Feb 12, 2013

[REVIEW]: HASEL&GRETEL WITCH HUNTER

Dalam waktu satu minggu ini, ada 2 film bagus yang udah aku tonton.
Film pertama yaitu Hansel & Gretel: Witch Hunter (3D) .
Sedangkan film kedua adalah Mama.
Ga tau kenapa tiba-tiba aku jadi suka nonton film. Memang ga sayang uang, soalnya untuk kesenangan diri sendiri juga kok. Tapi jangan sering-sering juga kali ya ~
Tahun ular kali ini emang diawali dengan banyak film bagus yang nangkring di 21 atau XXI. Didominasi film luar, aku yakin beberapa bulan ke depan uangku bakal cepet habis cuma buat bolak-balik ke bioskop.
Film yang lagi pengin banget aku tonton selanjutnya adalah Les Miserables.

Oke ga usah banyak basa-basi lagi, aku mau kasih sedikit ulasan tentang film-film yang udah aku tonton itu. Aku recomend banget deh buat kalian tonton juga.

Film 1
HANSEL & GRETEL: WITCH HUNTER (3D)

Dilihat dari judulnya, aku membayangkan film ini pure menceritakan tentang Hansel dan Gretel menurut karya H.C. Andersen. Bedanya hanya pada tampilan kartun yang ditransform jadi manusia. Ternyata dugaanku meleset cukup jauh. Awalnya memang menceritakan kisah aslinya, lengkap dengan rumah kuenya. Tapi kok cepet banget penyihirnya mati? Kok gitu aja? Eh ternyata itu baru awal alias intronya doang. Okesip lanjut.
Film ini menceritakan kelanjutan dari Hansel & Gretel kartun. Jadi, ceritanya di sini mereka sudah dewasa dan dikenal sebagai pemburu penyihir jahat karena semenjak kejadian di rumah kue, mereka banyak membunuh penyihir.
Suatu ketika, di sebuah kota, ada peristiwa penculikan anak-anak dan ada seorang wanita yang dituduh sebagai penyihir jahat itu. Namanya Mina.
Hansel menyatakan bahwa Mina bukanlah penyihir hitam dan kemudian petualangan Hansel & Gretel pun dimulai.
Mereka mencari penyihir dan anak-anak yang diculik sampai ke dalam hutan. Dan memang benar, mereka diculik oleh penyihir hitam untuk memenuhi syarat ritual. Ritual itu mengharuskan para penyihir untuk menculik 12 anak yang bulan lahirnya dari Januari sampai Desember.
Pertarungan demi pertarungan terjadi. Sampai pada akhirnya, puncak pertarungan ada ketika tinggal satu anak yang kurang, yaitu dia yang lahir pada bulan April.
Pertarungan sengit tak terelakan, namun Hansel dan Gretel tak hanya berdua. Mereka dibantu oleh beberapa orang lagi, yang salah satunya adalah penggemar berat mereka (lupa namanya) .
Ada pula sebongkah seorang sesosok ogre, yang notabene hanya patuh pada penyihir, ikut membantu mereka melawan penyihir hitam. Lah, jadi? Hansel & Gretel itu penyihir juga? Sebenarnya orang tua mereka kenapa tega membuang mereka ke hutan sih? Bagaimana nasib anak-anak itu, apakah pada akhirnya mereka berhasil menjadi korban ritual?

Penasaran kan?
Nah makanya nonton aja, dijamin ga nyesel deh. Apalagi kalau nonton versi 3D-nya. Makin seru karena sound dan grafiknya keren banget!

Beberapa scene :





Feb 6, 2013

FIRST PRESENTATION ~

Nood goon bloggies :)

Hari ini aku mau cerita tentang presentasi pertama aku di kantor. Iya sih, bukan presentasi yang gede, cuma presentaiin apa yang udah aku pelajari selama 1 bulan selepas training.
Aku ambil topik Seat Inventory karena dari beberapa bab yang udah aku pelajari, aku merasa yakin dengan bab yang ini.
Powerpoint udah aku kirim ke senior tepat waktu, yaitu H-2 dari hari ini.
Dari semalem aku deg-degan banget anjir kaya mau ikut pentas idola cilik aja zzz -.-
Mana hari ini aku lagi ga enak perut pula. Ga bersahabat banget deh suasana hari ini. Jam 9.15 anak-anak Batch-3 disuruh masuk ke ruangan. Kita persiapan dulu, terlebih aku yang lebay harus persiapin mental dan materinya so pasti lol XD
Di jadwal yang udah di-emailin sih aku giliran ke-3, yaitu jam 10.30. Tapi gatau kenapa, terjadi perubahan jadwal dan aku menjadi giliran terakhir di kloter ini yaitu jam 11.00.
Awalnya aku merasa yakin dengan PPT yang udah aku bikin. Udah aku tes berkali-kali di desktop aku dan itu berasa oke banget, Aku juga udah nyiapin mesti ngomong apa dan gimana di depan teman-teman dan para senior.
Nah aku tekan tuh F5. Eh buset tampilannya beda. Mungkin karena resolusinya beda kali ya atau karena dia pake MsOffice2010 aku gatau >< Lumayan acakadul huh. Apalagi banyak hiperlink yang ga jalan >< Parah banget.
Gesture dan kata-kata yang udah aku siapkan pun buyar. Entah apa. Aku ngomong apa adanya. Untungnya, karena lagi ada problem mendadak, banyak senior yang keluar ruangan buat menyelesaikan problem itu. Dan senior dari Reservasi (bagianku) membantu banget. Terkadang mereka ikut ngomong kalo ada yang tanya dan ikut membenarkan apa yang aku bilang. Okesip.
Sesi tanya jawab juga udah lumayan beres. Dan 30 menit pun berlalu. Itu tandanyaaaaaaaa, selesai ~~

HANSEL & GRETEL (Story)



Once upon a time a very poor woodcutter lived in a tiny cottage in the forest with his two children, Hansel and Gretel. His second wife often ill-treated the children and was forever nagging the woodcutter.

   "There is not enough food in the house for us all. There are too many mouths to feed! We must get rid of the two brats," she declared. And she kept on trying to persuade her husband to abandon his children in the forest.

   "Take them miles from home, so far that they can never find their way back! Maybe someone will find them and give them a home." The downcast woodcutter didn't know what to do. Hansel who, one evening, had overheard his parents' conversation, comforted Gretel.

   "Don't worry! If they do leave us in the forest, we'll find the way home," he said. And slipping out of the house he filled his pockets with little white pebbles, then went back to bed.

   All night long, the woodcutter's wife harped on and on at her husband till, at dawn, he led Hansel and Gretel away into the forest. But as they went into the depths of the trees, Hansel dropped a little white pebble here and there on the mossy green ground. At a certain point, the two children found they really were alone: the woodcutter had plucked up enough courage to desert
them, had mumbled an excuse and was gone.

   Night fell but the woodcutter did not return. Gretel began to sob bitterly. Hansel too felt scared but he tried to hide his feelings and comfort his sister.

   "Don't cry, trust me! I swear I'll take you home even if Father doesn't come back for us!" Luckily the moon was full that night and Hansel waited till its cold light filtered through the trees.

   "Now give me your hand!" he said. "We'll get home safely, you'll see!" The tiny white pebbles gleamed in the moonlight, and the children found their way home. They crept through a half open window, without wakening their parents. Cold, tired but thankful to be home again, they slipped into bed.

   Next day, when their stepmother discovered that Hansel and Gretel had returned, she went into a rage. Stifling her anger in front of the children, she locked her bedroom door, reproaching her husband for failing to carry out her orders. The weak woodcutter protested, torn as he was between shame and fear of disobeying his cruel wife. The wicked stepmother kept Hansel and Gretel under lock and key all day with nothing for supper but a sip of water and some hard bread. All night, husband and wife quarreled, and when dawn came, the woodcutter led the children out into the forest.

   Hansel, however, had not eaten his bread, and as he walked through the trees, he left a trail of crumbs behind him to mark the way. But the little boy had forgotten about the hungry birds that lived in the forest. When they saw him, they flew along behind and in no time at all, had eaten all the crumbs. Again, with a lame excuse, the woodcutter left his two children by
themselves.

   "I've left a trail, like last time!" Hansel whispered to Gretel, consolingly. But when night fell, they saw to their horror, that all the crumbs had gone.

   "I'm frightened!" wept Gretel bitterly. "I'm cold and hungry and I want to go home!"

   "Don't be afraid. I'm here to look after you!" Hansel tried to encourage his sister, but he too shivered when he glimpsed frightening shadows and evil eyes around them in the darkness. All night the two children huddled together for warmth at the foot of a large tree.

   When dawn broke, they started to wander about the forest, seeking a path, but all hope soon faded. They were well and truly lost. On they walked and walked, till suddenly they came upon a strange cottage in the middle of a glade.

   "This is chocolate!" gasped Hansel as he broke a lump of plaster from the wall.

   "And this is icing!" exclaimed Gretel, putting another piece of wall in her mouth. Starving but delighted, the children began to eat pieces of candy broken off the cottage.

   "Isn't this delicious?" said Gretel, with her mouth full. She had never tasted anything so nice.

   "We'll stay here," Hansel declared, munching a bit of nougat. They were just about to try a piece of the biscuit door when it quietly swung open.

   "Well, well!" said an old woman, peering out with a crafty look. "And haven't you children a sweet tooth?"

   "Come in! Come in, you've nothing to fear!" went on the old woman. Unluckily for Hansel and Gretel, however, the sugar candy cottage belonged to an old witch, her trap for catching unwary victims. The two children had come to a really nasty place.

   "You're nothing but skin and bones!" said the witch, locking Hansel into a cage. I shall fatten you up and eat you!"

   "You can do the housework," she told Gretel grimly, "then I'll make a meal of you too!" As luck would have it, the witch had very bad eyesight, an when Gretel smeared butter on her glasses, she could see even less.

   "Let me feel your finger!" said the witch to Hansel every day to check if he was getting any fatter. Now, Gretel had brought her brother a chicken bone, and when the witch went to touch his finger, Hansel held out the bone.

   "You're still much too thin!" she complained. When will you become plump?" One day the witch grew tired of waiting.

   "Light the oven," she told Gretel. "We're going to have a tasty roasted boy today!" A little later, hungry and impatient, she went on: "Run and see if the oven is hot enough." Gretel returned, whimpering: "I can't tell if it is hot enough or not." Angrily, the witch screamed at the little girl: "Useless child! All right, I'll see for myself." But when the witch bent down to peer inside the oven and check the heat, Gretel gave her a tremendous push and slammed the oven door shut. The witch had come to a fit and proper end. Gretel ran to set her brother free and they made quite sure that the oven door was tightly shut behind the witch. Indeed, just to be on the safe side, they fastened it firmly with a large padlock. Then they stayed for several days to
eat some more of the house, till they discovered amongst the witch's belongings, a huge chocolate egg. Inside lay a casket of gold coins.

   "The witch is now burnt to a cinder," said Hansel, "so we'll take this treasure with us." They filled a large basket with food and set off into the forest to search for the way home. This time, luck was with them, and on the second day, they saw their father come out of the house towards them, weeping.

   "Your stepmother is dead. Come home with me now, my dear children!" The two children hugged the woodcutter.

   "Promise you'll never ever desert us again," said Gretel, throwing her arms round her father's neck. Hansel opened the casket.

   "Look, Father! We're rich now . . . You'll never have to chop wood again."

   And they all lived happily together ever after.
 
The End
Source : http://ivyjoy.com/
***********************************************************************************
Di sebuah desa pada zaman dahulu hiduplah sebuah keluarga bahagia. Mereka mempunyai dua orang anak yang manis, namanya Hans dan Gretel. Suatu ketika Ibu tercinta meninggal karena sakit. Sejak kematian sang Ibu, mereka selalu bersedih sepanjang hari.

Agar mereka tidak bersedih, kemudian Ayah mengambil Ibu baru untuk menghIbur mereka. Ternyata Ibu baru ini sangat jahat dan memperlakukan mereka dengan buruk. Dari pagi hingga petang mereka disuruh terus bekerja dan hanya diberi makan satu kali.

Musim kemarau pun tiba, dan mereka tidak mempunyai makanan apa-apa. Sang Ibu menyuruh anak-anak untuk dibawa ke hutan dan meninggalkannya di sana.

Ayah sangat terkejut mendengarnya ” Bicara apa kau, apa kau ingin anak-anak mati ?! “
” Kau ini memang bodoh, kalau kita tidak melakukannya, kita semua akan mati !”

Sementara itu dari balik kamar , Hans dan Gretel mendengarkan pembicaraan mereka. Mereka ketakutan dan Gretel pun menangis.
Akhirnya Ayah tidak bisa berbuat apa-apa karena istrinya terus mendesaknya.
“Ah… apa kita akan mati di hutan ?! “
” Ssst.., aku punya ide bagus, ” ucap Hans. Lalu ia keluar rumah dan mengumpulkan batu-batu kecil putih yang bila terkena cahaya bulan, akan bersinar.

Pada esok paginya dengan berteriak keras, Ibunya membangunkan Hans dan Gretel. Sebelum berangkat ia memberikan sepotong roti kepada mereka. Setelah itu semua berangkat menuju hutan.

Sambil berjalan Hans membuang batu kecil putih satu per satu yang ada dalam kantongnya.
Karena berjalan sambil menoleh ke belakang, Ayah menjadi curiga.
” Sedang apa, Hans ? “
” Aku sedang memandang kucing yang ada di atas rumah,” jawab Hans berbohong. Lalu tibalah mereka di tengah hutan.

Ayah dan Ibunya pergi ke hutan yang lebih jauh lagi untuk menebang kayu dan meninggalkan mereka.
Rasa sedihpun berganti gembira setelah di tengah hutan Hans menemukan seekor kupu-kupu dan Gretel membuat kalung dari bunga. Mereka sangat gembira karena bisa bermain-main bersama teman baru mereka seperti kelinci, bajing dan burung-burung kecil.

Tanpa terasa waktu berlalu, mataharipun mulai tenggelam dan hari mulai gelap. Suara burung-burung yang indah kini berganti dengan suara angin yang berdesir.

Gretel menangis tersedu-sedu karena takut. Hans berkata menenangkan, “Jangan menangis, jika cahaya bulan muncul, kita pasti akan pulang dengan selamat “.

Tak lama kemudian, dari sela-sela pohon muncullah cahaya bulan yang bersinar dengan terang. Hans segera mengajak Gretel untuk pulang ke rumah.

Hans memegang tangan Gretel dan menyusuri jalan di hutan tanpa ragu-ragu.

” Kak, kok bisa berjalan tanpa bingung di hutan yang gelap begini?”
“Oh… batu kecil putih yang kujatuhkan ketika kita datang, bersinar karena kena sinar bulan dan itu akan menolong kita pulang ke rumah.”

Tibalah mereka di rumah, sang Ibu heran melihatnya dan mencari tahu bagaimana mereka bisa sampai di rumah dengan mudah. Ketika ia membuka pintu, ia melihat batu kecil putih yang bersinar. Agar mereka tidak bisa mengumpulkan batu putih itu lagi, Ibu mengunci pintu kamar mereka. Hans dan Gretel menjadi panik karenanya.
Sebelum tidur mereka berdoa pada Tuhan, meminta perlindungan.

Keesokan harinya seperti kemarin, Ibu membangunkan mereka dan membawa mereka ke hutan. Hans tidak kehabisan akal. Dengan terpaksa ia mencuil-cuil potongan roti dan menjatuhkannya di jalan sambil berjalan.

Tapi malang, jejak yang sudah dIbuatnya susah payah dimakan oleh burung-burung kecil. Sampailah mereka di dalam hutan. Kembali Ayah dan Ibunya meninggalkan mereka dan masuk ke hutan yang lebih jauh.
Merekapun bermain-main dengan binatang-binatang di dalam hutan.

Akhirnya malampun tiba. Ketika cahaya bulan mulai bersinar mereka beranjak pulang. Dengan susah payah dicarinya potongan-potongan roti sebagai petunjuk jalan untuk pulang ke rumah.
” Kak, apa yang telah terjadi dengan potongan-potongan roti itu ?” teriak Gretel cemas.
” Mungkin dimakan oleh burung -burung kecil “
” Uhh.., kalau begitu kita tidak bisa pulang ke rumah.”

Di dalam hutan bergema suara lolongan keras. Mereka berdua amat ketakutan. “Kak, aku takut, kita akan mati !” Gretel mulai menangis.
” Jangan khawatir dik, Ibu yang ada di surga pasti menolong kita.”

Karena lelah, mereka akhirnya tertidur dengan pulas di bawah pohon. Cahaya matahari pun mulai bersinar dan mengenai wajah mereka. Hans dan Gretel terbangun dan disambut suara kicauan burung.

Tiba-tiba mereka mencium bau masakan yang lezat. Segera mereka berlari ke arah datangnya bau lezat itu. Seperti mimpi mereka melihat rumah kue, atapnya terbuat dari tart, pintunya dari coklat, dan dindingnya dari biskuit.

Cepat-cepat mereka mendekati rumah itu dan memakannya.
Tiba-tiba terdengar suara keras yang bergetar.

“Siapa itu, berani memakan rumah kue kesayanganku ?”, muncullah seorang nenek sihir tua dengan wajah menyeramkan serta mata merah yang bersinar, lalu menangkap mereka berdua.
” Hi… Hi…. Hi…. anak-anak yang lezat, sebagai hukuman karena telah memakan rumput kue kesukaanku, aku akan memakan kalian .”
Dengan kasar nenek sihir itu menyeret Hans masuk ke dalam penjara. Setelah itu ia berkata kepada Gretel,
“Mula-mula aku akan menggemukkan anak laki-laki itu, lalu aku akan memakannya. “
“Sekarang kau buat makanan yang enak biar makannya banyak ! “

Nenek sihir itu sudah tua sekali dan matanya mulai rabun. Pada saat itu Hans dan Gretel saling berpegangan tangan memberi semangat supaya mereka tabah.
” Tabahlah Gretel, Ibu yang ada di surga pasti melindungi kita “.

Suatu hari nenek mendekati penjara Hans untuk melihat apakah tubuh Hans sudah menjadi gemuk atau belum.
“Aku lapar, sudah seberapa gemuk tubuhmu, ayo ulurkan tanganmu ! “
Hans yang pintar tidak kehilangan akal, ia mengetahui kalau mata nenek sudah rabun segera dikeluarkannya tulang sisa makanan kepada nenek yang rabun lalu nenek memegangnya.

Betapa kecewanya nenek karena sedikitpun Hans tidak bertambah gemuk. Karena kecewa lalu ia bermaksud untuk memakan Gretel. Kemudian Gretel disuruh membakar roti.
Selagi Gretel menyalakan api di tungku, si nenek mencoba mendorongnya ke nyala api.

Untunglah Gretel mengetahui maksud nenek, cepat-cepat ia berbalik pergi ke depan tungku.
“Nek, aku tidak bisa membuka tutup tungku ini .”
Nenek sihir tidak sadar kalau ia sedang diperdaya Gretel dan ia membuka tutup tungku.

Tanpa membuang kesempatan, Gretel mendorong nenek ke tungku.
“Ahh… tolong…. panas ! ” teriak nenek kesakitan. Gretel tidak memperdulikan teriakan nenek malah dengan cepat ia menutup pintu tungku, lalu berlari ke arah penjara untuk menolong Hans.
“Gretel, kau berhasil. Ibu yang di surga telah melindungi kita.” Karena bahagia mereka berpelukan.

Ketika akan pergi dari rumah kue tanpa sengaja mereka menemukan banyak harta karun. Setelah itu mereka keluar rumah, tetapi malang jalan itu terpotong oleh sungai besar.

Mereka menjadi bingung. Saat itu entah dari mana datangnya tiba-tiba muncul seekor angsa cantik.
” Ayo, naiklah ke punggungku, ” ucap angsa itu ramah. Satu per satu angsa itu mengantarkan mereka menyeberang sungai.

Setelah sampai, angsa itu menunjuk-kan jalan bagi mereka berdua dari atas langit. Sampailah mereka di batas hutan.
Tanpa mereka ketahui sebenarnya angsa itu adalah Ibu mereka yang ada di surga. Angsa itu kemudian menghilang. Setelah itu muncullah Ayah mereka yang sangat cemas.
“Anak-anakku tersayang, maafkanlah Ayah. Ayah tidak akan meninggalkan kalian lagi “.

Lalu Ayah menceritakan kepada mereka bahwa Ibu tiri yang jahat sudah meninggal karena sakit. Akhirnya mereka pun hidup bahagia selamanya.

Feb 5, 2013

[FICTION] BODOH



"Apa yang kau pikirkan?"
"Tidak ada."
"Kau bohong."
"Mengapa kau bertanya seperti itu?"
"Aku hanya ingin kesungguhanmu."
"Aku tidak mengerti."
"Kau bodoh."
"Aku tidak bodoh. Aku hanya gila."
"Gila?"
"Ya. Aku gila karena kau."
"Karena aku? Apa salahku?"
"Kau tidak mengerti?"
"Ya."
"Kau telah membuat aku tergila-gila. Kau membuatku selalu memikirkanmu. Kau seperti detergen mencuci otakku dengan buih janji-janjimu. Kau ada seperti bayanganku."
"Lantas kau mau apa?"
"Aku tidak tahu."
"Aku pun tidak."
"Bodoh."
"Biar saja, kau bahkan tetap mencintaiku."
"Benar. Aku mencintaimu karena kau bodoh."
"Dasar bodoh."
"Memang aku bodoh. Namun kau mencintaiku, kan?"
"Benar. Aku mencintaimu karena kau pun bodoh."

Feb 4, 2013

[FICTION] KELERENG YANG SIPIT





"Gimana penampilan Sera sekarang, Ma? Udah oke belum?" tanya Sera ragu. Mata sipitnya terus memandangi cermin di hadapannya sambil sesekali memutar-mutar tubuhnya. Mama Sera tertawa dan bangkit dari duduknya. 

"Cantik sekali Sera. Sudah pantas anak Mama memakai seragam putih abu-abu, ya," jawabnya lembut. Sera tersenyum.

"Yuk, Ma, sarapan. Abis itu biar Sera berangkat sendiri saja,ya."

Mama sera mengernyitkan dahi, "Beneran, Ser? Tumben banget lho. Nggak apa-apa nih?"

"Iya, Ma. Sera kan udah gede, masa mau diantar-jemput terus. Malu, Ma. Apalagi sekarang teman-teman Sera juga udah berangkat sendiri. Keren tau, Ma," cerocos Sera. Seperti biasa, mamanya hanya tertawa melihat tingkah putri tunggalnya itu.

Hari ini adalah hari pertama Sera mengenakan seragam SMA. Dengan penuh rasa bangga, ia berjalan keluar kompleks perumahannya. Bagaimana ia tidak bangga, di lengan kanannya tertempel badge SMA unggulan di kota Yogyakarta.
Hup, hup, hup ! Kaki mungil Sera lincah menghindari beberapa genangan air yang siap mengotori sepatu hitamnya.

"Uh, kenapa sih hujan mulu akhir-akhir ini," gerutu Sera tak senang, "Aduh!!" Tiba-tiba ia menubruk seseorang. Sera terhuyung seperti orang mabuk. Tak sampai ia terjatuh, ada tangan kokoh yang menopang tubuhnya dan membuat Sera tegap berdiri kembali.

"Waaaaaa! Hampir saja. Maaf ya, aku ga sengaja, sumpah aku ga lihat jalan tadi. Tuh, banyak kubangan air jadi aku ...." Sera tak sanggup melanjutkan ucapannya. Ia hanya menunduk. Perasaan takut, malu, pasrah, dan entah apa berbaur menjadi satu.
Detik pun berlalu namun tak ada suara lagi selain deru kendaraan yang melintas.

"Eh, kok Kakak ini diam saja, ya? Aduh jangan-jangan dia marah banget," gumam Sera dalam hati. Tak lama ia paksakan kepalanya untuk mendongak. Mata sipitnya beradu dengan mata kelereng laki-laki yang tak sengaja ia tabrak tadi. Kembali hening.

Sera merasa seperti dialiri listrik ketika laki-laki itu tersenyum simpul dan menepuk-nepuk pundak Sera.
Laki-laki itu memasukan tangan ke kantong celana seragamnya lalu melenggang pergi. Tanpa mengucapkan sepatah katapun untuk Sera.
Ganteng. Cool. Muka Sera memerah mengingat hal itu namun segera ia menggelengkan kepalanya dan kembali menyusuri jalan menuju sekolahnya.

***

Berserakan sekali meja belajar Sera. Buku tulis terbuka, tak ditulisi. Buku paket terbuka, tak dibaca. Spidol warna-warni terhampar, tak tersentuh sama sekali. Sera termangu dengan pulpen diketuk-ketukan pada kepalanya. Seperti banyak pikiran saja. Tapi memang benar, semenjak kejadian tadi pagi, hatinya seperti disetrum dan otaknya tak berhenti memikirkan laki-laki bermata kelereng itu.

Tak ada habisnya ia berpikir, kenapa ia begitu misterius. Kenapa tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Kenapa senyumnya begitu menawan. Dan kenapa dia bisa membuat Sera merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

"Ah, anak mana ya? Sayang banget tadi seragamnya tertutup jaket," ucap Sera perlahan, "ganteng banget. Eh, ganteng aja deh. Hihi."

“Astaga, parah banget. Masa iya sih aku suka sama orang yang baru aku temui. Ga oke banget lagi, pake acara nabrak segala.”

“Ga mungkin, ga mungkin, ga mungkin. Ga mungkin aku suka sama Kakak itu, ya kan?”

Astaga, Sera benar-benar mabuk kepayang dibuatnya. Sampai-sampai lampu berbentuk bunga matahari di hadapannya pun ia jadikan kawan bicara.

Di waktu yang sama, laki-laki yang menghantui pikiran Sera tengah berbaring di kasur empuk miliknya. Lukman, nama laki-laki itu, menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan nanar. Ia tak menyangka dapat secepat itu jatuh cinta kepada seorang gadis, bahkan namanya saja belum ia ketahui. Rambut hitam yang dikuncir rapih, mata yang sipit, bibir yang mungil, melekat erat dalam ingatannya.

“Kapan aku bisa bertemu lagi, ya? Benar-benar pertemuan yang konyol,” batin Lukman, “sudahlah, saatnya tidur.”

***

Siang yang mendung. Sera berjalan ke shelter dekat sekolahnya. Rapat guru membuat ia dapat pulang lebih awal. Namun kenapa dia sendirian? Bukan karena ia tak punya teman, tetapi cuma Sera yang harus naik Trans Jogja dari shelter itu. Teman yang lain kebanyakan pulang naik angkutan umum yang lewat di depan sekolahnya. 

Rupanya langit tak bersahabat dengannya kali ini. Seperti telah dikomando, hujan turun rintik-rintik. Sera mempercepat langkahnya. Dalam hitungan detik, hujan deras mengguyur bumi Jogja. Terpaksa Sera berlari-lari sambil meyumpahi hujan yang menjadi kambing hitam itu.

“Parah nih! Ujannya ga bilang-bilang sih. Tau gitu kan aku bawa payung tadi. Huh, jadi basah kan ini seragam, padahal baru aja dipakai sehari. Besok gimana dong? Huh!”

Sambil melepas ikat rambutnya, dia memandang sekeliling. Sera tersentak ketika menyadari ada sepasang mata kelereng yang sedari tadi memperhatikan kelakuan Sera sambil menahan tawanya.

Wajah Sera terasa panas dan secara refleks ia membuang muka ke arah jalanan.
“Aduuuuuh, ada Kakak ganteng,” ceplos Sera. Dalam hati tentunya. Takut dianggap sombong, dia menoleh lagi. Matanya mencari-cari di mana Lukman berada, namun sayang, orang yang dicari sudah berpindah tempat entah kemana. Terbersit rasa kecewa dalam diri Sera.
Mungkin jika Lukman tidak menepuk pundak Sera, Sera tidak akan pernah menyadari kehadirannya. Ya, Lukman memang berpindah tempat, bukan entah kemana, namun ia sudah duduk manis di belakang Sera.

Hei, Kakak!” seru Sera. Semua mata yang ada di shelter itu serentak menoleh ke sumber suara. Kontan ia memasang wajah polos tak berdosa, seolah-olah bukan dia penyebabnya. Lukman mengernyitkan dahi, bingung. Ia tak mengerti dengan apa yang sedang terjadi di tempat itu.

Ketika suasana kembali normal, Sera tak segan mengawali pembicaraan.
“Eh, Kak. Maaf ya soal yang kemarin. Aku ga sengaja lho, Kak. Beneran deh. Tapi makasih banget ya, Kak, aku ga jatuh karena ditahan sama Kakak,” cerocos Sera. Lukman terdiam. Ia hanya memperhatikan mimik Sera dan mencoba menangkap apa yang dikatakannya.

“Ah! Apa yang dikatakan gadis sipitku ini? Tuhan, beri aku kesempatan kali ini saja untuk bisa mendengar dan berbicara! Tolong. Bahkan hanya untuk sekedar berkenalan saja dengannya!” pekik Lukman dalam hatinya. Perasaan kecewa, sedih, dan sesal berkecamuk dalam dada. 

“Kenapa aku diberi keterbatasan seperti ini, Tuhan? Kenapa Engkau tak mengerti aku?”

“Kak, kok diam aja? Kakak marah? Eh, nama Kakak siapa?” tanya Sera. Lukman tetap diam, tak bergeming sedikitpun. Mata kelerengnya seketika terlihat sayu.

Seorang wanita separuh baya tergopoh-gopoh menghampiri Lukman. Dengan gerakan tangan sebagai bahasa isyarat, wanita yang tak lain adalah ibunya itu menarik lembut tangan Lukman. Mereka berjalan dan menaiki bus yang baru saja datang. Sera terpana melihat peristiwa itu, sadar bahwa ada sesuatu yang tersirat pada diri Lukman. Mata sipit Sera dan mata kelereng Lukman terpaut dalam. Tak terlepas sampai pintu bus ditutup. Sera dan Lukman tahu bahwa ada keterbatasan pada perasaan mereka. 

Tetapi yang mereka tidak tahu adalah  jika mereka tetap akan bisa bersatu suatu saat nanti. Satu lagi, Sera tidak tahu bahwa bus yang akan membawanya pulang ini akan menjadi headline koran keesokan harinya dengan judul "Kecelakaan Maut Trans Jogja".

*                                                                                                                                                                       

Feb 1, 2013

[FICTION] TAJAM




Panas matahari pagi yang cukup menyengat tubuh sudah lama kuabaikan. Warna gelap yang mendominasi tubuhku ini menjadi penanda bahwa aku bersahabat karib dengan Sang Surya. Satu jam lamanya aku berdiri di tempat biasa aku mulai bekerja, di dekat tangga salah satu jembatan penyeberangan yang melintang di kota metropolitan ini, menunggu bus datang. Memang banyak bus kota yang sepi, lalu lalang di hadapanku dengan kondektur yang tak lelah berteriak mencari penumpang. Namun bukan itu yang aku cari. Ya, aku menunggu bus kota yang penuh sesak dengan manusia berkemeja licin dan wangi. 

"Komdak, Blok M, Blok M !!" Parau sekali suara kondektur itu, pikirku. Aku menyipitkan mataku dan memandang bus itu dari tempat aku berdiri. Dari kejauhan tampak sekali bus itu seperti kaleng yang sudah tidak muat lagi menampung ikan sarden di dalamnya.
"Kesempatan bagus," gumamku dalam hati.  
Aku berlagak merapikan polo usangku yang sudah basah oleh keringat dan melambaikan tangan ke arah jalan. Bus berhenti, tapi tidak tepat di depanku. Aku terpaksa berlari-lari kecil menyambut pintu belakang. 
"Sopir bus sialan," gerutuku.
Seperti yang sudah aku duga, bus yang aku tumpangi ini benar-benar sesak. Tidak ada ruang lagi untuk sekedar menggerakan lutut jika pegal. Orang-orang seakan tidak peduli satu sama lain dan semua diam entah apa yang dipikirkan.

Mataku mulai berkeliaran, bak anak rusa yang kelaparan di tengah padang rumput. Mencari sesuatu yang dapat memenuhi hasrat tangan lincahku ini.  
Aku terpaku pada seorang pria berperawakan kecil dengan kemeja putih berdasi, dan tas ransel yang ada di punggungnya. Dia berdiri membelakangiku, tak menyadari bahwa ada barang berharga menyembul dari balik saku belakang celananya.
Dengan ekor mata dan tangan yang sudah terlatih, aku pun mulai bekerja.
Hup. Dompet hitam tebal yang sedari tadi menggejolakan jiwaku, kini sudah berpindah tangan. Tangan siapa lagi kalau bukan tanganku.
Segera aku menggedor atap bus. Bus mulai menepi dan dengan indahnya aku melompat keluar dan berlari ringan menuju halte di sebelah warung kopi. Aku tersenyum simpul membayangkan rejeki yang baru saja aku dapat. Rejeki? Ya, tentu saja. Aku tidak peduli apakah itu haram atau tidak. Persetan dengan hal itu, yang penting aku dan anakku bisa makan hari ini.

Tak ingin aku menghabiskan cukup banyak waktu hanya untuk duduk di halte. Rasanya ingin kembali mengais rejeki, tetapi aku kasihan kepada anak semata wayangku yang pasti sedang menunggu kehadiranku dengan makanan sekadarnya. Tak sampai hati aku meninggalkannya terlalu lama.

***

Lelaki beruban dan berjambang tipis itu mencengkeram erat besi di atasnya. Matanya sayu, memandang kosong ke jendela bus yang ditumpanginya. Namun seketika berubah menjadi seperti mata pisau ketika ia melihat seorang wanita naik dan berdiri di sebelahnya. Dari pakaiannya, wanita muda itu nampak sebagai karyawati di salah satu bank ternama di kota ini. 

Aku mengawasi gerak-gerik lelaki itu, yang tak lain adalah ayahku sendiri, dari bangku paling belakang.
Tangan ayahku mulai berkeliaran dan dengan lihainya dia mengalihkan perhatian wanita itu dengan berpura-pura bertanya apakah rute bus ini sesuai dengan tujuannya.
Entah kenapa aku merasa was-was dan tegang. Bagaimana kalau tidak berhasil? Bagaimana kalau Ayah tertangkap? Bagaimana, bagaimana, bagaimana ...
Dan pertanyaanku terjawab! Tanpa terduga, seseorang yang duduk di dekat sana menampik tangan ayahku. "Hei, kau! Pencopet!"
Penumpang yang lain seolah-olah bertranformasi menjadi patung yang hidup. Wanita incaran ayahku kaget, aku terhenyak, apalagi ayahku. Dia terlihat pucat pasi, tak berbeda dengan orang yang mengidap albino.
"Ah ti-tidak, Pak. Sa-saya..." belum selesai ayahku berbicara, pria yang berhasil memergoki ayahku berdiri dan memiting tangan ayahku ke belakang. Dia mengeluarkan borgol dari tas pinggangnya. Oh, ternyata seorang polisi! 
Bus perlahan menepi, ayahku digiring keluar bus. Kasar sekali polisi itu kepada ayahku. Aku terdiam, kacau, bingung harus bersikap apa. 
"Polisi jahat, mau kau apakan ayahku, hah? Jangan kasar! Awas kau, dipukulnya baru tau rasa!" 
Ah, tapi aku hanya bisa memaki dalam hati. Aku, aku, aku harus bagaimana? Di bawa kemana Ayah? Aku sekarang sendiri! 

***

"Bagaimana Ayah sekarang ya? Apakah dia masih hidup? Malang benar ya, padahal aku masih membutuhkan Ayah pada saat itu."
Aku menghembuskan nafas. Bukan nafas lega tentunya. Entah mengapa tiba-tiba pikiranku melayang, kembali ke masa-masa yang sangat menyakitkan. Masa di mana aku harus berpisah secara paksa dengan ayahku. Ya, aku masih berusia 12 tahun ketika aku sudah harus belajar bagaimana cara bertahan hidup di dunia yang keras ini. Ketika aku hanya hidup berdua dengan ayahku. 
Kata orang, ayahku jahat. Kriminal. Memang, pekerjaannya seperti itu, tapi aku tetap menganggapnya sebagai pahlawan superku. 
Bagaimana mungkin seorang piatu berusia 12 tahun mengkhianati orang yang setia mengasuhnya?
Bahkan ketika ia yang membuatku hidup seperti ini juga?
 
Aku yakin, ayahku tidak ingin aku menjadi sepertinya. Mengikuti langkahnya sebagai seorang penjahat. Tapi ada daya, kehidupanlah yang memaksaku untuk tetap berjalan di atas kerikil tajam. Aku butuh pekerjaan, tapi tak ada yang mau menerimaku. Menjadi kuli sekalipun. Apakah aku ini hina?
Jika negara mau bertanggung jawab atas kesejahteraan seluruh rakyatnya, tentu aku akan menajdi warga negara yang baik. Tidak seperti ini.  Sudahlah, malas sekali aku memikirkan hal itu. Seperti orang bodoh yang berlagak pintar. 

Matahari bertambah terik ketika aku tersadar dari lamunan panjangku. Aku bangkit dari kursi besi yang kurasa telah panas karena kududuki hampir 1 jam ini. Kulambaikan tanganku ke angkutan umum yang melintas. "Ayah pulang sekarang. Tunggu Ayah, Nak," ucapku dalam hati.

*
Copyright © 2014 WELCOME TO MY WORLD !