Ada
sebuah desa yang terpencil, di pinggir hutan pinus. Desa itu letaknya sangat
jauh dari kota. Sebagian besar penduduk desa itu bekerja sebagai petani,
sehingga sawah terhampar seperti permadani berwarna hijau kekuningan. Indah dan
sejuk sekali. Robin tinggal bersama ayahnya yang mempunyai sawah yang cukup
luas. Ia rajin membantu ayahnya, apalagi jika musim panen telah tiba.
Suatu
ketika, desa itu dilanda musim kemarau yang lama. Amat sangat lama. Padi-padi
yang siap dipanen menjadi kering dan mati. Sawah-sawah yang tadinya berwarna
kekuningan kini berubah menjadi cokelat dan retak-retak. Penduduk mengeluh
karena air pun sulit didapat. Banyak yang terkena penyakit kulit karena sudah
berhari-hari mereka tidak mandi atau sekedar membersihkan tangan dan kaki
mereka.
Tangan
mungil Robin mencoba membantu ayahnya yang sedang memompa air sekuat tenaga.
Namun sayang, tidak ada setetes airpun yang didapat.
"Ini
bahaya, sudah tidak ada air yang tersisa kali ini, Robin," ujar ayah Robin
kepadanya.
"Lalu
apa yang harus kita lakukan, Ayah? Apakah kita harus ke kota untuk mendapat
bantuan air?"
"Terlalu
jauh, Robin. Satu minggu berjalan kaki ke sana pun tidak akan sampai,"
jawab ayah Robin.
Robin
dan ayahnya duduk termangu sambil mencoba mencari jalan keluar.
"Ah,
bagaimana jika Ayah pergi ke pondok yang ada di tengah hutan. Siapa tau nenek
penghuni pondok itu bisa membantu," usul Robin.
Ayahnya
mengernyitkan dahi. "Nenek Herbal maksudmu, Nak? Dia seorang penyihir
jahat. Kita tidak mungkin ke sana meminta bantuan."
"Benarkah?
Aku tidak percaya dengan adanya penyihir jahat!" bantah Robin.
Ayahnya
hanya mengangkat bahu. "Sudah petang, Nak. Ayo kita kembali ke rumah
saja," ajak ayah Robin.
Memang
benar, di tengah hutan pinus terdapat sebuah pondik yang konon dihuni oleh
seorang penyihir jahat. Cerita itu sudah lama beredar di desa sehingga tidak
ada satu orang pun yang berani mencari kayu sampai ke tengah hutan. Ih,
mengerikan sekali!
Keesokan
harinya, ketika matahari baru menampakan separuh wujudnya, Robin sudah
berlari-lari kecil menuju hutan pinus. Hei, apa yang akan dia lakukan? Rupanya
Robin sudah tidak tahan lagi dengan apa yang kekeringan di desanya. Badannya
pun sudah gatal sekali karena sudah lama tidak mandi. Ia kesal dengan orang-orang
di desanya yang mudah termakan cerita yang belum pasti benar, termasuk ayahnya.
Sesampainya
di tengah hutan, Robin melihat ada sebuah bangunan kecil. Ya, sebuah pondok. Ia
mulai teringat akan cerita orang-orang di desanya dan itu membuatnya menjadi
sedikit merinding. “Ah, itu hanya mitos!” ujarnya dalam hati, berusaha
menenangkan diri. Robin mengendap-endap di balik semak dan pepohonan,
memperhatikan keadaan sekeliling. Ternyata pondok itu cukup indah. Berwarna
kuning dengan kain penutup jendela berwarna merah jambu, senada dengan kusen
yang berwarna merah marun. Ada taman
kecil yang penuh dengan bunga mawar yang masih menguncup. Di sisi lain pondok
ada pula tanaman-tanaman hijau yang cukup rindang. Anehnya, musim kemarau
sepertinya tidak mampir ke tengah hutan ini.
Robin
terlalu sibuk mengagumi pondok itu sehingga ia tidak sadar jika Nenek Herbal,
penunggu pondok itu, berdiri di
sampingnya. Nenek Herbal menepuk pundak Robin lembut, “Ayo makan kue bersama
Nenek, Nak.”
Robin
sangat kaget, mukanya pucat pasi. “Eh,
emmm, anu ... saya ... maaf ...” ujarnya terbata-bata.
Nenek
Herbal terkekeh, “Tak usah takut, Nak.”
Robin
tersenyum mendengar perkataan Nenek Herbal dan mengikutinya masuk ke dalam pondok.
Di sana ia disuguhi berbagai macam kue dan secangkir teh panas yang harum. Hmmm,
Nenek Herbal baik hati sekali. Robin juga baru tahu jika Nenek herbal sangat
ahli dalam membuat ramuan untuk obat.
“Siapa
nama kamu, Nak? Tumben sekali ada orang yang mau berkunjung ke sini,” tanya Nenek
Herbal.
“Robin,
Nek. Sebenarnya Robin ingin minta tolong,” ujar Robin sambil menyeruput teh
panasnya itu. Kemudian Robin menceritakan maksud kedatangannya dan tentang
orang-orang di desanya yang mengira bahwa Nenek Herbal adalah penyihir jahat.
Nenek
Herbal tersenyum. Ia berkata, “Oh jadi begitu rupanya. Baiklah, nanti aku akan buatkan
ramuan agar mata air tidak kering, paling tidak sampai turun hujan lagi. Satu
lagi, akan kubuatkan juga ramuan obat penyembuh penyakit kulit.”
“Terima
kasih banyak, Nenek Herbal! Nenek baik sekali. Seharusnya ayah juga percaya
dengan perkataanku tentang Nenek,” kata Robin girang. Setelah ia puas
berkunjung ke rumah Nenek Herbal, ia pamit pulang. Sepanjang perjalanan Robin
bersenandung riang.
Tiba
di desa, ia memberitahu ayahnya tentang kabar baik ini. Ayah Robin langsung
mengajak penduduk untuk berkumpul dan mengajak beberapa orang untuk mengunjungi
Nenek Herbal.
Sejak
saat itu Nenek Herbal tidak ditakuti oleh penduduk dan desa mulai menghijau
lagi seperti sebelum musim kemarau datang.