May 10, 2013

ONE DAY FUN DAY!

Hey Bloggies!
Hari ini aku mau cerita tentang hari ini, tentang #IniDufan Kami :D
Kalian tau Dufan? Iye, Dunia Fantasi ntu yang banyak mainannye :p
Oke skip, ga penting banget hahaha

Jadi tuh hari ini aku berempat sama teman aku sepakat ambil cuti di harpitnas ini. Sebenarnya ini buat mengganti libur hari Sabtu yang terpakai karena ada tugas dari kantor. Nah akhirnya kita ambil hari Jumat karena pas weekdays, tiket masuk Dufan cuma 125K + diskon 20% kalo bayar pake debit Mandiri/BRI. Asik bett! :3 Promo itu berlangsung sampai akhir Mei 2013 doang cuy.
Kita berlima berangkat dari rumah sekitar jam sembilan pagi, sampai di sana jam sepuluhan (CMIIW), naik Trans Jakarta dan transit dua kali.

Udah sampai sana, bayar 15K buat masuk Ancolnya. Terus bayar tiket Dufannya 125K per orang. Kalo ditotal 140K/orang. Ga mahal-mahal amat kan.
Masuk Dufan udah kaya orang autis aja ye kan, euforia masih terasa banget hahahaha :D Kita muter dulu cari wahana yang oke, pertama kita lewat Kampung Amerika dulu. Pertama nemu deh Tornado, tapi sayangnya belum dibuka tuh, masih lagi dibersihin :p


Akhirnya ke Hysteria dulu deh. Antrian ga begitu panjang, cuma nunggu 6-8 menit gitu deh. Deg-deg an banget pas udah duduk di tempatnya, dan dipasang deh pengamannya. Buset dah aku takut banget ini ga aman, soalnya cuma diceklekin doang gitu. Mampus deh mampus! Pikir gue saat itu.  Tiba-tiba ada suara angin disedot gitu cuy. Tiba-tiba lagi aku merasa ditarik ke atas sama makhluk aneh, terus dijatuhin lagi tanpa ampun. Kalo diibaratin tuh kayak kartun, yang nyawa sama badannya lepas. Aaaaa! Di sana aku cuma bisa teriak dan maki-maki, buruan selesai woy! Udah mau mati nih rasanya jantung copot. Hffff. #MemorableMoment banget. Untung cuma 3 menitan doang.



 Terus selanjutnya main Alap-Alap. --karena Tornado masih belum dibuka-- . Alap-alap sih sebenernya mirip roller coaster, tapi versi mininya. Bentuknya uler warna ijo. Imut kan. Iye! Tapi bikin teriak juga dah hmmm. Seru banget, tapi cuma 3x putaran doang.

Abis itu baru kita balik main tornado cuy. Awalnya biasa aja, masih positif thinking dan nenangin diri sendiri. Tapi pengamannya, lagi-lagi bikin aku deg-degan! Berasa siap mati aja hahahahah. Sendal sama kacamata udah gue copot, dan sambil nunggu penuh gue cuma bisa berdoa semoga gue dikasih kekuatan buat menghadapi cobaan ini. Tsah! Apa banget woy! Hahahaha :D
Nah, this is it! Udah mulai diombang-ombingkan dan diangkat naik. Mendadak aja aku berasa jungkir balik di ketinggian. Aduh mampus! Badan gue ikut dioblok-oblok di kursi. Bener-bener diputer-puter! Ngeri deh apalagi ada saat ketika stuck di atas dan posisi badan kita menghadap bawah >< Langsung ingat Tuhan aja lah, mati ya mati aja sekalian lah, jangan sampek cacat pula. Hahaha #NeverEndingFun !! XD 

Sebelum mencoba wahana lain, kita tenangin dulu tuh perut. Laper! Makan deh. Sambil ngasoooo.
Udah makan, jalan-jalan cari yang lain, berhenti dulu di depan kicir-kicir. Naik ga ya? Naik ga ya? Aduh, aku masih terbayang Tornado tadi, beuh rasanya ga sanggup deh, apalagi pas udah liat gimana kerja Kicir-kicir itu. Nyerah sebelum bertanding. Hfffff. Namanya juga #MemorableMoment ya kan~
Kita pilih nonton Treasure Land dulu deh buat relaksasi hehehehe. Biar stabil dulu jantungnya :P Bagus, keren efeknya. Kalian harus nonton! XD


Habis itu, naik Kora-kora. Enak sih, ga terlalu ekstrim banget wahananya, tapi cukup bikin tenggorokan serak juga hehehe. Terus lanjut naik bianglala dulu soalnya ada yang mau sholat dulu gitu.

Teruuuuuuuuuus, lanjut main Niagara, sama Rumah Miring, Rumah Kaca. Ga lupa kita beli Hop-hop! (y) :D Abis itu main Star War, terus Arung Jeram, terus pesawat-pesawatan, terus nonton Happy Feet 4D. Udah sore, mau tutup nih, terakhir naik Komidi Putar hehehehehe. Seru banget seharian.

Pas mau pulang, jam 7 malem, kita nonton pertunjukan gitu tapi dari air mancur. Pertunjukannya berjudul Timi Emi (Disadur dari Timun Mas kali ye) :D

Huaaaah, hari ini seru petualangan di #IniDufanKami. #NeverEndingFun deh! Capek sih, tapi ga sia-sia! :)
Yooo guys, do more fun in DUFAN !!

Apr 9, 2013

[DONGENG] NENEK HERBAL



NENEK HERBAL

Ada sebuah desa yang terpencil, di pinggir hutan pinus. Desa itu letaknya sangat jauh dari kota. Sebagian besar penduduk desa itu bekerja sebagai petani, sehingga sawah terhampar seperti permadani berwarna hijau kekuningan. Indah dan sejuk sekali. Robin tinggal bersama ayahnya yang mempunyai sawah yang cukup luas. Ia rajin membantu ayahnya, apalagi jika musim panen telah tiba.
Suatu ketika, desa itu dilanda musim kemarau yang lama. Amat sangat lama. Padi-padi yang siap dipanen menjadi kering dan mati. Sawah-sawah yang tadinya berwarna kekuningan kini berubah menjadi cokelat dan retak-retak. Penduduk mengeluh karena air pun sulit didapat. Banyak yang terkena penyakit kulit karena sudah berhari-hari mereka tidak mandi atau sekedar membersihkan tangan dan kaki mereka.
Tangan mungil Robin mencoba membantu ayahnya yang sedang memompa air sekuat tenaga. Namun sayang, tidak ada setetes airpun yang didapat.
"Ini bahaya, sudah tidak ada air yang tersisa kali ini, Robin," ujar ayah Robin kepadanya.
"Lalu apa yang harus kita lakukan, Ayah? Apakah kita harus ke kota untuk mendapat bantuan air?"
"Terlalu jauh, Robin. Satu minggu berjalan kaki ke sana pun tidak akan sampai," jawab ayah Robin.
Robin dan ayahnya duduk termangu sambil mencoba mencari jalan keluar.
"Ah, bagaimana jika Ayah pergi ke pondok yang ada di tengah hutan. Siapa tau nenek penghuni pondok itu bisa membantu," usul Robin.
Ayahnya mengernyitkan dahi. "Nenek Herbal maksudmu, Nak? Dia seorang penyihir jahat. Kita tidak mungkin ke sana meminta bantuan."
"Benarkah? Aku tidak percaya dengan adanya penyihir jahat!" bantah Robin.
Ayahnya hanya mengangkat bahu. "Sudah petang, Nak. Ayo kita kembali ke rumah saja," ajak ayah Robin.
Memang benar, di tengah hutan pinus terdapat sebuah pondik yang konon dihuni oleh seorang penyihir jahat. Cerita itu sudah lama beredar di desa sehingga tidak ada satu orang pun yang berani mencari kayu sampai ke tengah hutan. Ih, mengerikan sekali!

Keesokan harinya, ketika matahari baru menampakan separuh wujudnya, Robin sudah berlari-lari kecil menuju hutan pinus. Hei, apa yang akan dia lakukan? Rupanya Robin sudah tidak tahan lagi dengan apa yang kekeringan di desanya. Badannya pun sudah gatal sekali karena sudah lama tidak mandi. Ia kesal dengan orang-orang di desanya yang mudah termakan cerita yang belum pasti benar, termasuk ayahnya.
Sesampainya di tengah hutan, Robin melihat ada sebuah bangunan kecil. Ya, sebuah pondok. Ia mulai teringat akan cerita orang-orang di desanya dan itu membuatnya menjadi sedikit merinding. “Ah, itu hanya mitos!” ujarnya dalam hati, berusaha menenangkan diri. Robin mengendap-endap di balik semak dan pepohonan, memperhatikan keadaan sekeliling. Ternyata pondok itu cukup indah. Berwarna kuning dengan kain penutup jendela berwarna merah jambu, senada dengan kusen yang berwarna merah marun.  Ada taman kecil yang penuh dengan bunga mawar yang masih menguncup. Di sisi lain pondok ada pula tanaman-tanaman hijau yang cukup rindang. Anehnya, musim kemarau sepertinya tidak mampir ke tengah hutan ini.
Robin terlalu sibuk mengagumi pondok itu sehingga ia tidak sadar jika Nenek Herbal, penunggu pondok itu,  berdiri di sampingnya. Nenek Herbal menepuk pundak Robin lembut, “Ayo makan kue bersama Nenek, Nak.”
Robin sangat kaget, mukanya pucat pasi.  “Eh, emmm, anu ... saya ... maaf ...” ujarnya terbata-bata.
Nenek Herbal terkekeh, “Tak usah takut, Nak.”
Robin tersenyum mendengar perkataan Nenek Herbal dan mengikutinya masuk ke dalam pondok. Di sana ia disuguhi berbagai macam kue dan secangkir teh panas yang harum. Hmmm, Nenek Herbal baik hati sekali. Robin juga baru tahu jika Nenek herbal sangat ahli dalam membuat ramuan untuk obat.
“Siapa nama kamu, Nak? Tumben sekali ada orang yang mau berkunjung ke sini,” tanya Nenek Herbal.
“Robin, Nek. Sebenarnya Robin ingin minta tolong,” ujar Robin sambil menyeruput teh panasnya itu. Kemudian Robin menceritakan maksud kedatangannya dan tentang orang-orang di desanya yang mengira bahwa Nenek Herbal adalah penyihir jahat.
Nenek Herbal tersenyum. Ia berkata, “Oh jadi begitu rupanya. Baiklah, nanti aku akan buatkan ramuan agar mata air tidak kering, paling tidak sampai turun hujan lagi. Satu lagi, akan kubuatkan juga ramuan obat penyembuh penyakit kulit.”
“Terima kasih banyak, Nenek Herbal! Nenek baik sekali. Seharusnya ayah juga percaya dengan perkataanku tentang Nenek,” kata Robin girang. Setelah ia puas berkunjung ke rumah Nenek Herbal, ia pamit pulang. Sepanjang perjalanan Robin bersenandung riang.
Tiba di desa, ia memberitahu ayahnya tentang kabar baik ini. Ayah Robin langsung mengajak penduduk untuk berkumpul dan mengajak beberapa orang untuk mengunjungi Nenek Herbal.
Sejak saat itu Nenek Herbal tidak ditakuti oleh penduduk dan desa mulai menghijau lagi seperti sebelum musim kemarau datang.




Apr 1, 2013

[FICTION] LOGISKAH?

"Apaan sih lo, Son! Stop nge-bully gue dong plis kali ini aja!" Aku terpaksa membentak Sony yang tidak ada habisnya menggodaku. Memang benar jika kesabaran ada batasnya, pikirku. Aku menghentikan langkahku kesal dan Sony pun mengikutinya. Aku menatap tajam ke arahnya ketika kudengar suara tawa cekikikan yang sangat menyebalkan itu.
"Sori, Ren. Muka lo lucu abis kalo lagi nahan marah kayak tadi. Jadi gue ketagihan. Hahahaha," katanya di sela-sela tawa.
"Ga lucu tau! Udah sana lo di kelas aja. Gue ke kantin sendiri aja bisa kok. Bete gue sama lo!" sentakku, lalu berlari ke kantin, tak peduli dengan Sony yang terus memanggil namaku.
Hari ini mungkin hari sial, pikirku. Aku mengingat-ingat kejadian tadi pagi, ketika aku terlambat masuk kelas Fisika. Kurasa baru lima menit terlambat, tapi sialnya aku lupa jika hari ini ada kuis. Terpaksa aku merelakan simbol '-' menghiasi kolom nilaiku dan harus mengikuti kuis susulan di kelas lain. Belum selesai, itu baru awal!
Kupikir semuanya akan baik-baik saja sampai aku baru menyadari bahwa buku tugas Kewarganegaraanku tertinggal di rumah! Oh Tuhan, apa lagi? Cercaan dari guru killer sudah aku terima pagi ini. Dari teman-teman? Oh, terlebih dari Sony yang tak iba untuk meledekku. Aku benci hari ini!
"Aaaaaa! Sony! Ini gimanaaaaaa!" Cairan dingin menggugahku dari lamunan. Kalian tahu? Sony, kekasihku yang sialan itu, berulah lagi. Es jeruk yang baru kuseruput sedikit, entah sengaja atau tidak, tersenggol olehnya dan mengguyur seragamku. Oh tidak! Aku ingin menciut dan menghilang dari muka bumi ini. Sekarang juga!

* * *

Sony menggenggam tanganku erat. Aku merapatkan tubuhku ke tubuhnya yang harum.
"Jadi, kapan lo pergi?" tanyaku perlahan.
"Besok," jawabnya singkat. Ada sebuah tekanan berat di sana.
"Secepat itu lo ninggalin gue," gumamku lirih.
Sony melepaskan genggamannya yang selalu mampu membuatku merasa sangat nyaman. Dia mendorong kepalaku. Menjauhkan perlahan dari bahunya yang kekar.
"Sori, gue ga bisa kayak gini terus. Gue  sadar kalo gue salah besar. Seharusnya kita ga sampai kayak gini, ini sudah terlalu jauh, Ren. Kepindahan gue besok mungkin bisa jadi jalan keluar yang baik buat kita," ujarnya getir, "gue pulang sekarang, ya."
Sony bangkit dari duduknya, merogoh saku jinsnya. Mengambil kunci motor.
"Jadi selama ini lo anggap gue apa? Kenapa lo selalu menyangkal? Apakah cinta terlalu memilih? Apakah gue ngga berhak merasakan cinta itu? Gue rasa itu ngga adil!" teriakku menahan emosi.
"Cukup, Renaldi! Seharusnya lo lebih bisa berpikir logis! Terkadang cinta ngga cuma pakai perasaan doang, tapi otak, pikiran yang logis bisa ikut membantu supaya hati tidak terlalu bebas berkelana!"
Aku terdiam, memendam setiap emosi yang sudah ribut ingin keluar. Aku dan Sony saling menatap, entah kapan aku bisa melihat tatapan itu lagi.

*

Mar 26, 2013

CERBUNG TAK BERJUDUL PART 2

Cerita sebelumnya : CERBUNG PART 1



"Aduh! Bus gue!" pekik Astri kebingungan. Ia melihat jam di handphonenya, sudah pukul 08.45. Itu berarti kuliah jam pertama dimulai 15 menit lagi, padahal jarak dari halte ke kampus lumayan jauh dan harus transit dahulu. Terpaksa ia harus merelakan waktunya untuk menunggu bus lain datang. Ia memaki kesialannya hari ini. Ibu pengemis dan anaknya tak luput dari makiannya, malahan mereka dianggap menjadi penyebab semua hal buruk yang terjadi hari ini. Astri tidak menyadari bahwa sedari tadi ada dua pasang mata yang memperhatikannya dari jauh.

* * *
Rasa keegoisannya muncul tanpa disadarinya, memenuhi otak.Mmembuatnya tenggelam dalam keangkuhan yang sempurna. Menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi, menjadi satu-satunya perisai yang aman untuk saat ini. Sepertinya astri tidak ingin membuat alasan lain, apalagi alasan yang akan menyudutkan dirinya sendiri. Jadi, disinilah Astri sekarang. Berperang dengan sisi putih dan bergabung dengan sisi hitam.

* * *
Astri menghela nafas panjang, seakan ingin melepaskan beban pikiran yang sudah terlalu berat untuk terus disimpan dalam memori otaknya. Waktu terus bergulir dan jam kuliah pertama sudah Astri  lewatkan. Ia terlalu sibuk bergumul dengan kegalauannya. Bukan masalah cinta, memang, namun tentang kepribadiannya.
Ya, tumbuh dalam keluarga yang tak utuh membuat sisi keegoisan dan keangkuhannya terlihat lebih mendominasi di setiap tingkah lakunya. Ia pun tak mengerti mengapa hal ini terjaadi kepada dirinya. Tak pernah sekali pun ia merasakan hangatnya belaian kasih dari seorang ibu. Bahkan ia membenci sosok ayah yang seolah-olah telah berjasa merawatnya, padahal sama sekali tidak. Kasihan.

Astri memutuskan untuk masuk kuliah pada jam terakhir saja, tak peduli lagi dengan dering telepon dari Jono yang dilanda kecemasan.
Astri melihat jam yang ada di pergelangan tangannya, jam berwarna putih yang dihiasi aksen diamond itu masih menunjukkan beberapa jam lagi sebelum jam kuliah terakhir, dengan malas Astri membimbing langkahnya ke kantin, tempat dimana dia bisa berteman dengan segelas jus mangga kesukaannya. Astri teringat akan dering handphone yang sedari tadi diacuhkannya, mengambil handphone berbentuk kotak itu, yang lagi-lagi dibalut dengan casing yang beraksen diamond, dan melihat nama yang tertera diatas sana. 'Jon'. Perlahan dia menekan gambar telepon berwarna hijau dan menempelkan handphonen itu di telinganya.
"Lo dimana Jon?" tanya Sstri setelah sebuah suara menjawab telponnya.
"Gue yang harusnya nanya, lo dimana? tadi gue lihat di kelas lo gak ada"
"Gue malas masuk, gue dikantin sekarang, lo kesini ya."
"Bentar lagi Pak Android masuk, bisa mampus gue ntar"
"Yaudah kalo gitu. Thanks, Jon."
Tampaknya Jono berubah pikiran. Ini terlihat dari langkahnya yang tidak menuju kelas, namun berkhianat menuju kantin. Jiwanya seperti pasir besi yang ditarik oleh magnet, Astri.
Di bangunan setengah terbuka yang tengah ramai oleh mahasiswa korban kelaparan akut, Astri duduk menyendiri di pojok ruangan. Masih ditemani oleh jus mangganya yang tersisa setengah gelas. 
"Woy, As! Gila lo," sapa Jono asal.
"Kenapa lo, Jon? Tiba-tiba dateng kayak orang kesetanan gitu," jawan Astri heran, "katanya ada makul Pak Android? Bolos lo?"
"Iya, hehehe. Eh kenapa As? Ada yang mau diceritain?" selidik Jono.
Astri mendorong gelasnya menjauh, dan menyilangkan tangannya di atas meja. Wajahnya condong ke depan, suaranya sengaja dipelankan seolah-olah tak mau orang lain mendengarkan pembicaraan mereka.
"Lo inget cerita gue tentang ibu pengemis tadi, Jon?" bisik Astri. Jono mengernyitkan keningnya, raut mukanya berubah cemas.
"Iya gue inget. Kenapa lagi As? Lo ketemu lagi sama mereka?"
"Iya, Jon. Tadi pagi waktu gue lagi nunggu di halte, gue merasa ada yang ngeliatin gue dari jauh. Gue coba menajamkan mata kucing gue, Jon, dan lo tau? Ibu itu ternyata ngikutin gue! Digendong juga tuh anak bayinya."
Air muka Jono sejenak memucat, namun segera ia merubah sikapnya menjadi cool. Tapi terlihat sangat maksa.
"Dan gue semakin memicingkan mata gue, gue berusaha berakomodasi semaksimal mungkin, buat mastiin penglihatan gue yang ampuh ini, dan ternyata.." Astri terdiam sejenak, membiarkan perkataannya tergantung. JJono semakin cemas, namun tetap mempertahankan 'cool style' yang terlihat semakin aneh itu.
"Dan ternyata apa?" akhirnya Jono bertanya.
"Dan tenrnyata yang gue lihat itu adalah ibu-ibu yang gendong anak, tapi gak lusuh sama sekali tahu gak?"
"Terus? Loe berhalusinasi gitu?”
"Ya iyalah, masa tiba-tiba itu ibu berubah muka trus jadi gak lusuh lagi dalam waktu sekejap sih, bego lo! " Kata Astri geram sambil menjitak kepala Jono.
"Yaelah, gue kirain beneran, loe udah kayak nyeritain cerita horor tadi, dodol!" kata Jono sembari mengacak-acak rambut Astri.
Astri terdiam, dilihatnya jono yang terkekeh karena ceritanya yang diangggap konyol itu. Astri hanya bisa memanyunkan bibirnya.
"Itu karena lo terlalu memikirkan masalah ibu itu, lo anggap tu ibu masalah buat lo, padahal itu semua tergantung lo, mindset lo yang salah."
"Iya, sih, Jon. Tapi kan, gue ....." Omongan Astri terhenti, bukan karena ia tak enak hati, namun karena Astri merasa tak mempunya alasan yang tepat untuk diutarakan. Keduanya terdiam sejenak.
Jono menyandarkan tubuhnya ke kursi platik yang tetap tegar menopangnya. Diam-diam ia menghela nafas lega, melepas sejanak rasa khawatir yang sempat menyelimutinya selama telinganya menyimak cerita Astri.
"Oke, Jon. Gitu aja sih, hahahaha. Gue cabut dulu, udah hampir mulai nih jam terkahir kuliah gue," ujar Astri sambil menyampirkan tas impor terbarunya itu.
"Ga waras lo, As," canda Jono.
"Sialan!" Sejurus kemudian jitakan ringan mendarat dengan sukses di ubun-ubun Jono. Mereka terkekeh sebelum Astri melangkah pergi meninggalkan kantin kampus.
"Ah, cepat atau lambat lo bakal tau yang sebenarnya, As. Gue nggak tega juga kalo mereka terus menerus terjebak dalam kondisi begini."

* * Bersambung . . . 

(Author: Indra Ratnasari N , Rizky Wahyuni Ritonga)
Copyright © 2014 WELCOME TO MY WORLD !