[FICTION] SAYANG KITA BEDA !
Delima sedang asyik dengan aktivitas chattingnya ketika teriakan "Goooool!" membahana dari lapangan futsal. Fandi, laki-laki penyebab munculnya teriakan itu, mengepalkan tangan dan meninju ke atas. Ekspresi khas yang keluar ketika ia berhasil mencetak skor. Ia melihat sebentar ke arah Delima, berharap gadis manis itu merasa bangga kepadanya.
Sayang, harapan itu tampaknya harus berganti posisi dengan rasa
kecewa. Delima masih lebih tertarik dengan aplikasi yang ada di smartphone
barunya.
"Hm, dasar oon." batin Fandi kesal.
Dia melanjutkan permainan futsalnya, tetap
dengan semangat layaknya pemain timnas.
Bel Rumah Futsal berbunyi, menandakan
berakhirnya waktu bermain untuk Fandi dan kawan-kawannya. Sebelum keluar
lapangan mereka berhigh-five satu sama lain. Delima menghentikan kegiatan
autisnya dan mengambil handuk kecil dari tas olahraga Fandi. Tak lupa air
mineral yang sudah disiapkannya.
"Nih, Bang. Kayak habis mandi!
Hahahahaha," ujar Delima menyodorkan handuk dan air minum.
"Dih, ketawanya jelek tau!" sindir
Fandi cuek.
"Ih, kok gitu sih? Bete!"
"Hahahaha ngambek yeeeee?"
"Enggak kok. Wek! Abang jelek."
"Biarin."
"Eh tadi Abang keren lho, bisa
ngegolin," kata Delima sok tahu.
"Apaan. Tadi Abang lihat kamu asik
chattingan, Dek," jawab Fandi pura-pura jutek.
"Enggak kok, Bang," elak Delima tak
mau kalah.
"Ah, Adek oon," balas Fandi
mengacak-acak rambut Delima.
"Ih apaan sih Abang ini! Huh!"
Tidak terima rambutnya berantakan, punggung
Fandi menjadi sasaran empuk serangan beruntun Delima. Fandi hanya terkekeh
karena pukulan Delima hanya dirasakannya seperti belaian saja.
* * *
Fandi menggandeng Rowena erat seolah tidak
ingin Rowena kabur dari kehidupannya. Mereka berjalan santai sambil
melihat-lihat etalase toko-toko yang berjejer.
Terkadang Rowena memekik, "Aaaa itu
lucu, Fan. Pengen beliiiiii."
"Aaaaa bagus, tuh, kerudung yang
bunga-bunga itu!"
"Aaaaa cantik ya bajunya."
Fandi mengangguk mengiyakan setiap kata yang
terlontar dari bibir kekasihnya yang gemar berhijab ini.
Dari kejauhan, Delima menatap kemesraan
mereka berdua dengan getir. Perasaannya pahit. Sepahit kopi hitam yang diseduh
tanpa gula sedikitpun. Melihat kenyataan yang ada di depannya, tak seharusnya
Fandi menempati bilik kosong yang istimewa di hati Delima.
"Aku senang kok kalo Abang sama Wena.
Tapi aku akan bahagia kalo aku bisa sama Abang. Sayangnya kita beda. Hm, kenapa
harus ada perbedaan? Dan aku nggak bisa menyatukan perbedaan itu."
*