Apr 1, 2013

[FICTION] LOGISKAH?

"Apaan sih lo, Son! Stop nge-bully gue dong plis kali ini aja!" Aku terpaksa membentak Sony yang tidak ada habisnya menggodaku. Memang benar jika kesabaran ada batasnya, pikirku. Aku menghentikan langkahku kesal dan Sony pun mengikutinya. Aku menatap tajam ke arahnya ketika kudengar suara tawa cekikikan yang sangat menyebalkan itu.
"Sori, Ren. Muka lo lucu abis kalo lagi nahan marah kayak tadi. Jadi gue ketagihan. Hahahaha," katanya di sela-sela tawa.
"Ga lucu tau! Udah sana lo di kelas aja. Gue ke kantin sendiri aja bisa kok. Bete gue sama lo!" sentakku, lalu berlari ke kantin, tak peduli dengan Sony yang terus memanggil namaku.
Hari ini mungkin hari sial, pikirku. Aku mengingat-ingat kejadian tadi pagi, ketika aku terlambat masuk kelas Fisika. Kurasa baru lima menit terlambat, tapi sialnya aku lupa jika hari ini ada kuis. Terpaksa aku merelakan simbol '-' menghiasi kolom nilaiku dan harus mengikuti kuis susulan di kelas lain. Belum selesai, itu baru awal!
Kupikir semuanya akan baik-baik saja sampai aku baru menyadari bahwa buku tugas Kewarganegaraanku tertinggal di rumah! Oh Tuhan, apa lagi? Cercaan dari guru killer sudah aku terima pagi ini. Dari teman-teman? Oh, terlebih dari Sony yang tak iba untuk meledekku. Aku benci hari ini!
"Aaaaaa! Sony! Ini gimanaaaaaa!" Cairan dingin menggugahku dari lamunan. Kalian tahu? Sony, kekasihku yang sialan itu, berulah lagi. Es jeruk yang baru kuseruput sedikit, entah sengaja atau tidak, tersenggol olehnya dan mengguyur seragamku. Oh tidak! Aku ingin menciut dan menghilang dari muka bumi ini. Sekarang juga!

* * *

Sony menggenggam tanganku erat. Aku merapatkan tubuhku ke tubuhnya yang harum.
"Jadi, kapan lo pergi?" tanyaku perlahan.
"Besok," jawabnya singkat. Ada sebuah tekanan berat di sana.
"Secepat itu lo ninggalin gue," gumamku lirih.
Sony melepaskan genggamannya yang selalu mampu membuatku merasa sangat nyaman. Dia mendorong kepalaku. Menjauhkan perlahan dari bahunya yang kekar.
"Sori, gue ga bisa kayak gini terus. Gue  sadar kalo gue salah besar. Seharusnya kita ga sampai kayak gini, ini sudah terlalu jauh, Ren. Kepindahan gue besok mungkin bisa jadi jalan keluar yang baik buat kita," ujarnya getir, "gue pulang sekarang, ya."
Sony bangkit dari duduknya, merogoh saku jinsnya. Mengambil kunci motor.
"Jadi selama ini lo anggap gue apa? Kenapa lo selalu menyangkal? Apakah cinta terlalu memilih? Apakah gue ngga berhak merasakan cinta itu? Gue rasa itu ngga adil!" teriakku menahan emosi.
"Cukup, Renaldi! Seharusnya lo lebih bisa berpikir logis! Terkadang cinta ngga cuma pakai perasaan doang, tapi otak, pikiran yang logis bisa ikut membantu supaya hati tidak terlalu bebas berkelana!"
Aku terdiam, memendam setiap emosi yang sudah ribut ingin keluar. Aku dan Sony saling menatap, entah kapan aku bisa melihat tatapan itu lagi.

*

Mar 26, 2013

CERBUNG TAK BERJUDUL PART 2

Cerita sebelumnya : CERBUNG PART 1



"Aduh! Bus gue!" pekik Astri kebingungan. Ia melihat jam di handphonenya, sudah pukul 08.45. Itu berarti kuliah jam pertama dimulai 15 menit lagi, padahal jarak dari halte ke kampus lumayan jauh dan harus transit dahulu. Terpaksa ia harus merelakan waktunya untuk menunggu bus lain datang. Ia memaki kesialannya hari ini. Ibu pengemis dan anaknya tak luput dari makiannya, malahan mereka dianggap menjadi penyebab semua hal buruk yang terjadi hari ini. Astri tidak menyadari bahwa sedari tadi ada dua pasang mata yang memperhatikannya dari jauh.

* * *
Rasa keegoisannya muncul tanpa disadarinya, memenuhi otak.Mmembuatnya tenggelam dalam keangkuhan yang sempurna. Menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi, menjadi satu-satunya perisai yang aman untuk saat ini. Sepertinya astri tidak ingin membuat alasan lain, apalagi alasan yang akan menyudutkan dirinya sendiri. Jadi, disinilah Astri sekarang. Berperang dengan sisi putih dan bergabung dengan sisi hitam.

* * *
Astri menghela nafas panjang, seakan ingin melepaskan beban pikiran yang sudah terlalu berat untuk terus disimpan dalam memori otaknya. Waktu terus bergulir dan jam kuliah pertama sudah Astri  lewatkan. Ia terlalu sibuk bergumul dengan kegalauannya. Bukan masalah cinta, memang, namun tentang kepribadiannya.
Ya, tumbuh dalam keluarga yang tak utuh membuat sisi keegoisan dan keangkuhannya terlihat lebih mendominasi di setiap tingkah lakunya. Ia pun tak mengerti mengapa hal ini terjaadi kepada dirinya. Tak pernah sekali pun ia merasakan hangatnya belaian kasih dari seorang ibu. Bahkan ia membenci sosok ayah yang seolah-olah telah berjasa merawatnya, padahal sama sekali tidak. Kasihan.

Astri memutuskan untuk masuk kuliah pada jam terakhir saja, tak peduli lagi dengan dering telepon dari Jono yang dilanda kecemasan.
Astri melihat jam yang ada di pergelangan tangannya, jam berwarna putih yang dihiasi aksen diamond itu masih menunjukkan beberapa jam lagi sebelum jam kuliah terakhir, dengan malas Astri membimbing langkahnya ke kantin, tempat dimana dia bisa berteman dengan segelas jus mangga kesukaannya. Astri teringat akan dering handphone yang sedari tadi diacuhkannya, mengambil handphone berbentuk kotak itu, yang lagi-lagi dibalut dengan casing yang beraksen diamond, dan melihat nama yang tertera diatas sana. 'Jon'. Perlahan dia menekan gambar telepon berwarna hijau dan menempelkan handphonen itu di telinganya.
"Lo dimana Jon?" tanya Sstri setelah sebuah suara menjawab telponnya.
"Gue yang harusnya nanya, lo dimana? tadi gue lihat di kelas lo gak ada"
"Gue malas masuk, gue dikantin sekarang, lo kesini ya."
"Bentar lagi Pak Android masuk, bisa mampus gue ntar"
"Yaudah kalo gitu. Thanks, Jon."
Tampaknya Jono berubah pikiran. Ini terlihat dari langkahnya yang tidak menuju kelas, namun berkhianat menuju kantin. Jiwanya seperti pasir besi yang ditarik oleh magnet, Astri.
Di bangunan setengah terbuka yang tengah ramai oleh mahasiswa korban kelaparan akut, Astri duduk menyendiri di pojok ruangan. Masih ditemani oleh jus mangganya yang tersisa setengah gelas. 
"Woy, As! Gila lo," sapa Jono asal.
"Kenapa lo, Jon? Tiba-tiba dateng kayak orang kesetanan gitu," jawan Astri heran, "katanya ada makul Pak Android? Bolos lo?"
"Iya, hehehe. Eh kenapa As? Ada yang mau diceritain?" selidik Jono.
Astri mendorong gelasnya menjauh, dan menyilangkan tangannya di atas meja. Wajahnya condong ke depan, suaranya sengaja dipelankan seolah-olah tak mau orang lain mendengarkan pembicaraan mereka.
"Lo inget cerita gue tentang ibu pengemis tadi, Jon?" bisik Astri. Jono mengernyitkan keningnya, raut mukanya berubah cemas.
"Iya gue inget. Kenapa lagi As? Lo ketemu lagi sama mereka?"
"Iya, Jon. Tadi pagi waktu gue lagi nunggu di halte, gue merasa ada yang ngeliatin gue dari jauh. Gue coba menajamkan mata kucing gue, Jon, dan lo tau? Ibu itu ternyata ngikutin gue! Digendong juga tuh anak bayinya."
Air muka Jono sejenak memucat, namun segera ia merubah sikapnya menjadi cool. Tapi terlihat sangat maksa.
"Dan gue semakin memicingkan mata gue, gue berusaha berakomodasi semaksimal mungkin, buat mastiin penglihatan gue yang ampuh ini, dan ternyata.." Astri terdiam sejenak, membiarkan perkataannya tergantung. JJono semakin cemas, namun tetap mempertahankan 'cool style' yang terlihat semakin aneh itu.
"Dan ternyata apa?" akhirnya Jono bertanya.
"Dan tenrnyata yang gue lihat itu adalah ibu-ibu yang gendong anak, tapi gak lusuh sama sekali tahu gak?"
"Terus? Loe berhalusinasi gitu?”
"Ya iyalah, masa tiba-tiba itu ibu berubah muka trus jadi gak lusuh lagi dalam waktu sekejap sih, bego lo! " Kata Astri geram sambil menjitak kepala Jono.
"Yaelah, gue kirain beneran, loe udah kayak nyeritain cerita horor tadi, dodol!" kata Jono sembari mengacak-acak rambut Astri.
Astri terdiam, dilihatnya jono yang terkekeh karena ceritanya yang diangggap konyol itu. Astri hanya bisa memanyunkan bibirnya.
"Itu karena lo terlalu memikirkan masalah ibu itu, lo anggap tu ibu masalah buat lo, padahal itu semua tergantung lo, mindset lo yang salah."
"Iya, sih, Jon. Tapi kan, gue ....." Omongan Astri terhenti, bukan karena ia tak enak hati, namun karena Astri merasa tak mempunya alasan yang tepat untuk diutarakan. Keduanya terdiam sejenak.
Jono menyandarkan tubuhnya ke kursi platik yang tetap tegar menopangnya. Diam-diam ia menghela nafas lega, melepas sejanak rasa khawatir yang sempat menyelimutinya selama telinganya menyimak cerita Astri.
"Oke, Jon. Gitu aja sih, hahahaha. Gue cabut dulu, udah hampir mulai nih jam terkahir kuliah gue," ujar Astri sambil menyampirkan tas impor terbarunya itu.
"Ga waras lo, As," canda Jono.
"Sialan!" Sejurus kemudian jitakan ringan mendarat dengan sukses di ubun-ubun Jono. Mereka terkekeh sebelum Astri melangkah pergi meninggalkan kantin kampus.
"Ah, cepat atau lambat lo bakal tau yang sebenarnya, As. Gue nggak tega juga kalo mereka terus menerus terjebak dalam kondisi begini."

* * Bersambung . . . 

(Author: Indra Ratnasari N , Rizky Wahyuni Ritonga)

Mar 5, 2013

CERBUNG TAK BERJUDUL PART 1



Hello again bloggies ;;)
Hari ini aku sama teman aku, Rizky Wahyuni Ritonga, berniat bikin cerita bareng. Jadi, masing-masing dari kami bergantian buat melanjutkan cerita tanpa tahu bagaimana jalan cerita dan ending yang diharapkan. 
Dua ide digabung jadi satu, ga tau mau kayak gimana, ga tau mau sampai part berapa. Selamat membaca ya!! Please enjoy our project guys :)



Terburu-buru Astri menaiki anak-anak tangga besi jembatan penyeberangan. Peluhnya bercucuran karena terik matahari yang begitu menyengat di kota metropolitan itu. Seperti biasa, panas.
Di kelok patahan anak tangga, terlihat seorang ibu pengemis yang tengah duduk, membelai lembut seorang anak kecil. Mungkin anaknya. Baju mereka lusuh, bahkan tercium bau menyengat ketika orang-orang angkuh melewati mereka. Astri langsung menutup hidung, memalingkan muka, dan berjalan lebih cepat. Tak ingin berlama-lama berada di tempat itu, sama seperti orang-orang angkuh lainnya.

"Ah, kenapa ibu kota penuh dengan orang-orang seperti ini?" tanya astri dalam hati. Sejenak dia memalingkan muka ke tempat ibu lusuh dan anaknya itu, dilihatnya si ibu. Diam memandang mangkuk bekas mi instan yang sudah lusuh juga. terlihat kosong.
Tanpa sadar dia berhenti. "Mungkin saja,sebenarnya mangkuk itu sudah berisi penuh, tetapi dikosongkan kembali. Demi mendapatkan belas kasihan orang lain," gumam Astri dalam hati.
Pandangannya lalu beralih dari sang ibu ke anak perempuan yang diletakkan diatas sisa-sisa kardus. Anak itu tak kalah lusuh. Dimukanya banyak coretan coretan cokelat. Entah sudah bekas apa saja.

Tiba-tiba hatinya merasa iba. Tapi, "Astri! Sejak kapan kamu menjadi sok peduli seperti ini? Apakah kamu ingin terlambat kuliah hanya karena waktu yang terbuang sia-sia di sini?" Hatinya menyuarakan demikian.
"Apa susahnya memberi sedikit saja uang yang kamu miliki untuk mereka? Sampai kapan kamu terus menjadi perempuan egois yang tak pernah punya perasaan?" Sisi lain hatinya ikut berbicara.
Astri bimbang.
"Ah! Entah apa!" teriaknya spontan, di luar kesadarannya. Orang lain yang berlalu lalang di jembatan itu menoleh ke sumber suara. Astri menutup bibirnya dan menunduk malu. Ia berlari-lari kecil menuju loket dan ikut mengantri di sana.

"Huh, masih banyak hal yang jauh lebih penting daripada ini."
Akhirnya, suara yang berada tepat ditelinga kirinya lah yang menang.
"Mereka hanya manusia malas yang tak berpendidikan. tak prlu dikasihani." Astri bergumam di antara antrian panjang itu.
"Matahari yang sudah menampakkan wujudnya di pagi hari ini sudah cukup membuatku jengah, ditambah lagi harus memikirkan orang-orang seperti itu. benar-benar membuat gila.
yang kubutuhkan hanya sedikit udara segar untuk bernafas, lepas dari orang-orang seperti ibu lush dan anaknya tadi."
Entah sudah berapa lama Astri berdiri sambil bergumam seperti itu, kemudian disadarkan dengan suara lantang yang berasal dari petugas loket.

"Mbak! Mau beli tkarcis nggak, tho? Buruan," tegurnya dengan logat Jawa yang kental.
"Oh iya, iya, Mas. Maaf. Beli satu, Mas," jawab Astri terbata.
Orang-orang yang berdiri di belakang Astri menggerutu dan tak senang dengan waktu yang semakin terulur karena kelakuan bodoh Astri. Melamun.
Astri tidak peduli. Setelah mendapatkan karcis, ia langsung masuk ke ruang tunggu. Tak ada AC. Bahkan angin enggan  mampir ke halte yang lumayan penuh dengan calon penumpang itu. Gerah sekali rasanya, padahal jam masih menunjukan pukul delapan tepat.
Astri berdiri menunggu bus. Tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahunya.
"Woy! Melamun aja lo, As," sapanya.
"Eh, Jono. Kaget lho gue. Banyak pikiran nih, makanya melamun," jawab Astri asal, disusul tawanya yang renyah.
"Ceilah kayak orang tua aja lo."
"Biarin aja kali, Jon. Suka-suka gue."
Percakapan hangat mewarnai pagi mereka yang panas. Menggantikan rasa jengah yang sedari tadi mengikuti tiap langkah Astri. Astri juga bercerita tentang si ibu pengemis dengan anaknya tadi untuk mengisi bahan obrolan. Jono menyimak penuh perhatian. Raut wajahnya berubah-ubah mengikuti cerita Astri, namun senyumnya tak pernah pudar dan kedua bola matanya menatap Astri lembut.

"Lantas, apa yang ada dipikiran lo saat itu, sampai-sampai lo melangkahkan kai lurus dan gak berbalik buat ngasih receh ke ibu lusuh itu?" Jono memberi pertanyaan sebagai tanggapan dari cerita singkat Astri.
"Gue kan udah bilang, menurut gue, mereka cuma malas yang cuma bisa mengharapkan recehan dari manusia lain."
"Terus, dengan pikiran sempit lo, lo mikirin kalo semua orang yang jadi pengemis itu orang malas?"
Astri tertegun. Dipandangnya sepasang mata yang tengah menatapnya itu. Ada pandangan meneliti di sana.
Belum sempat Astri menjawab, sebuah bangun kotak berjalan berwarna orange berjalan mendekati mereka. Bus yang mereka tunggu telah datang.
"Pemikiran lo terlalu sempit, Astri." Dengan sebuah senyuman yang sudah menggantikan pandangan mata meneliti itu, Jono meninggalkan Astri.
Astri yang terlalu sibuk dengan pandangan mata itu baru menyadari dia ketinggalan bus setelah kedua mulut bus itu menutup.

**Bersambung . . .

[FICTION] SAYANG KITA BEDA !



Delima sedang asyik dengan aktivitas chattingnya ketika teriakan "Goooool!" membahana dari lapangan futsal. Fandi, laki-laki penyebab munculnya teriakan itu, mengepalkan tangan dan meninju ke atas. Ekspresi khas yang keluar ketika ia berhasil mencetak skor. Ia melihat sebentar ke arah Delima, berharap gadis manis itu merasa bangga kepadanya. 
Sayang, harapan itu tampaknya harus berganti posisi dengan rasa kecewa. Delima masih lebih tertarik dengan aplikasi yang ada di smartphone barunya.
"Hm, dasar oon." batin Fandi kesal.
Dia melanjutkan permainan futsalnya, tetap dengan semangat layaknya pemain timnas.

Bel Rumah Futsal berbunyi, menandakan berakhirnya waktu bermain untuk Fandi dan kawan-kawannya. Sebelum keluar lapangan mereka berhigh-five satu sama lain. Delima menghentikan kegiatan autisnya dan mengambil handuk kecil dari tas olahraga Fandi. Tak lupa air mineral yang sudah disiapkannya.
"Nih, Bang. Kayak habis mandi! Hahahahaha," ujar Delima menyodorkan handuk dan air minum.
"Dih, ketawanya jelek tau!" sindir Fandi cuek.
"Ih, kok gitu sih? Bete!"
"Hahahaha ngambek yeeeee?"
"Enggak kok. Wek! Abang jelek."
"Biarin."
"Eh tadi Abang keren lho, bisa ngegolin," kata Delima sok tahu.
"Apaan. Tadi Abang lihat kamu asik chattingan, Dek," jawab Fandi pura-pura jutek.
"Enggak kok, Bang," elak Delima tak mau kalah.
"Ah, Adek oon," balas Fandi mengacak-acak rambut Delima.
"Ih apaan sih Abang ini! Huh!"
Tidak terima rambutnya berantakan, punggung Fandi menjadi sasaran empuk serangan beruntun Delima. Fandi hanya terkekeh karena pukulan Delima hanya dirasakannya seperti belaian saja.

* * *

Fandi menggandeng Rowena erat seolah tidak ingin Rowena kabur dari kehidupannya. Mereka berjalan santai sambil melihat-lihat etalase toko-toko yang berjejer.
Terkadang Rowena memekik, "Aaaa itu lucu, Fan. Pengen beliiiiii."
"Aaaaa bagus, tuh, kerudung yang bunga-bunga itu!"
"Aaaaa cantik ya bajunya."
Fandi mengangguk mengiyakan setiap kata yang terlontar dari bibir kekasihnya yang gemar berhijab ini.
Dari kejauhan, Delima menatap kemesraan mereka berdua dengan getir. Perasaannya pahit. Sepahit kopi hitam yang diseduh tanpa gula sedikitpun. Melihat kenyataan yang ada di depannya, tak seharusnya Fandi menempati bilik kosong yang istimewa di hati Delima.
"Aku senang kok kalo Abang sama Wena. Tapi aku akan bahagia kalo aku bisa sama Abang. Sayangnya kita beda. Hm, kenapa harus ada perbedaan? Dan aku nggak bisa menyatukan perbedaan itu."

*
Copyright © 2014 WELCOME TO MY WORLD !