CERBUNG TAK BERJUDUL PART 2
Cerita sebelumnya : CERBUNG PART 1
"Aduh! Bus gue!" pekik Astri
kebingungan. Ia melihat jam di handphonenya, sudah pukul 08.45. Itu berarti
kuliah jam pertama dimulai 15 menit lagi, padahal jarak dari halte ke kampus
lumayan jauh dan harus transit dahulu. Terpaksa ia harus merelakan waktunya
untuk menunggu bus lain datang. Ia memaki kesialannya hari ini. Ibu pengemis
dan anaknya tak luput dari makiannya, malahan mereka dianggap menjadi penyebab
semua hal buruk yang terjadi hari ini. Astri tidak menyadari bahwa sedari tadi
ada dua pasang mata yang memperhatikannya dari jauh.
* * *
Rasa keegoisannya muncul tanpa disadarinya,
memenuhi otak.Mmembuatnya tenggelam dalam keangkuhan yang sempurna. Menyalahkan
orang lain atas apa yang terjadi, menjadi satu-satunya perisai yang aman untuk
saat ini. Sepertinya astri tidak ingin membuat alasan lain, apalagi alasan yang
akan menyudutkan dirinya sendiri. Jadi, disinilah Astri sekarang. Berperang
dengan sisi putih dan bergabung dengan sisi hitam.
* * *
Astri menghela nafas panjang, seakan ingin
melepaskan beban pikiran yang sudah terlalu berat untuk terus disimpan dalam memori
otaknya. Waktu terus bergulir dan jam kuliah pertama sudah Astri lewatkan. Ia terlalu sibuk bergumul dengan
kegalauannya. Bukan masalah cinta, memang, namun tentang kepribadiannya.
Ya, tumbuh dalam keluarga yang tak utuh
membuat sisi keegoisan dan keangkuhannya terlihat lebih mendominasi di setiap
tingkah lakunya. Ia pun tak mengerti mengapa hal ini terjaadi kepada dirinya.
Tak pernah sekali pun ia merasakan hangatnya belaian kasih dari seorang ibu.
Bahkan ia membenci sosok ayah yang seolah-olah telah berjasa merawatnya, padahal
sama sekali tidak. Kasihan.
Astri memutuskan untuk masuk kuliah pada jam
terakhir saja, tak peduli lagi dengan dering telepon dari Jono yang dilanda kecemasan.
Astri melihat jam yang ada di pergelangan
tangannya, jam berwarna putih yang dihiasi aksen diamond itu masih menunjukkan
beberapa jam lagi sebelum jam kuliah terakhir, dengan malas Astri membimbing
langkahnya ke kantin, tempat dimana dia bisa berteman dengan segelas jus mangga
kesukaannya. Astri teringat akan dering handphone yang sedari tadi diacuhkannya,
mengambil handphone berbentuk kotak itu, yang lagi-lagi dibalut dengan casing
yang beraksen diamond, dan melihat nama yang tertera diatas sana. 'Jon'. Perlahan
dia menekan gambar telepon berwarna hijau dan menempelkan handphonen itu di
telinganya.
"Lo dimana Jon?" tanya Sstri
setelah sebuah suara menjawab telponnya.
"Gue yang harusnya nanya, lo dimana?
tadi gue lihat di kelas lo gak ada"
"Gue malas masuk, gue dikantin sekarang,
lo kesini ya."
"Bentar lagi Pak Android masuk, bisa
mampus gue ntar"
"Yaudah kalo gitu. Thanks, Jon."
Tampaknya Jono berubah pikiran. Ini terlihat
dari langkahnya yang tidak menuju kelas, namun berkhianat menuju kantin. Jiwanya
seperti pasir besi yang ditarik oleh magnet, Astri.
Di bangunan setengah terbuka yang tengah
ramai oleh mahasiswa korban kelaparan akut, Astri duduk menyendiri di pojok
ruangan. Masih ditemani oleh jus mangganya yang tersisa setengah gelas.
"Woy, As! Gila lo," sapa Jono asal.
"Kenapa lo, Jon? Tiba-tiba dateng kayak
orang kesetanan gitu," jawan Astri heran, "katanya ada makul Pak
Android? Bolos lo?"
"Iya, hehehe. Eh kenapa As? Ada yang mau
diceritain?" selidik Jono.
Astri mendorong gelasnya menjauh, dan
menyilangkan tangannya di atas meja. Wajahnya condong ke depan, suaranya
sengaja dipelankan seolah-olah tak mau orang lain mendengarkan pembicaraan
mereka.
"Lo inget cerita gue tentang ibu
pengemis tadi, Jon?" bisik Astri. Jono mengernyitkan keningnya, raut
mukanya berubah cemas.
"Iya gue inget. Kenapa lagi As? Lo
ketemu lagi sama mereka?"
"Iya, Jon. Tadi pagi waktu gue lagi
nunggu di halte, gue merasa ada yang ngeliatin gue dari jauh. Gue coba
menajamkan mata kucing gue, Jon, dan lo tau? Ibu itu ternyata ngikutin gue!
Digendong juga tuh anak bayinya."
Air muka Jono sejenak memucat, namun segera
ia merubah sikapnya menjadi cool. Tapi terlihat sangat maksa.
"Dan gue semakin memicingkan mata gue,
gue berusaha berakomodasi semaksimal mungkin, buat mastiin penglihatan gue yang
ampuh ini, dan ternyata.." Astri terdiam sejenak, membiarkan perkataannya
tergantung. JJono semakin cemas, namun tetap mempertahankan 'cool style' yang
terlihat semakin aneh itu.
"Dan ternyata apa?" akhirnya Jono
bertanya.
"Dan tenrnyata yang gue lihat itu adalah
ibu-ibu yang gendong anak, tapi gak lusuh sama sekali tahu gak?"
"Terus? Loe berhalusinasi gitu?”
"Ya iyalah, masa tiba-tiba itu ibu
berubah muka trus jadi gak lusuh lagi dalam waktu sekejap sih, bego lo! "
Kata Astri geram sambil menjitak kepala Jono.
"Yaelah, gue kirain beneran, loe udah kayak
nyeritain cerita horor tadi, dodol!" kata Jono sembari mengacak-acak
rambut Astri.
Astri terdiam, dilihatnya jono yang terkekeh
karena ceritanya yang diangggap konyol itu. Astri hanya bisa memanyunkan
bibirnya.
"Itu karena lo terlalu memikirkan
masalah ibu itu, lo anggap tu ibu masalah buat lo, padahal itu semua tergantung
lo, mindset lo yang salah."
"Iya, sih, Jon. Tapi kan, gue
....." Omongan Astri terhenti, bukan karena ia tak enak hati, namun karena
Astri merasa tak mempunya alasan yang tepat untuk diutarakan. Keduanya terdiam
sejenak.
Jono menyandarkan tubuhnya ke kursi platik
yang tetap tegar menopangnya. Diam-diam ia menghela nafas lega, melepas sejanak
rasa khawatir yang sempat menyelimutinya selama telinganya menyimak cerita
Astri.
"Oke, Jon. Gitu aja sih, hahahaha. Gue
cabut dulu, udah hampir mulai nih jam terkahir kuliah gue," ujar Astri
sambil menyampirkan tas impor terbarunya itu.
"Ga waras lo, As," canda Jono.
"Sialan!" Sejurus kemudian jitakan
ringan mendarat dengan sukses di ubun-ubun Jono. Mereka terkekeh sebelum Astri melangkah
pergi meninggalkan kantin kampus.
"Ah, cepat atau lambat lo bakal tau yang
sebenarnya, As. Gue nggak tega juga kalo mereka terus menerus terjebak dalam kondisi
begini."
* * Bersambung . . .
(Author: Indra Ratnasari N , Rizky Wahyuni Ritonga)