astri terbata.
Orang-orang
yang berdiri di belakang Astri menggerutu dan tak senang dengan waktu yang
semakin terulur karena kelakuan bodoh Astri. Melamun.
Astri
tidak peduli. Setelah mendapatkan karcis, ia langsung masuk ke ruang tunggu.
Tak ada AC. Bahkan angin enggan mampir
ke halte yang lumayan penuh dengan calon penumpang itu. Gerah sekali rasanya,
padahal jam masih menunjukan pukul delapan tepat.
Astri
berdiri menunggu bus. Tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahunya.
"Woy!
Melamun aja lo, As," sapanya.
"Eh,
Jono. Kaget lho gue. Banyak pikiran nih, makanya melamun," jawab Astri
asal, disusul tawanya yang renyah.
"Ceilah
kayak orang tua aja lo."
"Biarin
aja kali, Jon. Suka-suka gue."
Percakapan
hangat mewarnai pagi mereka yang panas. Menggantikan rasa jengah yang sedari
tadi mengikuti tiap langkah Astri. Astri juga bercerita tentang si ibu pengemis
dengan anaknya tadi untuk mengisi bahan obrolan. Jono menyimak penuh perhatian.
Raut wajahnya berubah-ubah mengikuti cerita Astri, namun senyumnya tak pernah
pudar dan kedua bola matanya menatap Astri lembut.
"Lantas,
apa yang ada dipikiran lo saat itu, sampai-sampai lo melangkahkan kai lurus dan
gak berbalik buat ngasih receh ke ibu lusuh itu?" Jono memberi pertanyaan
sebagai tanggapan dari cerita singkat Astri.
"Gue
kan udah bilang, menurut gue, mereka cuma malas yang cuma bisa mengharapkan
recehan dari manusia lain."
"Terus,
dengan pikiran sempit lo, lo mikirin kalo semua orang yang jadi pengemis itu
orang malas?"
Astri
tertegun. Dipandangnya sepasang mata yang tengah menatapnya itu. Ada pandangan
meneliti di sana.
Belum
sempat Astri menjawab, sebuah bangun kotak berjalan berwarna orange berjalan
mendekati mereka. Bus yang mereka tunggu telah datang.
"Pemikiran
lo terlalu sempit, Astri." Dengan sebuah senyuman yang sudah menggantikan
pandangan mata meneliti itu, Jono meninggalkan Astri.
Astri
yang terlalu sibuk dengan pandangan mata itu baru menyadari dia ketinggalan bus
setelah kedua mulut bus itu menutup.
**Bersambung . . .
0 comments:
Post a Comment