Mar 5, 2013

CERBUNG TAK BERJUDUL PART 1



Hello again bloggies ;;)
Hari ini aku sama teman aku, Rizky Wahyuni Ritonga, berniat bikin cerita bareng. Jadi, masing-masing dari kami bergantian buat melanjutkan cerita tanpa tahu bagaimana jalan cerita dan ending yang diharapkan. 
Dua ide digabung jadi satu, ga tau mau kayak gimana, ga tau mau sampai part berapa. Selamat membaca ya!! Please enjoy our project guys :)



Terburu-buru Astri menaiki anak-anak tangga besi jembatan penyeberangan. Peluhnya bercucuran karena terik matahari yang begitu menyengat di kota metropolitan itu. Seperti biasa, panas.
Di kelok patahan anak tangga, terlihat seorang ibu pengemis yang tengah duduk, membelai lembut seorang anak kecil. Mungkin anaknya. Baju mereka lusuh, bahkan tercium bau menyengat ketika orang-orang angkuh melewati mereka. Astri langsung menutup hidung, memalingkan muka, dan berjalan lebih cepat. Tak ingin berlama-lama berada di tempat itu, sama seperti orang-orang angkuh lainnya.

"Ah, kenapa ibu kota penuh dengan orang-orang seperti ini?" tanya astri dalam hati. Sejenak dia memalingkan muka ke tempat ibu lusuh dan anaknya itu, dilihatnya si ibu. Diam memandang mangkuk bekas mi instan yang sudah lusuh juga. terlihat kosong.
Tanpa sadar dia berhenti. "Mungkin saja,sebenarnya mangkuk itu sudah berisi penuh, tetapi dikosongkan kembali. Demi mendapatkan belas kasihan orang lain," gumam Astri dalam hati.
Pandangannya lalu beralih dari sang ibu ke anak perempuan yang diletakkan diatas sisa-sisa kardus. Anak itu tak kalah lusuh. Dimukanya banyak coretan coretan cokelat. Entah sudah bekas apa saja.

Tiba-tiba hatinya merasa iba. Tapi, "Astri! Sejak kapan kamu menjadi sok peduli seperti ini? Apakah kamu ingin terlambat kuliah hanya karena waktu yang terbuang sia-sia di sini?" Hatinya menyuarakan demikian.
"Apa susahnya memberi sedikit saja uang yang kamu miliki untuk mereka? Sampai kapan kamu terus menjadi perempuan egois yang tak pernah punya perasaan?" Sisi lain hatinya ikut berbicara.
Astri bimbang.
"Ah! Entah apa!" teriaknya spontan, di luar kesadarannya. Orang lain yang berlalu lalang di jembatan itu menoleh ke sumber suara. Astri menutup bibirnya dan menunduk malu. Ia berlari-lari kecil menuju loket dan ikut mengantri di sana.

"Huh, masih banyak hal yang jauh lebih penting daripada ini."
Akhirnya, suara yang berada tepat ditelinga kirinya lah yang menang.
"Mereka hanya manusia malas yang tak berpendidikan. tak prlu dikasihani." Astri bergumam di antara antrian panjang itu.
"Matahari yang sudah menampakkan wujudnya di pagi hari ini sudah cukup membuatku jengah, ditambah lagi harus memikirkan orang-orang seperti itu. benar-benar membuat gila.
yang kubutuhkan hanya sedikit udara segar untuk bernafas, lepas dari orang-orang seperti ibu lush dan anaknya tadi."
Entah sudah berapa lama Astri berdiri sambil bergumam seperti itu, kemudian disadarkan dengan suara lantang yang berasal dari petugas loket.

"Mbak! Mau beli tkarcis nggak, tho? Buruan," tegurnya dengan logat Jawa yang kental.
"Oh iya, iya, Mas. Maaf. Beli satu, Mas," jawab Astri terbata.
Orang-orang yang berdiri di belakang Astri menggerutu dan tak senang dengan waktu yang semakin terulur karena kelakuan bodoh Astri. Melamun.
Astri tidak peduli. Setelah mendapatkan karcis, ia langsung masuk ke ruang tunggu. Tak ada AC. Bahkan angin enggan  mampir ke halte yang lumayan penuh dengan calon penumpang itu. Gerah sekali rasanya, padahal jam masih menunjukan pukul delapan tepat.
Astri berdiri menunggu bus. Tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahunya.
"Woy! Melamun aja lo, As," sapanya.
"Eh, Jono. Kaget lho gue. Banyak pikiran nih, makanya melamun," jawab Astri asal, disusul tawanya yang renyah.
"Ceilah kayak orang tua aja lo."
"Biarin aja kali, Jon. Suka-suka gue."
Percakapan hangat mewarnai pagi mereka yang panas. Menggantikan rasa jengah yang sedari tadi mengikuti tiap langkah Astri. Astri juga bercerita tentang si ibu pengemis dengan anaknya tadi untuk mengisi bahan obrolan. Jono menyimak penuh perhatian. Raut wajahnya berubah-ubah mengikuti cerita Astri, namun senyumnya tak pernah pudar dan kedua bola matanya menatap Astri lembut.

"Lantas, apa yang ada dipikiran lo saat itu, sampai-sampai lo melangkahkan kai lurus dan gak berbalik buat ngasih receh ke ibu lusuh itu?" Jono memberi pertanyaan sebagai tanggapan dari cerita singkat Astri.
"Gue kan udah bilang, menurut gue, mereka cuma malas yang cuma bisa mengharapkan recehan dari manusia lain."
"Terus, dengan pikiran sempit lo, lo mikirin kalo semua orang yang jadi pengemis itu orang malas?"
Astri tertegun. Dipandangnya sepasang mata yang tengah menatapnya itu. Ada pandangan meneliti di sana.
Belum sempat Astri menjawab, sebuah bangun kotak berjalan berwarna orange berjalan mendekati mereka. Bus yang mereka tunggu telah datang.
"Pemikiran lo terlalu sempit, Astri." Dengan sebuah senyuman yang sudah menggantikan pandangan mata meneliti itu, Jono meninggalkan Astri.
Astri yang terlalu sibuk dengan pandangan mata itu baru menyadari dia ketinggalan bus setelah kedua mulut bus itu menutup.

**Bersambung . . .

0 comments:

Post a Comment

Copyright © 2014 WELCOME TO MY WORLD !