Feb 4, 2013

[FICTION] KELERENG YANG SIPIT





"Gimana penampilan Sera sekarang, Ma? Udah oke belum?" tanya Sera ragu. Mata sipitnya terus memandangi cermin di hadapannya sambil sesekali memutar-mutar tubuhnya. Mama Sera tertawa dan bangkit dari duduknya. 

"Cantik sekali Sera. Sudah pantas anak Mama memakai seragam putih abu-abu, ya," jawabnya lembut. Sera tersenyum.

"Yuk, Ma, sarapan. Abis itu biar Sera berangkat sendiri saja,ya."

Mama sera mengernyitkan dahi, "Beneran, Ser? Tumben banget lho. Nggak apa-apa nih?"

"Iya, Ma. Sera kan udah gede, masa mau diantar-jemput terus. Malu, Ma. Apalagi sekarang teman-teman Sera juga udah berangkat sendiri. Keren tau, Ma," cerocos Sera. Seperti biasa, mamanya hanya tertawa melihat tingkah putri tunggalnya itu.

Hari ini adalah hari pertama Sera mengenakan seragam SMA. Dengan penuh rasa bangga, ia berjalan keluar kompleks perumahannya. Bagaimana ia tidak bangga, di lengan kanannya tertempel badge SMA unggulan di kota Yogyakarta.
Hup, hup, hup ! Kaki mungil Sera lincah menghindari beberapa genangan air yang siap mengotori sepatu hitamnya.

"Uh, kenapa sih hujan mulu akhir-akhir ini," gerutu Sera tak senang, "Aduh!!" Tiba-tiba ia menubruk seseorang. Sera terhuyung seperti orang mabuk. Tak sampai ia terjatuh, ada tangan kokoh yang menopang tubuhnya dan membuat Sera tegap berdiri kembali.

"Waaaaaa! Hampir saja. Maaf ya, aku ga sengaja, sumpah aku ga lihat jalan tadi. Tuh, banyak kubangan air jadi aku ...." Sera tak sanggup melanjutkan ucapannya. Ia hanya menunduk. Perasaan takut, malu, pasrah, dan entah apa berbaur menjadi satu.
Detik pun berlalu namun tak ada suara lagi selain deru kendaraan yang melintas.

"Eh, kok Kakak ini diam saja, ya? Aduh jangan-jangan dia marah banget," gumam Sera dalam hati. Tak lama ia paksakan kepalanya untuk mendongak. Mata sipitnya beradu dengan mata kelereng laki-laki yang tak sengaja ia tabrak tadi. Kembali hening.

Sera merasa seperti dialiri listrik ketika laki-laki itu tersenyum simpul dan menepuk-nepuk pundak Sera.
Laki-laki itu memasukan tangan ke kantong celana seragamnya lalu melenggang pergi. Tanpa mengucapkan sepatah katapun untuk Sera.
Ganteng. Cool. Muka Sera memerah mengingat hal itu namun segera ia menggelengkan kepalanya dan kembali menyusuri jalan menuju sekolahnya.

***

Berserakan sekali meja belajar Sera. Buku tulis terbuka, tak ditulisi. Buku paket terbuka, tak dibaca. Spidol warna-warni terhampar, tak tersentuh sama sekali. Sera termangu dengan pulpen diketuk-ketukan pada kepalanya. Seperti banyak pikiran saja. Tapi memang benar, semenjak kejadian tadi pagi, hatinya seperti disetrum dan otaknya tak berhenti memikirkan laki-laki bermata kelereng itu.

Tak ada habisnya ia berpikir, kenapa ia begitu misterius. Kenapa tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Kenapa senyumnya begitu menawan. Dan kenapa dia bisa membuat Sera merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

"Ah, anak mana ya? Sayang banget tadi seragamnya tertutup jaket," ucap Sera perlahan, "ganteng banget. Eh, ganteng aja deh. Hihi."

“Astaga, parah banget. Masa iya sih aku suka sama orang yang baru aku temui. Ga oke banget lagi, pake acara nabrak segala.”

“Ga mungkin, ga mungkin, ga mungkin. Ga mungkin aku suka sama Kakak itu, ya kan?”

Astaga, Sera benar-benar mabuk kepayang dibuatnya. Sampai-sampai lampu berbentuk bunga matahari di hadapannya pun ia jadikan kawan bicara.

Di waktu yang sama, laki-laki yang menghantui pikiran Sera tengah berbaring di kasur empuk miliknya. Lukman, nama laki-laki itu, menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan nanar. Ia tak menyangka dapat secepat itu jatuh cinta kepada seorang gadis, bahkan namanya saja belum ia ketahui. Rambut hitam yang dikuncir rapih, mata yang sipit, bibir yang mungil, melekat erat dalam ingatannya.

“Kapan aku bisa bertemu lagi, ya? Benar-benar pertemuan yang konyol,” batin Lukman, “sudahlah, saatnya tidur.”

***

Siang yang mendung. Sera berjalan ke shelter dekat sekolahnya. Rapat guru membuat ia dapat pulang lebih awal. Namun kenapa dia sendirian? Bukan karena ia tak punya teman, tetapi cuma Sera yang harus naik Trans Jogja dari shelter itu. Teman yang lain kebanyakan pulang naik angkutan umum yang lewat di depan sekolahnya. 

Rupanya langit tak bersahabat dengannya kali ini. Seperti telah dikomando, hujan turun rintik-rintik. Sera mempercepat langkahnya. Dalam hitungan detik, hujan deras mengguyur bumi Jogja. Terpaksa Sera berlari-lari sambil meyumpahi hujan yang menjadi kambing hitam itu.

“Parah nih! Ujannya ga bilang-bilang sih. Tau gitu kan aku bawa payung tadi. Huh, jadi basah kan ini seragam, padahal baru aja dipakai sehari. Besok gimana dong? Huh!”

Sambil melepas ikat rambutnya, dia memandang sekeliling. Sera tersentak ketika menyadari ada sepasang mata kelereng yang sedari tadi memperhatikan kelakuan Sera sambil menahan tawanya.

Wajah Sera terasa panas dan secara refleks ia membuang muka ke arah jalanan.
“Aduuuuuh, ada Kakak ganteng,” ceplos Sera. Dalam hati tentunya. Takut dianggap sombong, dia menoleh lagi. Matanya mencari-cari di mana Lukman berada, namun sayang, orang yang dicari sudah berpindah tempat entah kemana. Terbersit rasa kecewa dalam diri Sera.
Mungkin jika Lukman tidak menepuk pundak Sera, Sera tidak akan pernah menyadari kehadirannya. Ya, Lukman memang berpindah tempat, bukan entah kemana, namun ia sudah duduk manis di belakang Sera.

Hei, Kakak!” seru Sera. Semua mata yang ada di shelter itu serentak menoleh ke sumber suara. Kontan ia memasang wajah polos tak berdosa, seolah-olah bukan dia penyebabnya. Lukman mengernyitkan dahi, bingung. Ia tak mengerti dengan apa yang sedang terjadi di tempat itu.

Ketika suasana kembali normal, Sera tak segan mengawali pembicaraan.
“Eh, Kak. Maaf ya soal yang kemarin. Aku ga sengaja lho, Kak. Beneran deh. Tapi makasih banget ya, Kak, aku ga jatuh karena ditahan sama Kakak,” cerocos Sera. Lukman terdiam. Ia hanya memperhatikan mimik Sera dan mencoba menangkap apa yang dikatakannya.

“Ah! Apa yang dikatakan gadis sipitku ini? Tuhan, beri aku kesempatan kali ini saja untuk bisa mendengar dan berbicara! Tolong. Bahkan hanya untuk sekedar berkenalan saja dengannya!” pekik Lukman dalam hatinya. Perasaan kecewa, sedih, dan sesal berkecamuk dalam dada. 

“Kenapa aku diberi keterbatasan seperti ini, Tuhan? Kenapa Engkau tak mengerti aku?”

“Kak, kok diam aja? Kakak marah? Eh, nama Kakak siapa?” tanya Sera. Lukman tetap diam, tak bergeming sedikitpun. Mata kelerengnya seketika terlihat sayu.

Seorang wanita separuh baya tergopoh-gopoh menghampiri Lukman. Dengan gerakan tangan sebagai bahasa isyarat, wanita yang tak lain adalah ibunya itu menarik lembut tangan Lukman. Mereka berjalan dan menaiki bus yang baru saja datang. Sera terpana melihat peristiwa itu, sadar bahwa ada sesuatu yang tersirat pada diri Lukman. Mata sipit Sera dan mata kelereng Lukman terpaut dalam. Tak terlepas sampai pintu bus ditutup. Sera dan Lukman tahu bahwa ada keterbatasan pada perasaan mereka. 

Tetapi yang mereka tidak tahu adalah  jika mereka tetap akan bisa bersatu suatu saat nanti. Satu lagi, Sera tidak tahu bahwa bus yang akan membawanya pulang ini akan menjadi headline koran keesokan harinya dengan judul "Kecelakaan Maut Trans Jogja".

*                                                                                                                                                                       

Feb 1, 2013

[FICTION] TAJAM




Panas matahari pagi yang cukup menyengat tubuh sudah lama kuabaikan. Warna gelap yang mendominasi tubuhku ini menjadi penanda bahwa aku bersahabat karib dengan Sang Surya. Satu jam lamanya aku berdiri di tempat biasa aku mulai bekerja, di dekat tangga salah satu jembatan penyeberangan yang melintang di kota metropolitan ini, menunggu bus datang. Memang banyak bus kota yang sepi, lalu lalang di hadapanku dengan kondektur yang tak lelah berteriak mencari penumpang. Namun bukan itu yang aku cari. Ya, aku menunggu bus kota yang penuh sesak dengan manusia berkemeja licin dan wangi. 

"Komdak, Blok M, Blok M !!" Parau sekali suara kondektur itu, pikirku. Aku menyipitkan mataku dan memandang bus itu dari tempat aku berdiri. Dari kejauhan tampak sekali bus itu seperti kaleng yang sudah tidak muat lagi menampung ikan sarden di dalamnya.
"Kesempatan bagus," gumamku dalam hati.  
Aku berlagak merapikan polo usangku yang sudah basah oleh keringat dan melambaikan tangan ke arah jalan. Bus berhenti, tapi tidak tepat di depanku. Aku terpaksa berlari-lari kecil menyambut pintu belakang. 
"Sopir bus sialan," gerutuku.
Seperti yang sudah aku duga, bus yang aku tumpangi ini benar-benar sesak. Tidak ada ruang lagi untuk sekedar menggerakan lutut jika pegal. Orang-orang seakan tidak peduli satu sama lain dan semua diam entah apa yang dipikirkan.

Mataku mulai berkeliaran, bak anak rusa yang kelaparan di tengah padang rumput. Mencari sesuatu yang dapat memenuhi hasrat tangan lincahku ini.  
Aku terpaku pada seorang pria berperawakan kecil dengan kemeja putih berdasi, dan tas ransel yang ada di punggungnya. Dia berdiri membelakangiku, tak menyadari bahwa ada barang berharga menyembul dari balik saku belakang celananya.
Dengan ekor mata dan tangan yang sudah terlatih, aku pun mulai bekerja.
Hup. Dompet hitam tebal yang sedari tadi menggejolakan jiwaku, kini sudah berpindah tangan. Tangan siapa lagi kalau bukan tanganku.
Segera aku menggedor atap bus. Bus mulai menepi dan dengan indahnya aku melompat keluar dan berlari ringan menuju halte di sebelah warung kopi. Aku tersenyum simpul membayangkan rejeki yang baru saja aku dapat. Rejeki? Ya, tentu saja. Aku tidak peduli apakah itu haram atau tidak. Persetan dengan hal itu, yang penting aku dan anakku bisa makan hari ini.

Tak ingin aku menghabiskan cukup banyak waktu hanya untuk duduk di halte. Rasanya ingin kembali mengais rejeki, tetapi aku kasihan kepada anak semata wayangku yang pasti sedang menunggu kehadiranku dengan makanan sekadarnya. Tak sampai hati aku meninggalkannya terlalu lama.

***

Lelaki beruban dan berjambang tipis itu mencengkeram erat besi di atasnya. Matanya sayu, memandang kosong ke jendela bus yang ditumpanginya. Namun seketika berubah menjadi seperti mata pisau ketika ia melihat seorang wanita naik dan berdiri di sebelahnya. Dari pakaiannya, wanita muda itu nampak sebagai karyawati di salah satu bank ternama di kota ini. 

Aku mengawasi gerak-gerik lelaki itu, yang tak lain adalah ayahku sendiri, dari bangku paling belakang.
Tangan ayahku mulai berkeliaran dan dengan lihainya dia mengalihkan perhatian wanita itu dengan berpura-pura bertanya apakah rute bus ini sesuai dengan tujuannya.
Entah kenapa aku merasa was-was dan tegang. Bagaimana kalau tidak berhasil? Bagaimana kalau Ayah tertangkap? Bagaimana, bagaimana, bagaimana ...
Dan pertanyaanku terjawab! Tanpa terduga, seseorang yang duduk di dekat sana menampik tangan ayahku. "Hei, kau! Pencopet!"
Penumpang yang lain seolah-olah bertranformasi menjadi patung yang hidup. Wanita incaran ayahku kaget, aku terhenyak, apalagi ayahku. Dia terlihat pucat pasi, tak berbeda dengan orang yang mengidap albino.
"Ah ti-tidak, Pak. Sa-saya..." belum selesai ayahku berbicara, pria yang berhasil memergoki ayahku berdiri dan memiting tangan ayahku ke belakang. Dia mengeluarkan borgol dari tas pinggangnya. Oh, ternyata seorang polisi! 
Bus perlahan menepi, ayahku digiring keluar bus. Kasar sekali polisi itu kepada ayahku. Aku terdiam, kacau, bingung harus bersikap apa. 
"Polisi jahat, mau kau apakan ayahku, hah? Jangan kasar! Awas kau, dipukulnya baru tau rasa!" 
Ah, tapi aku hanya bisa memaki dalam hati. Aku, aku, aku harus bagaimana? Di bawa kemana Ayah? Aku sekarang sendiri! 

***

"Bagaimana Ayah sekarang ya? Apakah dia masih hidup? Malang benar ya, padahal aku masih membutuhkan Ayah pada saat itu."
Aku menghembuskan nafas. Bukan nafas lega tentunya. Entah mengapa tiba-tiba pikiranku melayang, kembali ke masa-masa yang sangat menyakitkan. Masa di mana aku harus berpisah secara paksa dengan ayahku. Ya, aku masih berusia 12 tahun ketika aku sudah harus belajar bagaimana cara bertahan hidup di dunia yang keras ini. Ketika aku hanya hidup berdua dengan ayahku. 
Kata orang, ayahku jahat. Kriminal. Memang, pekerjaannya seperti itu, tapi aku tetap menganggapnya sebagai pahlawan superku. 
Bagaimana mungkin seorang piatu berusia 12 tahun mengkhianati orang yang setia mengasuhnya?
Bahkan ketika ia yang membuatku hidup seperti ini juga?
 
Aku yakin, ayahku tidak ingin aku menjadi sepertinya. Mengikuti langkahnya sebagai seorang penjahat. Tapi ada daya, kehidupanlah yang memaksaku untuk tetap berjalan di atas kerikil tajam. Aku butuh pekerjaan, tapi tak ada yang mau menerimaku. Menjadi kuli sekalipun. Apakah aku ini hina?
Jika negara mau bertanggung jawab atas kesejahteraan seluruh rakyatnya, tentu aku akan menajdi warga negara yang baik. Tidak seperti ini.  Sudahlah, malas sekali aku memikirkan hal itu. Seperti orang bodoh yang berlagak pintar. 

Matahari bertambah terik ketika aku tersadar dari lamunan panjangku. Aku bangkit dari kursi besi yang kurasa telah panas karena kududuki hampir 1 jam ini. Kulambaikan tanganku ke angkutan umum yang melintas. "Ayah pulang sekarang. Tunggu Ayah, Nak," ucapku dalam hati.

*

Jan 30, 2013

[REVIEW] TREATMENT LBC

Mood gornng bloggies ;;)
Kali ini aku mau cerita tentang pengalaman aku ke LBC yang cetar membahana banget buat aku.
Aku jadi pasien LBc sejak Agustus 2012, di LBC Purwokerto. Aku sadar banget saat itu muka aku porak poranda sisa-sisa badai membahana. Aku semeptin tuh ke sana mumpung lagi pegang duit juga.
Perawatan pertama cukup sukses merubah muka aku menjadi agak lebih porak poranda bersihan dikit. Terus aku lanjutin lagi perawatan ke-2 bulan apa aku lupa.
Muka aku lebih mulusan dikit dan kata beberapa teman aku, agak cerahan dikit. Syukurlah ~
Berhubung krim aku udah abis, kemaren aku mutusin buat ke LBC di Jakarta. Tepatnya di Barito. Aku ajak temen aku, Kak Ela. Kita berdua langsung ke sana dengan tekad yang bulet, sebulet muka aku. Pulang kantor tanpa ba-bi-bu lagi kita nyetop taksi. Sial banget, ternyata kita naik taksi yang sopirnya masih baru. Dia ga tau di mana Jalan Barito zzzzz apalagi aku >< Jadi pas aku bilang 'Jalan Barito 2 ya Pak' , si sopir diem aja dan aku kira dia tau. Eh 5 m3nitan dia bilang 'Bisa dipandu mbak?' Astaga plis muka aku berasa  mbleber dan alhasil kita berputar-putar selama hampir 1jam (udah diitung macet). Aku sama Kak Ela cuma senyum kecut pas udah nyampe.
Kak Ela bilang, seharusnya  dari kantor ke sini cuma 10menitan dek. Wooooh!!
Okesip, lanjut.
Masuk LBC kita udah kayak tante-tante girang yang doyan banget perawatan ke sana ke sini.
Ga pake basa basi kita samber mbak-mbak resepsionis dan nunggu dipanggil buat konsultasi dulu.

Kata dokter, muka aku udah mendingan, jerawat udah ga begitu betah nemplok di muka aku, komedo udah mulai bermigrasi entah kemana. Tapi muka aku kering. Uh, padahal dulu berminyak banget. Bisa kali ketampung 1 liter buat isi bensin ><
Oke, doketr nyaranin buat di-micro sama di facial. Aku iyain aja. Aku juga minta krim pagi, malem, sama tirainya sekalian karena tujuan utama aku emang beli krim-krim itu.

Aku dipanggil sama beauticiannya buat ke atas, ke ruang perawatan. Muka aku dibilas (hah?) ehm maksudnya dibersihin dulu. Abis itu di massage. Muka aku dipijet, diteken-teken, dan aku berasa lagi dipijet sama dukun beranak yang udah embok2 gitu zzzz >< Malu juga abisnya pipi aku kayak jeli yang udah mulai berjamur. Aku ditanyain apakah mau massage punggung juga? Aku bilang, engga. Solanya takut kelamaan pulangnya. Padahal sih aku takut tambah bengkak biayanya LOL. Abaikan

Sesudah di massage, dokternya dateng dan aku siap di micro. Aku pikir dikasih krim apa gitu, eh ternyata muka aku dibor haha lebih tepatnya diamplas. Aduh >< Entah gimana ya sulit jelasinnya. Intinya sel-sel kulit mati di muka aku diangkat dan komedo-komedo yang bandel juga ikut disedot pake tu alat. Sakit sih engga, cuma kayak digigit semut aja. Semut merah.
Terus dikasih krim apa gitu. Krimnya bikin agak perih. Abis itu mulai di facial manual. Ya muka aku ditusuk-tusuk dan dipencet-pecet biar komedo dan jerawat ilang dari peredaran dan ga terlacak lagi olrh radar.
Hem, aku paling ga suka momen itu. Kenapa? Sakit !! Aku ga pernah ga ngeluarin air mata saat muka aku dianiaya sama mbak-mbak itu. Lebay.
Tapi pas udah selesai, muka jadi berasa alus banget, meskipun jadi merah-merah dikit.
Selanjutnya di masker. Euuuuum, suka banget aku. Muka jadi adem, dan rileks. Aku aja sampe ketiduran kemaren gara-gara lama nunggu mbaknya dateng lagi. Lumayan kali bisa numpang bobok imut disitu hahahaha XD
Terakhir dikasih krim anti iritasi buat mencegah muka pedih dan merah-merah. Tapi emang dasar muka aku kaya kulit badak atau gimana, ga ada tuh rasa perih yang pake banget XOXO

Nah ini dia saat yang paling mendebarkan, yaitu ketika menuju kasir wkwk. Awalnya aku ngerasa aman aja kan, ngeliat yang lain cuma kena 200-300an gitu. Giliran aku, ya ampun aku syok banget, aku kena 600+ . Plis omegos anak istri aku mau dikasih makan apa haha lebay banget  zzz .
Biaya apotek LBC (krim + anti iritasi) 285an, sisanya biaya perawatan.

Okedeh gud nite uang aku yang udah lenyap, sampai jumpa kapan-kapan ~~


Jan 16, 2013

I REMEMBER (2)

Melanjutkan yang kemarin ya ..
Hari ini aku akan menceritakan orang yang kedua. Orang ini adalah orang yang pernah aku ceritakan juga di blog ini. Ada 5 part kalo ga salah. Jadi kali ini aku cuma cerita sedikit aja.

Seperti yang kalian tahu sebelumnya, aku mengenalnya di media sosial. Boro-boro kenal, ngeh pun engga. Hanya sebatas teman facebook yang ga aku kenal, aku bersikap pasif. Dia yang selalu menyapa, mengomentari, dan mengirim pesan. Aku cuma membalas sekadarnya, menjaga reputasi biar ga dianggap sombong atau jutek gitu lah.
Mungkin karena sering, aku jadi terbiasa dengan orang itu dan mulai interaktif.

Karena beda usia 3 tahun, aku merasa bahwa dia itu dewasa banget. Dewasa di sini maksudnya bisa 'ngemong' dan aku anggap dia seperti kakak aku sendiri. Aku suka, karena ketika aku banyak cerita, dia selalu mendengarkan dan tanpa diminta dia selalu memberi saran. Aku suka, karena di saat aku lagi badmood, dia mengerti. Bahkan ga jarang juga dia bisa balikin mood aku yang sempet terjun bebas. Aku suka, karena dia peduli. Aku suka, karena dia selalu ada. Aku suka, karena dia tahu apa yang aku suka dan apa yang ga aku suka. Intinya dia bisa menempatkan posisi dan dia tau harus bersikap gimana.

Sikap dia ga berubah, dari sebelum kami berpacaran sampai ketika aku mencoba menerima dia sebagai pacar. Kalian tau? Aku mikir keras, apa aku bisa pacaran sama orang yang jauh dan belum pernah aku temui? Aku sampe minta saran ke orang-orang terdekat, termasuk mamaku. Dan kalian tau? Jawaban mereka relatif sama. 'Apa salahnya mencoba, selaama kau dan dia sama-sma merasa nyaman'

Dia baik. Baik banget. Dia yang mengajari aku biar bisa mengurangi sikap kekanakan aku, sikap aku yang egois, ngambekan, dan moody. Terkadang aku ga ngerti dengan jalan pikirannya, dengan sikap dia ke aku. Terkadang aku menganggapnya sebagai sesuatu yang berlebihan banget. Lebay. Tapi aku mulai merasakan perubahan yang ada di diriku. Teman-temanku juga bilang kalo aku jadi makin dewasa.
Kata dia, perlu merubah mindset, kalo kayak gitu teruskamu ga bakalan tumbuh dan stuck di situ terus.

Selama aku terikat olehnya, aku merasa aman. Aman dalam arti ada yang menjaga dari jauh. Menjaga, meskipun hanya lewat pesan dan telepon. Meskipun hanya sekedar 'Jangan lupa makan', 'Belajar yang bener', 'Hati-hati berangkat ke sekolahnya', 'Selamat ujian', dan sekedar yang lainnya .
Aku suka !!

Tetapi, ada saat dimana aku mulai merasa sangat jenuh. Bosan dengan sikap dia yang sering menyibukan diri. Aku mencoba mengerti, tapi ga selamanya aku bisa menegerti. Aku sering berpikir, aku sempet-sempetin loh sms kamu walaupun aku lagi ngapain. Minimal aku kasih notifikasi ke kamu.
Nah, sikap kekanakan aku mulai muncul lagi.
Kadang hal seperti itu bisa bikin kami ribut sebentar. Malemnya baikan lagi.
Hal-hal sepele yang bisa bikin masalah, harus kami selesaikan hari itu juga. Dia bilang, kalo ditunda-tunda malah bikin masalah tambah besar dan ga enak di hati. Hm, aku suka.

Entah kenapa, dia berubah. Seharusnya aku menekan gengsiku untuk bertanya dan mencoba menyelesaikannya. Tapi, aku malu. Buat sms aja malu. Aku cuma bisa menunggu. Menunggu hal yang ga pasti.
Berantem gede mulai terjadi karena kami jarang komunikasi. Hal kecil yang bikin salah paham udah jadi mata pedang yang bikin koyak hati masing-masing.
Dan akhirnya, terlontar kata-kata klise dari mulut dia, menganggap aku ga bisa ngerti dia, terlalu kekanakan, ntah apa lagi.
Aku cuma bisa diam, dan merasa bahwa usahaku selama ini ga dianggap, bahkan dia bilang kalo aku ga akan pernah bisa berubah jadi lebih baik.
Hey who are you? Siapa kau sampai bisa berkata seperti itu?

Selama hampir 1 tahun dia seperti hijrah ke negeri antah berantah.
Hanya sesekali memberi kabar, itu pun aku yang memberanikan diri buat sms.
Tapi sekarang hubungan kami kembali normal seperti ketika pertama kali aku tidak mengenalnya.
Dia udah nyaman kali ya sama pacar barunya. Long last ya ~
Nah aku? Aku juga udah bahagia kok sama kehidupan aku. Kehidupan yang menanti someone better than you ~

Sumpah ini postingan gue lebay banget. Asli. Lebih lebay dari postingan yang lain LOL


***


Jan 15, 2013

I REMEMBER (1)

Baiklah kali ini aku mau cerita tentang apa yang lagi pengin aku ceritain. Ehm maksudnya, entah apa :p
Jadi, ketika aku lagi setengah melamuun di metro mini dan melihat lalu lalang kemacetan (hah? | abaikan | --"), aku teringat sama sesuatu (red. beberapa orang).
Beberapa orang ini adalah orang-orang yang pernah deket sama aku. Deket dalam arti mempunyai sebuah hubungan khusus yang biasa dikenal dengan 'pacaran'. Nah, intinya, tulisan ini akan berisi cerita tentang mereka.
Bukannya aku ga mau atau ga bisa move on, tapi apa salahnya kalo aku mengingat kebaikan mereka (ceilaeh apa banget broh). Ya ini ga semuanya sih, cuma 2 orang yang aku anggap paling baik.

Pertama, aku cerita tentang dia yang aku kenal ketika SMK dulu. Kami kenal, karena kami sekelas. Awalnya memang aku ga teratrik sama sekali. Ga ada sesuatu yang bisa bikin deg-degan. Menoleh pun enggan. Entah ada angin apa, saat jam pelajaran kosong di laboratorium, kami cerita tentang apa aja. Mulai saat itu kami pun jadi dekat.
Aku merasa kalo dia itu baik. Dia sedikit kekanakan dan suka banget diperhatikan. Aku merasa seperti aku adalah kakaknya daripada temannya. Aku sih nyaman-nyaman aja selama aku ga merasa dikecewakan oleh sikap dia itu.

Ketika kami sudah berpacaran, aku semakin nyaman sama dia. Ga tau kenapa, sikap dia yang childish, nakal, itu malah bikin aku jadi lebih dewasa.
Childish, dalam arti dia suka bersikap manja, kadang susah dibilangin, sering minta bantuan buat ngambil keputusan, agak mentingin ego, dan kurang berpikir untuk ke depannya.
Nakal, dalam arti dia suka nyela, seneng bikin malu, suka mukul, suka bikin cemburu.
Astaga, aku juga heran kenapa aku bisa cukup sabar, padahal aku tidak pernah suka dengan laki-laki seperti itu. Mungkin ini yang dinamakan 'sayang'. Entah ~

Aku merasa hubungan kami (yang ga kaya orang pacaran pada umumnya) itu asik banget. Kalian tau? Kami ga pernah manggil sayang. Suka-suka kami mau panggil apa. Sama sekali ga romantis. Tapi kata temen-temen sih gaya pacarannya tuh lucu banget hahaha :D Ga keitung berapa kali kami pernah berantem di kelas, saling menghina, saling mempermalukan.
Tapi itulah kami. Itu cara kami mengungkapkan sayang. Inget banget, dia pernah bilang 'Kalo kita kayak gini terus, bakal awet nih' . Aku cuma nyengir aja sih, padahal dalam hati ngaminin banget !! :)

Inget juga, pas pertama kali kami ngungkapin perasaan secara blak-blakan. Itu pas kami udah 2 bulan pacaran, abis  bangun tidur siang, aku ngerasa banget perasaan itu. Akhirnya aku sms dia 'I think I'm really really really fallin in love with you'
Message sent .
Dan dia balas dengan pertanyaan, "Kamu sayang sama aku?"
"Banget. Kenapa tanya gitu?"
"Soalnya aku juga sayang bangettttttttt sama kamu"
Udah, setelah itu kami ga pernah bahas hal itu lagi. Sekali lagi, bukannya kami ga slaing sayang, tapi emang gitu cara kami. Kami saling menjaga, meskipun ga jarang juga kami berantem abis.
Sayangnya aku sama Dias cuma jalan hampir 4 bulan. Sebuah kesalahpahaman bikin kami udahan. Dia yang mutusin aku, dan aku juga inget "Yaudah ndra, kita putus aja ya, aku juga udah terbiasa kok ngga ada kamu .. "

Finally , end :(

Cerita yang kedua nanti lagi deh. I feel so bad after I type this story. You know what, sometimes I feel guilty and I think that it was my fault.

~

[TRIP] SUMATERA ~ (Part III)


Melanjutkan cerita sebelumnya ...

Sabtu pagi, hari yang enak banget buat bermalas-malasan. Tidak ada rencana bepergian, dan aku mulai bosan. Setelah mandi dan sarapan, aku cuma nonton TV di kamar.
Sekitar pukul 10.00, Kak Ela menghubungi teman-temannya. Aku nggak tau apa yang mereka bicarakan, tapi samar-samar aku denger kata 'pantai'. Wow, mau ke pantaikah kita hari ini?
Nah benar pemirsa. Aku sama Popi disuruh bersiap-siap.

Tiba-tiba ada BBM, dari si Adam. Dia juga ngajakin buat keluar bareng. Daripada bingung mendingan aku ngajakin dia sekalian ke pantai hoho untunglah dia mau ~


Kita sepakat ngumpul di depan KFC Titi Kuning dulu. Nunggu dua orang lagi dateng rasanya lama banget cuy. Rencana jam 13.00 ngumpul semua dan berangkat paling banter jam 14.00. Tapi ini udah jam 15.00 eh malah masih stuck di tempat. Hampir mati kebosanan ;/

Untung aja teman Kak Ela yang ditunggu ini dateng juga. Ketika mau berangkat, datang pula teman si Adam beserta pacarnya. Sip rombongan jadi tambah rame kurasa :D

Udah tuh ya, kita di jalan udah kayak apa. Salip sana salip sini, tikung sana tikung sini. Oh ya, katanya perjalanan dari Medan ke pantainya itu kira-kira 2 jam. Heleh, panas banget lagi hufhufhuf.
Aku dibawa sama Adam, di jalan cerita-cerita entah apa. Tapi tetep aja ngantuk. Hahaha kebiasaan aku kalo pergi itu memang tidur di jalan. Berhubung ini naik motor dan yang bawa kayak pembalap tong setan yang ga tau jalan, rasa ngantukku jadi terminimalisir :O

Nyampek di pantai, aku kaget. Weh! Kupikir jernih gitu kayak di Pangandaran, tapi beeeeeuh ini kayak kolam susu Milo cokelat cuy. Aku jadi ragu, nyemplung ngga yaaaaaaaah :?





Abis mandangin kolam susu, aku liat ada banana boat yeeeeeey !!
Jadi semangat gitu kan, apalagi temen-temen yang lain juga pengin naik itu juga \:D/
Yes !! Aku ganti baju, dan menerjang ombak (sumpah ini lebay abis)
Ga deh, aku cuma basahin kaki doang nungguin Kak Ela dkk nawar banana boatnya.
Sip udah deal, kita dipakein pelampung. Wooooo, jadi keliatan kayak balon dipakein balon XOXO


Aku pilih duduk di tengah, tapi agak di belakang juga :(
Adam di depan, Kak April di belakangnya, Popi di belakangnya lagi, terus aku, dan kak Faisal di belakang aku. Kak Ela sama Kak Yola di boatnya soalnya mereka ngga bawa baju ganti.


Aku deg-degan woyyy hahaha :D
Pegangan kenceng banget takut terjadi kecelakaan tragis gitu kan (tsah!!)
Nah yang ditakutin pun terjadi. Aku belum siap aku belum siap !! Tiba-tiba si pisang raksasa itu tergoncang dan terbalik!
Aku terbanting ke laut. Rasanya itu kaget, gelagapan, sakit, dan dingin ><
Helep me helep me !! Aku lambat banget berenang balik ke pisangnya itu. Hufhufhuf. Dan naiknya pun susah. Aku gendut ya ><
Kejadian kayak gitu terjadi beberapa kali lagi, sampai akhirnya kami dibanting lagi tapi di tempat yang dangkal. Ajegilee sakit woy, Pak!!
Tanganku kayak memar gitu tapi whatever lah yang penting hepi.








Selesai naik pisang kita berenang-renang dulu di pantai. Ombak kecil, cemen :p
Ada yang cari kerang, ada yang main pasir, ada yang foto-foto, ada juga yang cuma ngeliatin dari pinggiran.





Hari hampir gelap, ga terasa kan. Kita pulang dengan baju basah kuyup.
Gantnnya nanti di rumah sodara Kak Ela ~
Copyright © 2014 WELCOME TO MY WORLD !