Apr 9, 2013

[DONGENG] NENEK HERBAL



NENEK HERBAL

Ada sebuah desa yang terpencil, di pinggir hutan pinus. Desa itu letaknya sangat jauh dari kota. Sebagian besar penduduk desa itu bekerja sebagai petani, sehingga sawah terhampar seperti permadani berwarna hijau kekuningan. Indah dan sejuk sekali. Robin tinggal bersama ayahnya yang mempunyai sawah yang cukup luas. Ia rajin membantu ayahnya, apalagi jika musim panen telah tiba.
Suatu ketika, desa itu dilanda musim kemarau yang lama. Amat sangat lama. Padi-padi yang siap dipanen menjadi kering dan mati. Sawah-sawah yang tadinya berwarna kekuningan kini berubah menjadi cokelat dan retak-retak. Penduduk mengeluh karena air pun sulit didapat. Banyak yang terkena penyakit kulit karena sudah berhari-hari mereka tidak mandi atau sekedar membersihkan tangan dan kaki mereka.
Tangan mungil Robin mencoba membantu ayahnya yang sedang memompa air sekuat tenaga. Namun sayang, tidak ada setetes airpun yang didapat.
"Ini bahaya, sudah tidak ada air yang tersisa kali ini, Robin," ujar ayah Robin kepadanya.
"Lalu apa yang harus kita lakukan, Ayah? Apakah kita harus ke kota untuk mendapat bantuan air?"
"Terlalu jauh, Robin. Satu minggu berjalan kaki ke sana pun tidak akan sampai," jawab ayah Robin.
Robin dan ayahnya duduk termangu sambil mencoba mencari jalan keluar.
"Ah, bagaimana jika Ayah pergi ke pondok yang ada di tengah hutan. Siapa tau nenek penghuni pondok itu bisa membantu," usul Robin.
Ayahnya mengernyitkan dahi. "Nenek Herbal maksudmu, Nak? Dia seorang penyihir jahat. Kita tidak mungkin ke sana meminta bantuan."
"Benarkah? Aku tidak percaya dengan adanya penyihir jahat!" bantah Robin.
Ayahnya hanya mengangkat bahu. "Sudah petang, Nak. Ayo kita kembali ke rumah saja," ajak ayah Robin.
Memang benar, di tengah hutan pinus terdapat sebuah pondik yang konon dihuni oleh seorang penyihir jahat. Cerita itu sudah lama beredar di desa sehingga tidak ada satu orang pun yang berani mencari kayu sampai ke tengah hutan. Ih, mengerikan sekali!

Keesokan harinya, ketika matahari baru menampakan separuh wujudnya, Robin sudah berlari-lari kecil menuju hutan pinus. Hei, apa yang akan dia lakukan? Rupanya Robin sudah tidak tahan lagi dengan apa yang kekeringan di desanya. Badannya pun sudah gatal sekali karena sudah lama tidak mandi. Ia kesal dengan orang-orang di desanya yang mudah termakan cerita yang belum pasti benar, termasuk ayahnya.
Sesampainya di tengah hutan, Robin melihat ada sebuah bangunan kecil. Ya, sebuah pondok. Ia mulai teringat akan cerita orang-orang di desanya dan itu membuatnya menjadi sedikit merinding. “Ah, itu hanya mitos!” ujarnya dalam hati, berusaha menenangkan diri. Robin mengendap-endap di balik semak dan pepohonan, memperhatikan keadaan sekeliling. Ternyata pondok itu cukup indah. Berwarna kuning dengan kain penutup jendela berwarna merah jambu, senada dengan kusen yang berwarna merah marun.  Ada taman kecil yang penuh dengan bunga mawar yang masih menguncup. Di sisi lain pondok ada pula tanaman-tanaman hijau yang cukup rindang. Anehnya, musim kemarau sepertinya tidak mampir ke tengah hutan ini.
Robin terlalu sibuk mengagumi pondok itu sehingga ia tidak sadar jika Nenek Herbal, penunggu pondok itu,  berdiri di sampingnya. Nenek Herbal menepuk pundak Robin lembut, “Ayo makan kue bersama Nenek, Nak.”
Robin sangat kaget, mukanya pucat pasi.  “Eh, emmm, anu ... saya ... maaf ...” ujarnya terbata-bata.
Nenek Herbal terkekeh, “Tak usah takut, Nak.”
Robin tersenyum mendengar perkataan Nenek Herbal dan mengikutinya masuk ke dalam pondok. Di sana ia disuguhi berbagai macam kue dan secangkir teh panas yang harum. Hmmm, Nenek Herbal baik hati sekali. Robin juga baru tahu jika Nenek herbal sangat ahli dalam membuat ramuan untuk obat.
“Siapa nama kamu, Nak? Tumben sekali ada orang yang mau berkunjung ke sini,” tanya Nenek Herbal.
“Robin, Nek. Sebenarnya Robin ingin minta tolong,” ujar Robin sambil menyeruput teh panasnya itu. Kemudian Robin menceritakan maksud kedatangannya dan tentang orang-orang di desanya yang mengira bahwa Nenek Herbal adalah penyihir jahat.
Nenek Herbal tersenyum. Ia berkata, “Oh jadi begitu rupanya. Baiklah, nanti aku akan buatkan ramuan agar mata air tidak kering, paling tidak sampai turun hujan lagi. Satu lagi, akan kubuatkan juga ramuan obat penyembuh penyakit kulit.”
“Terima kasih banyak, Nenek Herbal! Nenek baik sekali. Seharusnya ayah juga percaya dengan perkataanku tentang Nenek,” kata Robin girang. Setelah ia puas berkunjung ke rumah Nenek Herbal, ia pamit pulang. Sepanjang perjalanan Robin bersenandung riang.
Tiba di desa, ia memberitahu ayahnya tentang kabar baik ini. Ayah Robin langsung mengajak penduduk untuk berkumpul dan mengajak beberapa orang untuk mengunjungi Nenek Herbal.
Sejak saat itu Nenek Herbal tidak ditakuti oleh penduduk dan desa mulai menghijau lagi seperti sebelum musim kemarau datang.




Apr 1, 2013

[FICTION] LOGISKAH?

"Apaan sih lo, Son! Stop nge-bully gue dong plis kali ini aja!" Aku terpaksa membentak Sony yang tidak ada habisnya menggodaku. Memang benar jika kesabaran ada batasnya, pikirku. Aku menghentikan langkahku kesal dan Sony pun mengikutinya. Aku menatap tajam ke arahnya ketika kudengar suara tawa cekikikan yang sangat menyebalkan itu.
"Sori, Ren. Muka lo lucu abis kalo lagi nahan marah kayak tadi. Jadi gue ketagihan. Hahahaha," katanya di sela-sela tawa.
"Ga lucu tau! Udah sana lo di kelas aja. Gue ke kantin sendiri aja bisa kok. Bete gue sama lo!" sentakku, lalu berlari ke kantin, tak peduli dengan Sony yang terus memanggil namaku.
Hari ini mungkin hari sial, pikirku. Aku mengingat-ingat kejadian tadi pagi, ketika aku terlambat masuk kelas Fisika. Kurasa baru lima menit terlambat, tapi sialnya aku lupa jika hari ini ada kuis. Terpaksa aku merelakan simbol '-' menghiasi kolom nilaiku dan harus mengikuti kuis susulan di kelas lain. Belum selesai, itu baru awal!
Kupikir semuanya akan baik-baik saja sampai aku baru menyadari bahwa buku tugas Kewarganegaraanku tertinggal di rumah! Oh Tuhan, apa lagi? Cercaan dari guru killer sudah aku terima pagi ini. Dari teman-teman? Oh, terlebih dari Sony yang tak iba untuk meledekku. Aku benci hari ini!
"Aaaaaa! Sony! Ini gimanaaaaaa!" Cairan dingin menggugahku dari lamunan. Kalian tahu? Sony, kekasihku yang sialan itu, berulah lagi. Es jeruk yang baru kuseruput sedikit, entah sengaja atau tidak, tersenggol olehnya dan mengguyur seragamku. Oh tidak! Aku ingin menciut dan menghilang dari muka bumi ini. Sekarang juga!

* * *

Sony menggenggam tanganku erat. Aku merapatkan tubuhku ke tubuhnya yang harum.
"Jadi, kapan lo pergi?" tanyaku perlahan.
"Besok," jawabnya singkat. Ada sebuah tekanan berat di sana.
"Secepat itu lo ninggalin gue," gumamku lirih.
Sony melepaskan genggamannya yang selalu mampu membuatku merasa sangat nyaman. Dia mendorong kepalaku. Menjauhkan perlahan dari bahunya yang kekar.
"Sori, gue ga bisa kayak gini terus. Gue  sadar kalo gue salah besar. Seharusnya kita ga sampai kayak gini, ini sudah terlalu jauh, Ren. Kepindahan gue besok mungkin bisa jadi jalan keluar yang baik buat kita," ujarnya getir, "gue pulang sekarang, ya."
Sony bangkit dari duduknya, merogoh saku jinsnya. Mengambil kunci motor.
"Jadi selama ini lo anggap gue apa? Kenapa lo selalu menyangkal? Apakah cinta terlalu memilih? Apakah gue ngga berhak merasakan cinta itu? Gue rasa itu ngga adil!" teriakku menahan emosi.
"Cukup, Renaldi! Seharusnya lo lebih bisa berpikir logis! Terkadang cinta ngga cuma pakai perasaan doang, tapi otak, pikiran yang logis bisa ikut membantu supaya hati tidak terlalu bebas berkelana!"
Aku terdiam, memendam setiap emosi yang sudah ribut ingin keluar. Aku dan Sony saling menatap, entah kapan aku bisa melihat tatapan itu lagi.

*

Mar 26, 2013

CERBUNG TAK BERJUDUL PART 2

Cerita sebelumnya : CERBUNG PART 1



"Aduh! Bus gue!" pekik Astri kebingungan. Ia melihat jam di handphonenya, sudah pukul 08.45. Itu berarti kuliah jam pertama dimulai 15 menit lagi, padahal jarak dari halte ke kampus lumayan jauh dan harus transit dahulu. Terpaksa ia harus merelakan waktunya untuk menunggu bus lain datang. Ia memaki kesialannya hari ini. Ibu pengemis dan anaknya tak luput dari makiannya, malahan mereka dianggap menjadi penyebab semua hal buruk yang terjadi hari ini. Astri tidak menyadari bahwa sedari tadi ada dua pasang mata yang memperhatikannya dari jauh.

* * *
Rasa keegoisannya muncul tanpa disadarinya, memenuhi otak.Mmembuatnya tenggelam dalam keangkuhan yang sempurna. Menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi, menjadi satu-satunya perisai yang aman untuk saat ini. Sepertinya astri tidak ingin membuat alasan lain, apalagi alasan yang akan menyudutkan dirinya sendiri. Jadi, disinilah Astri sekarang. Berperang dengan sisi putih dan bergabung dengan sisi hitam.

* * *
Astri menghela nafas panjang, seakan ingin melepaskan beban pikiran yang sudah terlalu berat untuk terus disimpan dalam memori otaknya. Waktu terus bergulir dan jam kuliah pertama sudah Astri  lewatkan. Ia terlalu sibuk bergumul dengan kegalauannya. Bukan masalah cinta, memang, namun tentang kepribadiannya.
Ya, tumbuh dalam keluarga yang tak utuh membuat sisi keegoisan dan keangkuhannya terlihat lebih mendominasi di setiap tingkah lakunya. Ia pun tak mengerti mengapa hal ini terjaadi kepada dirinya. Tak pernah sekali pun ia merasakan hangatnya belaian kasih dari seorang ibu. Bahkan ia membenci sosok ayah yang seolah-olah telah berjasa merawatnya, padahal sama sekali tidak. Kasihan.

Astri memutuskan untuk masuk kuliah pada jam terakhir saja, tak peduli lagi dengan dering telepon dari Jono yang dilanda kecemasan.
Astri melihat jam yang ada di pergelangan tangannya, jam berwarna putih yang dihiasi aksen diamond itu masih menunjukkan beberapa jam lagi sebelum jam kuliah terakhir, dengan malas Astri membimbing langkahnya ke kantin, tempat dimana dia bisa berteman dengan segelas jus mangga kesukaannya. Astri teringat akan dering handphone yang sedari tadi diacuhkannya, mengambil handphone berbentuk kotak itu, yang lagi-lagi dibalut dengan casing yang beraksen diamond, dan melihat nama yang tertera diatas sana. 'Jon'. Perlahan dia menekan gambar telepon berwarna hijau dan menempelkan handphonen itu di telinganya.
"Lo dimana Jon?" tanya Sstri setelah sebuah suara menjawab telponnya.
"Gue yang harusnya nanya, lo dimana? tadi gue lihat di kelas lo gak ada"
"Gue malas masuk, gue dikantin sekarang, lo kesini ya."
"Bentar lagi Pak Android masuk, bisa mampus gue ntar"
"Yaudah kalo gitu. Thanks, Jon."
Tampaknya Jono berubah pikiran. Ini terlihat dari langkahnya yang tidak menuju kelas, namun berkhianat menuju kantin. Jiwanya seperti pasir besi yang ditarik oleh magnet, Astri.
Di bangunan setengah terbuka yang tengah ramai oleh mahasiswa korban kelaparan akut, Astri duduk menyendiri di pojok ruangan. Masih ditemani oleh jus mangganya yang tersisa setengah gelas. 
"Woy, As! Gila lo," sapa Jono asal.
"Kenapa lo, Jon? Tiba-tiba dateng kayak orang kesetanan gitu," jawan Astri heran, "katanya ada makul Pak Android? Bolos lo?"
"Iya, hehehe. Eh kenapa As? Ada yang mau diceritain?" selidik Jono.
Astri mendorong gelasnya menjauh, dan menyilangkan tangannya di atas meja. Wajahnya condong ke depan, suaranya sengaja dipelankan seolah-olah tak mau orang lain mendengarkan pembicaraan mereka.
"Lo inget cerita gue tentang ibu pengemis tadi, Jon?" bisik Astri. Jono mengernyitkan keningnya, raut mukanya berubah cemas.
"Iya gue inget. Kenapa lagi As? Lo ketemu lagi sama mereka?"
"Iya, Jon. Tadi pagi waktu gue lagi nunggu di halte, gue merasa ada yang ngeliatin gue dari jauh. Gue coba menajamkan mata kucing gue, Jon, dan lo tau? Ibu itu ternyata ngikutin gue! Digendong juga tuh anak bayinya."
Air muka Jono sejenak memucat, namun segera ia merubah sikapnya menjadi cool. Tapi terlihat sangat maksa.
"Dan gue semakin memicingkan mata gue, gue berusaha berakomodasi semaksimal mungkin, buat mastiin penglihatan gue yang ampuh ini, dan ternyata.." Astri terdiam sejenak, membiarkan perkataannya tergantung. JJono semakin cemas, namun tetap mempertahankan 'cool style' yang terlihat semakin aneh itu.
"Dan ternyata apa?" akhirnya Jono bertanya.
"Dan tenrnyata yang gue lihat itu adalah ibu-ibu yang gendong anak, tapi gak lusuh sama sekali tahu gak?"
"Terus? Loe berhalusinasi gitu?”
"Ya iyalah, masa tiba-tiba itu ibu berubah muka trus jadi gak lusuh lagi dalam waktu sekejap sih, bego lo! " Kata Astri geram sambil menjitak kepala Jono.
"Yaelah, gue kirain beneran, loe udah kayak nyeritain cerita horor tadi, dodol!" kata Jono sembari mengacak-acak rambut Astri.
Astri terdiam, dilihatnya jono yang terkekeh karena ceritanya yang diangggap konyol itu. Astri hanya bisa memanyunkan bibirnya.
"Itu karena lo terlalu memikirkan masalah ibu itu, lo anggap tu ibu masalah buat lo, padahal itu semua tergantung lo, mindset lo yang salah."
"Iya, sih, Jon. Tapi kan, gue ....." Omongan Astri terhenti, bukan karena ia tak enak hati, namun karena Astri merasa tak mempunya alasan yang tepat untuk diutarakan. Keduanya terdiam sejenak.
Jono menyandarkan tubuhnya ke kursi platik yang tetap tegar menopangnya. Diam-diam ia menghela nafas lega, melepas sejanak rasa khawatir yang sempat menyelimutinya selama telinganya menyimak cerita Astri.
"Oke, Jon. Gitu aja sih, hahahaha. Gue cabut dulu, udah hampir mulai nih jam terkahir kuliah gue," ujar Astri sambil menyampirkan tas impor terbarunya itu.
"Ga waras lo, As," canda Jono.
"Sialan!" Sejurus kemudian jitakan ringan mendarat dengan sukses di ubun-ubun Jono. Mereka terkekeh sebelum Astri melangkah pergi meninggalkan kantin kampus.
"Ah, cepat atau lambat lo bakal tau yang sebenarnya, As. Gue nggak tega juga kalo mereka terus menerus terjebak dalam kondisi begini."

* * Bersambung . . . 

(Author: Indra Ratnasari N , Rizky Wahyuni Ritonga)

Mar 5, 2013

CERBUNG TAK BERJUDUL PART 1



Hello again bloggies ;;)
Hari ini aku sama teman aku, Rizky Wahyuni Ritonga, berniat bikin cerita bareng. Jadi, masing-masing dari kami bergantian buat melanjutkan cerita tanpa tahu bagaimana jalan cerita dan ending yang diharapkan. 
Dua ide digabung jadi satu, ga tau mau kayak gimana, ga tau mau sampai part berapa. Selamat membaca ya!! Please enjoy our project guys :)



Terburu-buru Astri menaiki anak-anak tangga besi jembatan penyeberangan. Peluhnya bercucuran karena terik matahari yang begitu menyengat di kota metropolitan itu. Seperti biasa, panas.
Di kelok patahan anak tangga, terlihat seorang ibu pengemis yang tengah duduk, membelai lembut seorang anak kecil. Mungkin anaknya. Baju mereka lusuh, bahkan tercium bau menyengat ketika orang-orang angkuh melewati mereka. Astri langsung menutup hidung, memalingkan muka, dan berjalan lebih cepat. Tak ingin berlama-lama berada di tempat itu, sama seperti orang-orang angkuh lainnya.

"Ah, kenapa ibu kota penuh dengan orang-orang seperti ini?" tanya astri dalam hati. Sejenak dia memalingkan muka ke tempat ibu lusuh dan anaknya itu, dilihatnya si ibu. Diam memandang mangkuk bekas mi instan yang sudah lusuh juga. terlihat kosong.
Tanpa sadar dia berhenti. "Mungkin saja,sebenarnya mangkuk itu sudah berisi penuh, tetapi dikosongkan kembali. Demi mendapatkan belas kasihan orang lain," gumam Astri dalam hati.
Pandangannya lalu beralih dari sang ibu ke anak perempuan yang diletakkan diatas sisa-sisa kardus. Anak itu tak kalah lusuh. Dimukanya banyak coretan coretan cokelat. Entah sudah bekas apa saja.

Tiba-tiba hatinya merasa iba. Tapi, "Astri! Sejak kapan kamu menjadi sok peduli seperti ini? Apakah kamu ingin terlambat kuliah hanya karena waktu yang terbuang sia-sia di sini?" Hatinya menyuarakan demikian.
"Apa susahnya memberi sedikit saja uang yang kamu miliki untuk mereka? Sampai kapan kamu terus menjadi perempuan egois yang tak pernah punya perasaan?" Sisi lain hatinya ikut berbicara.
Astri bimbang.
"Ah! Entah apa!" teriaknya spontan, di luar kesadarannya. Orang lain yang berlalu lalang di jembatan itu menoleh ke sumber suara. Astri menutup bibirnya dan menunduk malu. Ia berlari-lari kecil menuju loket dan ikut mengantri di sana.

"Huh, masih banyak hal yang jauh lebih penting daripada ini."
Akhirnya, suara yang berada tepat ditelinga kirinya lah yang menang.
"Mereka hanya manusia malas yang tak berpendidikan. tak prlu dikasihani." Astri bergumam di antara antrian panjang itu.
"Matahari yang sudah menampakkan wujudnya di pagi hari ini sudah cukup membuatku jengah, ditambah lagi harus memikirkan orang-orang seperti itu. benar-benar membuat gila.
yang kubutuhkan hanya sedikit udara segar untuk bernafas, lepas dari orang-orang seperti ibu lush dan anaknya tadi."
Entah sudah berapa lama Astri berdiri sambil bergumam seperti itu, kemudian disadarkan dengan suara lantang yang berasal dari petugas loket.

"Mbak! Mau beli tkarcis nggak, tho? Buruan," tegurnya dengan logat Jawa yang kental.
"Oh iya, iya, Mas. Maaf. Beli satu, Mas," jawab Astri terbata.
Orang-orang yang berdiri di belakang Astri menggerutu dan tak senang dengan waktu yang semakin terulur karena kelakuan bodoh Astri. Melamun.
Astri tidak peduli. Setelah mendapatkan karcis, ia langsung masuk ke ruang tunggu. Tak ada AC. Bahkan angin enggan  mampir ke halte yang lumayan penuh dengan calon penumpang itu. Gerah sekali rasanya, padahal jam masih menunjukan pukul delapan tepat.
Astri berdiri menunggu bus. Tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahunya.
"Woy! Melamun aja lo, As," sapanya.
"Eh, Jono. Kaget lho gue. Banyak pikiran nih, makanya melamun," jawab Astri asal, disusul tawanya yang renyah.
"Ceilah kayak orang tua aja lo."
"Biarin aja kali, Jon. Suka-suka gue."
Percakapan hangat mewarnai pagi mereka yang panas. Menggantikan rasa jengah yang sedari tadi mengikuti tiap langkah Astri. Astri juga bercerita tentang si ibu pengemis dengan anaknya tadi untuk mengisi bahan obrolan. Jono menyimak penuh perhatian. Raut wajahnya berubah-ubah mengikuti cerita Astri, namun senyumnya tak pernah pudar dan kedua bola matanya menatap Astri lembut.

"Lantas, apa yang ada dipikiran lo saat itu, sampai-sampai lo melangkahkan kai lurus dan gak berbalik buat ngasih receh ke ibu lusuh itu?" Jono memberi pertanyaan sebagai tanggapan dari cerita singkat Astri.
"Gue kan udah bilang, menurut gue, mereka cuma malas yang cuma bisa mengharapkan recehan dari manusia lain."
"Terus, dengan pikiran sempit lo, lo mikirin kalo semua orang yang jadi pengemis itu orang malas?"
Astri tertegun. Dipandangnya sepasang mata yang tengah menatapnya itu. Ada pandangan meneliti di sana.
Belum sempat Astri menjawab, sebuah bangun kotak berjalan berwarna orange berjalan mendekati mereka. Bus yang mereka tunggu telah datang.
"Pemikiran lo terlalu sempit, Astri." Dengan sebuah senyuman yang sudah menggantikan pandangan mata meneliti itu, Jono meninggalkan Astri.
Astri yang terlalu sibuk dengan pandangan mata itu baru menyadari dia ketinggalan bus setelah kedua mulut bus itu menutup.

**Bersambung . . .
Copyright © 2014 WELCOME TO MY WORLD !